(Arrahmah.com) – Rasulullah bersabda,” Ketika aku memasuki surga aku mendengar suara langkah kaki, lalu aku bertanya siapa itu? Malaikat menjawab itu Ghumaisha’ binti Milhan ibunda Anas bin Malik” (HR.Muslim).
Nama aslinya adalah Ghumaisho’ dan juga dipanggil dengan Rumaisha binti Milhan, atau lebih dikenal dengan Ummu Sulaim. Beliau adalah seorang wanita yang mempunyai sifat keibuan dan cantik rupawan, dirinya dihiasi pula dengan ketabahan, kebijaksanaan, lurus pemikiran, kecerdasan berfikir dan kefasihan serta berakhlaq mulia. Dengan semua sifat tersebut tak heran semua cerita yang baik selalu ditujukan kepada beliau. Setiap lisan memuji atasnya.
Karena sifat tersebut putra pamannya yang bernama Malik bin Nadhir ingin menikahi beliau. Dari hasil pernikahan ini lahirlah Anas bin Malik, salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadist.
Saat Rasulullah menyerukan dakwah tauhid, tanpa keraguan beliau bersegera mengucap syahadat. Ummu Sulaim termauk golongan pertama yang masuk Islam dari kaum Anshor. Ujian keislaman pertama yang beliau alami adalah kemarahan Malik, sang suami, saat mendapati istrinya memeluk Islam.
“Apakah engkau murtad dari agamamu?” tanya Malik.
“Tidak, bahkan aku telah beriman” jawab Ummu Sulaim dengan tegar dan penuh keyakinan.
Suatu saat beliau menuntun putranya (Anas bin Malik) sembari mengatakan “katakanlah Laa ilaaha illallah, katakanlah Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” dan Anas menirukannya. Akan tetapi Malik mengatakan, “janganlah engkau merusak anakku.”
“Aku tidak merusaknya, akan tetapi aku mendidik dan memperbaikinya” jawab Ummu Sulaim.
Pada akhirnya perasaan gengsi menyebabkan Malik bin Nadhir menentukan sikap terhadap istrinya yang (menurutnya) keras kepala dan tetap ngotot berpegang pada aqidah yang baru. Malik tidak memiliki alternatif lain selain pergi dari rumah dan tidak akan kembali sampai istrinya mau kembali kepada agama nenek moyangnya.
Manakalah Malik mendengar istrinya dengan tekad yang kuat dan teguh terhadap pendiriannya mengulang-ngulang kalimat,” Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah,” maka Malik pergi dari rumah dalam keadaan marah dan kemudian bertemu dengan musuh sehingga akhirnya dia dibunuh.
Ketika Ummu Sulaim mengetahui bahwa suaminya telah terbunuh, beliau tetap tabah dan berkata,” Aku tidak akan menyapih Anas sehingga dia sendiri yang memutuskannya, dan aku tidak akan menikah sehingga Anas yang menyuruhku.”
Ummu Sulaim banyak dibicarakan orang dengan rasa kagum. Begitu pula Abu Talhah mendengar kabar tersebut sehingga menjadikan hatinya jatuh cinta. Dengan rasa cinta yang tidak disembunyika, Abu Thalhah melangkahkan kakinya ke rumah Ummu Sulaim untuk melamarnya dengan mahar yang sangat mahal. Namun di luar dugaan, jawaban Ummu Sulaim menyesakkan dada sang bangsawan. Ummu Sulaim berkata dengan lembut dan penuh rasa hormat, tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga fulan, dan sesungguhnya seandainya kalian mau membakarnya makan akan terbakarlah tuhan kalian.”
Abu Thalhah merasa sesak dadanya, kemudian dia berpaling sedangkan dirinya seolah-olah tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat dan dia dengar. Akan tetapi cintanya yang tulus mendorong dia kembali pada hari berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak, roti maupun susu dengan harapan Ummu Sulaim akan luluh dan menerimanya.
Akan tetapi Ummu Sulaim adalah seorang daiyah yang cerdik, tatkala melihat dunia menari-nari dihadapannya berupa harta, kedudukan dan laki-laki yang masih muda, dia merasakan bahwa keterikatan hatinya dengan Islam lebih kuat dari pada seluruh kenikmatan dunia. Beliau berkata dengan sopan, “orang seperti Anda memang tidak pantas ditolak, wahai Abu Thalhah, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan saya adalah seorang Muslimah sehingga tidak baik bagiku menerima lamaranmu.”
“Lantas apa yang Anda inginkan?”
“Tebaklah apa yang saya inginkan?”
“Apakah Anda menginginkan emas dan perak?”
“Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas ataupun perak akan tetapi saya menginginkan agar Anda masuk Islam.”
“Kepada siapa saya harus datang untuk masuk Islam?”
“Datanglah kepada Rasulullah untuk itu!”
Maka pergilah Abu Thalhah untuk menemui Nabi yang saat itu sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah bersabda,” Telah datang kepada kalian Abu Thalhah sedang sudah tampak cahaya Islam di kedua matanya.”
Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi tentang apa yang dikatakan Ummu Sulaim, maka dia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar keislamannya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ummu Sulaim berkata, “Demi Allah! Orang seperti Anda tidak pantas ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang Muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta yang selain dari itu.”
Tanpa terasa lisan Abu Thalhah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kamu yakini, Asyhadu an laa ilaaha illallah waasyhadu anna muhammadan rasulullah.”
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya Anas dan berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya “Wahai Anas! Nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.”
Kemudian beliapun dinikahkan dengan Islam sebagai mahar. Oleh karena itu Tsabit meriwayatkan hadist dari Anas,” Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.”
(ameera/arrahmah.com)