JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Komisi I DPR yang membidangi pertahanan Mahfud Sidik mengatakan bahwa jika terkait dengan isu terorisme, Amerika Serikat sangat progresif bahkan terkadang kalau dibiarkan menabrak hukum yang berlaku di suatu negara. Di Indonesia, hal itu tidak boleh terjadi.
Demikian dikatakannya, menanggapi laporan study organisasi nirlaba Open Society Foundation (OSF) berjudul ‘Globalizing Torture: CIA Extraordinary Rendetion and Secret Detention’ dimana didalamnya memasukan Indonesia sebagai salah satu anggotanya. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa seseorang yang diduga sebagai terorisme dapat ditangkap dan dipindahkan ke Amerika Serikat tanpa proses hukum.
“Walaupun terorisme ini isu global, tetapi Indonesia harus tegas dan kedaulatan kita harus dijaga. Tidak boleh menabrak koridor hukum demi terorisme,” ujar Mahfud di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (07/02).
Bagaimana tanggapan Komisi I apabila ada MoU dengan Amerika Serikat mengenai ekstradisi?
“Kita kan mempunyai hukum sendiri. Kalau ada warga negara kita atau siapapun yang terkait kasus hukum maka proses hukumnya harus di Indonesia. Kecuali kalau ada warga negara kita yang melakukan atau terjerat kasus hukum di Amerika Serikat maka silakan saja Amerika memproses mereka,” kata Mahfud.
Mahfud sendiri menyatakan pihaknya belum membaca informasi tersebut. Namun ia menegaskan jika dalam kasus terorisme, Indonesia sudah sangat tegas dan tidak bisa ditekan oleh siapa pun termasuk Amerika Serikat.
“Misalnya saja dalam kasus Ustad Abu Bakar Ba’asyir dimana Amerika Serikat memaksa agar Abu Bakar Ba’asyir di ekstradisi ke Amerika karena diduga salah satu orang yang terkait teroris. Tetapi kan Indonesia menunjukkan sikap tegas, tetapi bukan berarti kita mendukung Ustad Abu Bakar Ba’asyir,” jelasnya.
Sebelumnya, Open Society Foundation (OSF) pada hari Selasa (05/02) kemarin meluncurkan hasil studi berjudul Globalizing Torture: CIA Extraordinary Rendition and Secret Detention. Studi ini menyoroti program rendition (pemindahan seseorang ke negara lain tanpa melalui proses hukum) dan penahanan rahasia yang dilakukan dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, pasca serangan teroris 11 September 2001 ke negara itu. Partner CIA dalam program rahasia ini 54 negara, termasuk Indonesia.
Negara-negara partner CIA itu berpartisipasi dalam operasi perburuan tersangka teroris ini dengan berbagai cara: ada yang menyediakan penjara di wilayah mereka; membantu penangkapan dan pemindahan tahanan; menyediakan wilayah udara domestik dan bandaranya untuk penerbangan rahasia yang mengangkut tahanan; menyediakan informasi intelijen yang mengarah ke penahanannya. Di tahanan, mereka diperlakukan dengan aneka penyiksaan.
Partisipasi masing-masing negara dalam program ini berbagai macam. Polandia dan Lithuania mengizinkan CIA menjalankan penjara rahasia di negara mereka. Sejumlah negara Timur Tengah, Asia, dan Eropa, membantu dengan menyerahkan tahanan kepada CIA. Beberapa di antaranya melakukan penangkapan atas nama CIA. Negara-negara di Timur Tengah menginterogasi tahanan atas nama CIA, seperti yang dilakukan Yordania. Sedangkan Yunani dan Spanyol menyediakan bandaranya untuk memindahkan tahanan secara rahasia.
Inilah negara yang menjadi partner CIA dalam program rahasia tersebut: Afganistan, Albania, Aljazair, Australia, Austria, Azerbaijan, Belgia, Bosnia-Herzegovina, Kanada, Kroasia, Cyprus, Republik Ceko, Denmark, Djibouti, Mesir, Ethiopia, Finlandia, Gambia, Georgia, Jerman, Yunani, Hongkong, Islandia, Indonesia, Iran, Irlandia, Yordania, Kenya, Libya, Lithuania, Macedonia, Malawi, Malaysia, Mauritania, Moroko, Pakistan, Polandia, Portugal, Romania, Arab Saudi, Somalia, Afrika Selatan, Spanyol, Sri Lanka, Swedia, Suriah, Thailand, Turki, Uni Emirat Arab, Inggris, Uzbekistan. (bilal/SI/arrahmah.com)