Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
(Arrahmah.com) – “Saya melihat orang, mohon maaf saja, waktu jadi (pasukan) perdamaian di Timur Tengah. Menangis saya, lihat orang berkelahi. Allahu Akbar, Allahu Akbar, bunuh-bunuhan, Allahu Akbar dengan penuh kebencian. Kita (menag, red) lihat lah itu. Kita (menag) harapkan jangan ada muncul di Indonesia ini. Untuk itu kita coba tata baik-baik, sama-sama-sama,” [Fachrul Razi, 8/9]
Wajar jika sejumlah pihak mempertanyakan agama menteri agama, Fachrul Razi. Sebab, agak sulit dicari alur logikanya, seorang Menag, beragama Islam, lantas mengajak umat untuk mencurigai Hafidz, yang fasih bahasa Arab dan rajin ke Masjid, sebagai bibit radikalisme.
Boleh lah untuk membela diri, menjelaskan diri lahir dari keluarga perantau Minangkabau yang berasal dari Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, agar orang mempercayai keislamannya. Boleh juga, menegaskan diri sejak di taruna militer telah aktif berjuang untuk Islam.
Tapi apa maksudnya mengaku melihat bunuh bunuhan di timur tengah dengan saling mengucapkan takbir? Apakah ini bagian dari tuduhan lagi terhadap kalimat takbir? Apa urusannya, kalaupun itu terjadi dikaitkan dengan Indonesia? Apa urusannya, bunuh bunuhan dengan hafidz ? Bunuh bunuhan dengan fasih berbahasa Arab? Bunuh bunuhan dengan rajin sholat ke masjid?
Kita Umat Islam tentu masih mempertanyakan, kebenaran klaim Menag menangis karena menyaksikan peristiwa saling bunuh dengan mengumandangkan takbir. Apalagi, jika latar yang dijadikan rujukan peristiwa adalah timur tengah. Daerah konflik area penjajahan Kapitalisme global.
Saat Amerika menginvasi Irak, itu yang dibunuh Amerika lebih dari 2 juta orang. Itu tak ada satupun tentara Amerika yang berteriak takbir saat membunuh. Apakah Menag menangis? Prihatin dan lantas menjadikan semua yang berbau Amerika sebagai bibit radikalisme?
Apakah, saat Yahudi Israel La’natullah membantai kaum muslimin di Palestina sambil meneriakkan takbir ? Apakah Menag menangis menyaksikan saudara kaum muslimin di Palestina dibantai Yahudi? Apakah, kemudian Menag menjadikan Yahudi sebagai simbol radikalisme?
Apakah Rezim bengis Komunis China, ketika membantai kaum muslimin di Uighur meneriakkan takbir? Apakah Menag, menangis dan menjadikan komunisme sebagai ciri orang radikal?
Apakah Menag, menangis menyaksikan ekstrimis Budha membantai saudara muslim di Rohingya? Apakah saat membantai mereka meneriakkan takbir? Apakah Menag, menjadikan orang yang rajin ke Wihara sebagai ciri seorang pengemban paham radikal?
Sudahlah Pak Menag, jangan bikin umat tambah sakit hati. Sebaiknya diam jika tidak bisa bicara baik. Ikuti hadits Rasulullah SAW, berkata baik atau diamlah!
Kami umat Islam sudah sangat sakit, jangan tambah lagi. Sebaiknya, sebelum bertutur satu kata berfikirlah ribuan kali. Jangan hanya berfikir apa yang ada di benak anda, pikirkan pula apa yang ada dibenak Umat Islam.
Lebih baik lamban bicara seperti Moerdiono ketimbang ceplas-ceplos tapi bikin sakit hati Umat Islam. Ingatlah, semua kata dan ucapan, akan dihisab kelak di akhirat.
(*/arrahmah.com)