(Arrahmah.com) – Abdullah bin Jahsyi adalah putra bibi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Umaimah binti Abdul Muthalib. Di samping itu, ia juga ipar Rasulullah karena saudara perempuannya, Zainab binti Jahsyi adalah istri Nabi SAW.
Abdullah bin Jahsyi memeluk Islam sebelum Rasulullah menjadikan rumah Al-Arqam sebagai pusat dakwah. Karena itu, ia termasuk di antara sahabat yang pertama masuk Islam, Assabiqunal Awwalun.
Ketika Rasulullah mengizinkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah, Abdullah bin Jahsyi tercatat sebagai orang kedua yang hijrah setelah Abu Salamah. Bagi Abdullah, hijrah ke Madinah bukanlah pengalaman baru. Sebelumnya ia pernah hijrah ke Habasyah. Hanya saja, kali ini ia bersama istri, anak-anak dan keluarga terdekatnya.
Ketika Rasulullah membentuk Laskar Islam, beliau memilih delapan orang yang dipandang mampu dalam berperang. Di antara mereka adalah Abdullah bin Jahsyi dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Dalam kelompok tersebut akhirnya terpilihlah Abdullah bin Jahsyi sebagai pimpinan. Sebuah bendera diikatkan oleh Rasulullah di tongkatnya dan diserahkan kepada Abdullah. Itulah bendera Islam pertama dan Abdullah bin Jahsyi memegangnya. Karena itu, ia dikenal orang untuk pertama kali sebagai Amirul Mukminin.
Setelah dilantik sebagai Amir, ia diperintahkan oleh Nabi SAW untuk melakukan ekspedisi dengan tugas pengintaian. Rasulullah melarang membuka surat perintah beliau melainkan setelah dua hari perjalanan.
Setelah dua hari perjalanan, Abdullah bin Jahsyi membuka surat tersebut dan membacanya: “Bila kamu membaca surat ini, teruskanlah perjalananmu ke arah Makkah. Berhentilah diantara Thaif dan Makkah. Amatilah gerak-gerik kaum Quraisy dan segera laporkan kepada kami!”
Sesuai perintah Rasulullah, Abdullah bin Jahsyi meneruskan perjalanannya dan tiba di Nakhlah. Di tempat tersebut mereka mempersiapkan pos pengintaian. Ketika mereka tengah bersiap-siap, tiba-tiba di kejauhan terlihat sekelompok kabilah Quraisy yang membawa barang-barang dagangan.
Abullah bermusyawarah dengan pasukannya. Apakah kabilah itu akan diserang ataukah tidak? Saat itu hari terakhir bulan Haram. Jika mereka melakukan penyerangan, berarti melanggar kehormatan bulan Haram dan mengundang kemarahan seluruh bangsa Arab. Jika dibiarkan lewat, mereka masuk ke Tanah Haram (Makkah), berarti membiarkan mereka masuk ke tempat aman karena di sana dilarang berperang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang dan merampas harta kabilah itu. Mereka berhasil menewaskan seorang anggota rombongan Quraisy. Dua orang tertawan dan seorang lagi melarikan diri.
Abdullah bin Jahsyi dan pasukannya membawa harta rampasan dan dua orang tawanan itu ke Madinah. Begitu tiba di hadapan Rasulullah, beliau langsung marah karena Abdullah bin Jahsyi dan pasukannya bertindak di luar perintah.
Rasulullah bersabda, “Demi Allah, aku tidak memerintahkan kalian menyerang, merampas, menawan, apalagi membunuh. Aku hanya memerintahkan kalian supaya mencari berita mengenai orang-orang Quraisy, mengamati gerak-gerik mereka, kemudian melaporkan kepadaku.”
Abdullah bin Jahsyi menyadari kecerobohannya itu telah memberi peluang ampuh bagi kaum Quraisy untuk merangkul kabilah-kabilah Arab guna memusuhi kaum Muslimin. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan mengundang agresi militer.
Tak dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban moril yang ia tanggung. Namun demikian, imannya tetap tegar. Dia selalu beristighfar dan memohon ampunan kepada Allah.
Akhirnya Allah SWT memberikan kabar gembira kepada mereka dengan turunnya ayat: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: ‘Berperang pada bulan Haram adalah dosa besar. Tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada-Nya, menghalangi masuk ke Masjidil Haram dan mengusir penduduk dari sekitarnya lebih besar dosanya di sisi Allah…” (QS Al-Baqarah: 217).
Setelah ayat tersebut turun, tenanglah hati Rasulullah. Harta rampasan itu disita untuk Baitul Mal dan kedua tawanan dimintai tebusan. Rasulullah setuju dengan apa yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Jahsyi dan pasukannya.
Ketika terjadi Perang Badar, Abdullah ikut berjuang bersama kaum Muslimin. Dalam peperangan itu, ia cedera cukup parah. Pada saat Perang Uhud, terjadi sebuah peristiwa yang dialami oleh Abdullah bin Jahsyi dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Saat itu keduanya berada di sebuah tempat yang agak terpencil. Sa’ad bin Abi Waqqash berdoa, “Ya Allah, pertemukanlah aku dengan musuh yang paling kejam dan jahat. Aku akan berkelahi dengannya dan berilah aku kemenangan.”
Abdullah bin Jahsyi mengamini doa tersebut, seraya menambahkan, “Ya Allah, pertemukanlah aku dengan musuh yang paling kejam dan jahat. Aku akan berkelahi dengannya dan aku tewas di tangannya. Dia kemudian memotong hidung dan telingaku.”
Ketika Perang Uhud berakhir, ternyata Allah mengabulkan doanya. Para sahabat menemukan jasad Abdullah bin Jahsyi gugur seperti doanya. Hidung dan telinganya buntung, dan tubuhnya tergantung pada seutas tali.
Allah memuliakannya dengan pahala syahid bersama Hamzah bin Abdul Muthalib. Keduanya gugur dan dimakamkan dalam satu liang lahat. Air mata Rasulullah mengalir membasahi kubur mereka, menambah harumnya darah syahid yang tertumpah melumuri jasad.
Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
(fath/arrahmah.com)