JAKARTA (Arrahmah.com) – Wakil Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Anton Tabah Digdoyo mengatakan tidak sepakat dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto yang menyebut aksi 411, 212 dan 225 adalah bagian dari ancaman nasional.
‘Mosok sih ada yang bilang aksi 411, 212, 225 ancaman nasional? Dasarnya apa? Harus lihat cermat kronologisnya dong,” kata KH Anton Tabah Digdoyo di Jakarta, Senin (22/7/2019), lansir Harian Terbit.
Anton mengungkapkan, aksi 411 lahir karena rezim tidak menindak Ahok ketika menista Al Qur’an dalam kasus surat Al Maidah 51.
Dari aksi 411 juga Ahok ditetapkan menjadi tersangka tapi tidak ditahan. Padahal yurisprudensi semua tersangka penista agama harus ditahan. Oleh karena itu lahirlah aksi 212 agar Ahok segera disidang, lalu lahir aksi 313 ketika publik mendengar Ahok akan dibebaskan.
“Kasus penistaan agama di Indonesia masuk crime indexs karena derajat keresahan masyarakat sangat tinggi. Karena itu ada Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung (MA) agar semua Hakim menghukum maksimal pelaku penista agama,” tegas Anton.
Sedangkan aksi 225, sambung Anton, karena rakyat menuntut Mahkamah Konstitusi (MK) agar adil dan jujur untuk memutus kecurangan Pemilu 2019 yang juga diakui oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Oleh karenanya, lanjut Anton, ke 3 aksi tersebut agendanya jelas menuntut keadilan dan tidak ada agenda lain. Sehingga dimana ancaman nasional seperti yang disampaikan Wiranto.
Sebelumnya, Jumat (19/7) lalu, Menko Polhukam Wiranto mengatakan, pembangunan nasional akan sulit tumbuh bila stabilitas nasional tidak baik. Stabilitas ini dipengaruhi keamanan, politik, dan kondisi hukum nasional. Stabilitas nasional dapat dibuat karena koordinasi dan kerja keras dari semua kementerian/lembaga.
Selain itu, Wiranto mengapresiasi intelijen atas informasi akurat sehingga pemerintah dapat mengambil langkah tepat untuk menghadapi ancaman dan gangguan stabilitas nasional.
“Paling tidak kita bisa sampaikan bahwa peristiwa yang dikenal 411, 212, atau terorisme, (sengketa) pilkada serentak, pemilu serentak terkait dengan kasus 21-22 Mei, ini sebenarnya suatu bagian dari ancaman, gangguan, hambatan dalam rangka pembangunan nasional yang telah dilakukan pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo,” kata Wiranto.
(ameera/arrahmah.com)
JAKARTA (Arrahmah.com) – Wakil Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Anton Tabah Digdoyo mengatakan tidak sepakat dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto yang menyebut aksi 411, 212 dan 225 adalah bagian dari ancaman nasional.
‘Mosok sih ada yang bilang aksi 411, 212, 225 ancaman nasional? Dasarnya apa? Harus lihat cermat kronologisnya dong,” kata KH Anton Tabah Digdoyo di Jakarta, Senin (22/7/2019), lansir Harian Terbit.
Anton mengungkapkan, aksi 411 lahir karena rezim tidak menindak Ahok ketika menista Al Qur’an dalam kasus surat Al Maidah 51.
Dari aksi 411 juga Ahok ditetapkan menjadi tersangka tapi tidak ditahan. Padahal yurisprudensi semua tersangka penista agama harus ditahan. Oleh karena itu lahirlah aksi 212 agar Ahok segera disidang, lalu lahir aksi 313 ketika publik mendengar Ahok akan dibebaskan.
“Kasus penistaan agama di Indonesia masuk crime indexs karena derajat keresahan masyarakat sangat tinggi. Karena itu ada Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung (MA) agar semua Hakim menghukum maksimal pelaku penista agama,” tegas Anton.
Sedangkan aksi 225, sambung Anton, karena rakyat menuntut Mahkamah Konstitusi (MK) agar adil dan jujur untuk memutus kecurangan Pemilu 2019 yang juga diakui oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Oleh karenanya, lanjut Anton, ke 3 aksi tersebut agendanya jelas menuntut keadilan dan tidak ada agenda lain. Sehingga dimana ancaman nasional seperti yang disampaikan Wiranto.
Sebelumnya, Jumat (19/7) lalu, Menko Polhukam Wiranto mengatakan, pembangunan nasional akan sulit tumbuh bila stabilitas nasional tidak baik. Stabilitas ini dipengaruhi keamanan, politik, dan kondisi hukum nasional. Stabilitas nasional dapat dibuat karena koordinasi dan kerja keras dari semua kementerian/lembaga.
Selain itu, Wiranto mengapresiasi intelijen atas informasi akurat sehingga pemerintah dapat mengambil langkah tepat untuk menghadapi ancaman dan gangguan stabilitas nasional.
“Paling tidak kita bisa sampaikan bahwa peristiwa yang dikenal 411, 212, atau terorisme, (sengketa) pilkada serentak, pemilu serentak terkait dengan kasus 21-22 Mei, ini sebenarnya suatu bagian dari ancaman, gangguan, hambatan dalam rangka pembangunan nasional yang telah dilakukan pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo,” kata Wiranto.
(ameera/arrahmah.com)