SURIAH (Arrahmah.com) – Ini kisah seorang anak muda, Mujahidin Suriah, yang terpaksa harus menjadi tentara rezim Asad lantaran terkena peraturan wajib militer. Ia mengungkap tentang keberhasilannya keluar dari militer Suriah di tengah berlangsungnya revolusi di negara yang sedang dilanda perang itu.
Shamer (24), sebut saja namanya begitu, adalah putra ketiga seorang ulama di Suriah. Saat revolusi Suriah dimulai lebih 3 tahun yang lalu, ia sudah menjadi tentara rezim—tetapi karena terpaksa. Karenanya, setelah revolusi dan perang mulai berkecamuk, ia berupaya keras untuk keluar dari dinas militer, dan bergabung dengan Mujahidin.
Namun ketika masih dalam militer Asad, ia dan kawan-kawanya, sempat berupaya ingin membunuh Basyar Asad. Ketika itu, rencana matang sudah disiapkan, di saat Asad dikabarkan akan mengikuti sebuah upacara. “Namun sayang, Basyar Asad batal hadir. Kemungkinan rencana ini bocor,” ungkap Shamer kepada wartawan Indonesia yang tergabung dalam tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU) saat meliput konflik Suriah, Sabtu (19/4/2014).
Semangat jihad Shamer tumbuh dari lingkungan keluarganya yang memang berasal dari kalangan Muslim yang taat. Ayahnya adalah seorang ulama, Imam dan Khatib, di Damaskus, Suriah. Selain didikan orangtuanya, di usia masih belia, sebelum meletusnya perang, Shamer mengaku mendapat spirit jihad dari para tokoh Hamas Palestina.
Waktu itu, ujar Shamer, Masjid Al-Aqsha dikepung penjajah ‘Israel’ dan umat Islam di Palestina dibantai Zionis. “Kami dan teman-teman mengadakan tablig akbar dan penggalangan dana Palestina bersamaan dengan datangnya beberapa tokoh Hamas di Damaskus, padahal di saat itu bicara masalah jihad menetang ‘Israel’ merupakan sesuatu yang sangat berbahaya bagi kami di Suriah, karena rezim di sini sangat represif, dan banyak teman-teman kami yang ditangkapi dan dipenjara oleh rezim Asad karena mengobarkan semangat jihad menentang Zionis ‘Israel’,” tuturnya.
Selain spirit jihad, peristiwa menarik yang diungkap pemuda yang baru saja menikah ini, adalah tentang kerjasamanya dengan Mujahidin di saat revolusi Suriah baru berlangsung pada 2011 lalu. Ketika itu ia masih di dinas militer rezim, ditugaskan membawa senjata oleh kesatuannya ke wilayah Raqqah, kota di sebelah timur Suriah.
Kesempatan ini digunakan Shamer untuk menjalankan misinya. Ia menghubungi Katibah Mujahidin lokal yang ada di Raqqah. Ia memberitahukan, bahwa ia membawa banyak senjata, dan ia ‘bersandiwara’ dengan Mujahidin, yaitu dengan mengatakan kepada kesatuannya seakan dia dihadang. “Tentu saja hal ini tanpa diketahui teman-teman saya di kesatuan militer rezim,” kata Shamer.
Selanjutnya, Mujahididin menghadang laju mobil tersebut dan mengambil semua peralatan senjata. Shamer dilepas. “Lalu saya melapor kepada kesatuan, bahwa saya telah dihadang dan semua senjata yang saya bawa telah dirampas,” ujarnya mengenang peristiwa pada 2011 lalu itu.
Jelas, di tengah peperangan, tindakan Shamer adalah sangat berani dan tentu saja berbahaya. Namun, dengan hamasah yang sudah mulai terasah, rasa takut menjadi sirna, berganti dengan keberanian yang luar biasa. JITU
(azm/arrahmah.com)