JAKARTA (Arrahmah.com) – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan, angka korupsi di Indonesia semakin meroket menjelang pemilu. Secara empirik selalu ada pembobolan bank menjelang Pemilu.
“Pada pemilu-pemilu sebelumnya selalu ada kasus yang menjebol keuangan negara,” katanya, lansir kpk.go.id Rabu (4/12/2013).
Dia memaparkan pola pengerukan keuangan negara selalu berulang menjelang pemilu. Ia mencontohkan sebelum Pemilu 1999, terjadi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dari anggaran sebesar Rp 600 triliun, ada sekitar Rp 100 triliun yang tidak jelas. Bahkan, sampai saat ini pemerintah harus membayar bunganya.
Pada 2004, sebelum Pemilu 2005, lanjutnya, terjadi pembobolan BNI 46 Kebayoran Baru dengan letter of credit atau surat utang bodong senilai Rp 1,7 triliun. Pelaku pembobolan bank ini adalah Dirut PT Gramarindo, Maria Pauline Lumowa.
Sedangkan pada 2008, sebelum Pemilu 2009, terjadi kasus pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Akibat dari kebijakan ini, negara harus menggelontorkan dana talangan atau bail out sebesar Rp 6,7 triliun. KPK baru menetapkan satu orang tersangka dalam kasus ini, yaitu Budi Mulya.
Hari ini, Bank Mutiara yang dahulu bernama Bank Century kita dengar perlu suntikan modal lagi sebesar Rp 1,5 triliun agar CAR-nya (rasio kecukupan modal) bisa naik dari 8 persen menjadi 14 persen sesuai permintaan BI.
Pertanyaannya, kata Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Aziz Harry, kenapa CAR bank itu bisa berkurang.
“Apakah direksi Bank Mutiara sembrono, terjadi kerugian, atau apa? Dibilang bahwa salah satu aset Bank Mutiara itu bodong. Jadi, waktu bailout Bank Century, asetnya dihitung secara serampangan atau asal-asalan,” katanya di Kompleks Parlemen Senayan, lansir Jurnal Parlemen, Kamis (19/12/2013).
Dia mengaku mendengar sas-sus bahwa seharusnya bailout Bank Century saat itu bukan Rp 6,7 triliun tapi Rp 8,2 triliun.
“Pertanyaannya kemudian, apakah penambahan modal Rp 1,5 triliun itu nantinya diartikan sama seperti putusan lalu, yang dilakukan atas dasar berdampak sistemik sehingga perlu di-bailout Rp 6,7 triliun?” ujarnya. (azm/arrahmah.com)