Perdagangan manusia dilaporkan telah meluas hingga ke Malaysia, ratusan Muslim Rohingya disekap di rumah-rumah di bagian utara Malaysia. Mereka dipukuli, tidak diberi makan, dan menuntut uang tebusan dari keluarga mereka, menurut pengakuan para korban yang didapat oleh Reuters.
Mohamed Yunus, warga Rohingya berusia 19 tahun yang berasal kota Buthidaung, merasakan kelegaan saat ia berhasil melewati tembok perbatasan bersama dengan kelompok pengungsi Rohingya yang lain yang berjumlah 270 orang pada pertengahan Februari, sekitar satu bulan setelah ia meninggalkan Myanmar. Penyeberangan tersebut berlangsung pada malam hari dengan menggunakan dua tangga yang disediakan oleh para penculiknya.
“Saya yakin saya bisa menghasilkan uang di sini,” kata Yunus kepada Reuters.
Tapi harapan untuk merasakan kebebasan ternyata hanya berumur pendek. Sesampainya di perbatasan Malaysia, dia diserahkan kepada kelompok broker perdagangan manusia. Warga Rohingya tersebut kemudian dijejalkan ke dalam mobil van dan mereka dibawa ke sebuah rumah, para broker tersebut mengatakan bahwa mereka berada di kota perbatasan Padang Besar.
Sesampainya di sana, para broker tersebut memukuli Yunus dengan tongkat kayu yang panjang dan mengancam akan membunuhnya jika dia tidak meminta uang tebusan sebesar 2.000 USD dari orang tuanya di Myanmar. Karena putus asa oleh tangisan Yunus melalui telepon, orang tuanya kemudian menjual rumah keluarga mereka seharga 1.600 USD dan sisanya meminjam dari saudara, kata Einous.
“Tidak ada kata-kata untuk mengungkapkan betapa menyesalnya perasaan saya,” kata Yunus kepada Reuters pada tanggal 21 Februari. Para broker tersebut mencampakkannya di dekat pasar di kota Bukit Mertajam di Penang, mengakhiri mimpi buruknya selama delapan hari di rumah tersebut.
“Sekarang kami tidak memilik tanah. Orang tua saya tidak punya tempat tinggal.”
Abdul Hamid, seorang mekanik sepeda motor berusia 23 tahun dari Sittwe, di negara bagian Rakhine Myanmar, mengalami kondisi yang sama di kompleks tersebut di mana dia disekap selama seminggu bersama dengan lebih dari 200 orang lain di Penang.
Sekitar 16 petugas terus mengawasi mereka dalam dua shift. Bos para penyelundup itu adalah seorang pria berusia 30 an yang dikenal sebagai “Razak” yang mengenakan jas dan kacamata berbingkai baja, yang selalu menendang, memukul dan mengancam para tahanan yang ketakutan, kata Hamid.
“Mereka mengatakan ‘kami tidak punya uang untuk memberikan makanan. Kalian harus mendapatkan uang jika kalian ingin bebas’,” kata Hamid kepada Reuters di Kuala Lumpur menyusul pembebasannya pada pertengahan Februari.
Malaysia, sebuah negara tenaga kerja jangka pendek dengan perkiraan sekitar dua juta pekerja tak berdokumen yang menawarkan upah yang lebih tinggi dibandingkan negara tetangganya. Malaysia telah terkenal sebagai surga bagi perdagangan manusia, seperti halnya Thailand. Jumlah perdagangan manusia di Malaysia tampaknya telah melonjak dalam beberapa bulan terakhir.
“Hal ini secara jelas meningkat,” kata Chris Lewa, koordinator kelompok advokasi Rohingya. “Saya mendengar banyak kisah baru-baru ini tentang mereka (Rohingya) yang telah ditahan di Malaysia.”
Beberapa dari 10 saksi mata mengatakan bahwa para broker mengatakan kepada mereka bahwa para broker itu telah menyuap pejabat imigrasi Malaysia untuk pura-pura tidak mengetahui ketika mereka menyeberangi perbatasan. Reuters belum menemukan bukti langsung adanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat Malaysia. Lima pejabat imigrasi telah ditangkap pada tahun 2009 karena terlibat dengan sindikat penyelundupan warga Rohingya ke negara itu.
Pejabat dari departemen imigrasi Malaysia, kantor perdana menteri, dan polisi di Penang dan Kedah menolak untuk memberikan komentar.
Kami tidak bisa mendapatkan makanan atau air yang cukup. Orang-orang sekarat dengan rasa sakit yang mengerikan,” kata Eisoup, (20), dari Sittwe. Dia mengatakan bahwa diperkirakan ada 45 orang meninggal dalam waktu 15 hari di kampnya pada bulan Januari.
Muhammad Aslam yang menanggung luka bakar di lengannya akibat sundutan rokok dari para broker, selama tujuh hari ia dikurung dalam ruangan gelap yang terkunci di Penang bersama dengan sekitar 20 korban lainnya.
Mantan penjaga toko berusia 21 tahun itu mengatakan bahwa ia kemudian dijual ke kelompok broker lain yang membawa dia dan ketiga temannya yang lain menyeberang ke Malaysia menuju pantai timur kota Kuantan, dimana penyiksaan berlanjut selama empat hari di sebuah rumah berlantai tiga.
Akhirnya, ia melihat kesempatan untuk melarikan diri. Ketika salah satu dari penculiknya pergi ke toilet, ia bergegas dan berlari ke jalan, kata Aslom, di Kuala Lumpur beberapa hari setelah kakaknya menjemputnya dari Kuantan.
Tak putus dirundung malang, demikian ungkapan yang tepat untuk warga Muslim Rohignya. Terusir dari negeri sendiri, dan teraniaya di tempat pelarian. Kepedulian dari Muslim dunia sangat diharapkan untuk mengakhiri derita muslim Rohingya. (ameera/arrahmah.com)