Wanita Uighur yang mendekam dalam “kamp re-edukasi” alami berbagai macam penyiksaan, termasuk pemerkosaan. Banyak dari mereka yang dipaksa untuk meminum obat yang akan mempengaruhi siklus bulanan mereka, bahkan tidak sedikit tahanan yang disterilisasi.
Tursunay Ziyawudun, seorang wanita Uighur berusia 41 tahun yang berasal dari daerah Kunes (Xinyuan), Prefektur Otonomi Ili Kazakh (Yili Hasake) XUAR, harus mendekam total sembilan bulan di salah satu “kamp re-edukasi”, sebuah tempat yang digunakan untuk menahan hingga 1,5 juta orang Uighur dan etnis minoritas Muslim lainnya yang dituduh menyembunyikan “pandangan agama ekstrem” dan “berbeda haluan politik”.
Ziyawudun menikah dengan seorang dokter etnis Kazakh dari Kunes bernama Haliq Mirza pada Juni 2008 dan lima tahun kemudian pasangan itu pindah ke Kazakhstan, di mana mereka memiliki seorang putra dan mendirikan sebuah klinik medis.
Suaminya, Mirza berhasil mendapatkan kewarganegaraan Kazakh, namun tidak begitu dengan Ziyawudun, pihak berwenang berulang kali menolak pengajuan pindah kewarganegaraan Ziyawudun karena dia seorang Uighur.
Pada 13 November 2016, Ziyawudun kembali ke Kunes untuk tinggal bersama keluarganya dan beberapa bulan kemudian pihak berwenang menerapkan beberapa kebijakan baru yang menargetkan Uighur, termasuk penyitaan paspor dan kriminalisasi mereka yang telah bepergian ke luar negeri.
Pihak berwenang membawa Ziyawudun ke kamp interniran pada 11 April 2017 tanpa menjelaskan alasan penangkapannya kepada keluarganya. Ziyawudun ditahan selama satu bulan dan kemudian dilepaskan karena masalah kesehatan yang dimilikinya.
Namun, Ziyawudun tidak bisa mendapatkan paspornya, sehingga tidak dapat bergabung dengan suaminya di Kazakhstan.
Pada 10 Maret 2018 dia kembali ditahan tanpa alasan. Ziyawudun menceritakan bahwa situasi di fasilitas penahanan menjadi jauh lebih buruk dari sebelumnya. Puluhan perempuan yang ditahan bersamanya mendapatkan perawatan kesehatan yang buruk, mereka dipaksa untuk meminum obat yang mempengaruhi siklus bulanan mereka, bahkan sebagian besar disterilisasi paksa.
“Ada tahanan wanita yang berada di kamp selama satu tahun dan selama waktu itu dia tidak pernah datang bulan,” kata Ziyawudun kepada kantor berita RFA di Kazakhtan.
Dia juga menambahkan bahwa otoritas kamp secara bertahap “membawa para tahanan wanita ke rumah sakit dan mengoperasi mereka sehingga mereka tidak lagi bisa memiliki anak” atau “memaksa mereka untuk minum obat.”
“Saya dibawa ke rumah sakit untuk menjalani operasi (sterilisasi), tetapi karena saya selalu menderita kondisi ginekologis, dokter mengatakan bahwa saya bisa menderita komplikasi termasuk kematian, sehingga mereka menyelamatkan saya,” katanya.
Ziyawudun juga menggambarkan penyiksaan yang dia alami selama berada di dalam kamp tersebut.
“Metode penyiksaan mereka selalu berbeda, tetapi praktik yang umum adalah mengikat Anda di kursi logam selama interogasi,” katanya.
“Mereka memotong rambut kami, setelah menariknya melalui jeruji (sel kami), hal itu mereka lakukan kepada semua tahanan wanita termasuk wanita tua. Kami semua diborgol, dibelenggu, dan sering dipanggil untuk diinterogasi. Suara teriakan, permohonan, dan tangisan, hingga kini masih ada di kepalaku,” ungkapnya.
Dia juga menggambarkan kelalaian yang disengaja dari pihak otoritas kamp yang katanya sering mengabaikan permintaan tahanan untuk mendapatkan perawatan medis.
“Mereka tidak peduli kepada para tahanan. Bahkan ketika ada tahanan wanita yang menderita infeksi sehingga tidak bisa buang air dan wanita lanjut usia yang tidak bisa berjalan dengan baik meminta untuk mendapatkan perawatan medis, para petugas itu hanya membiarkan mereka menderita,” katanya.
Ketika ditanya tentang tentang pemerkosaan dan pelecehan lainnya dalam sistem kamp XUAR, Ziyawudun tak mampu berkata-kata.
“Kami semua tidak berdaya dan tidak mampu membela diri,” katanya.
“Kami semua mengalami semua jenis penganiayaan, tetapi bahkan ketika kami melihat pelecehan seperti itu, kami tidak berdaya untuk melakukan apa pun,” imbuhnya.
“Petugas kamp akan datang di tengah malam dan membawa beberapa tahanan wanita pergi,” katanya.
“Para petugas itu akan berteriak, ‘Bangun dan ikut dengan kami,’ dan setelah itu, kita tidak akan pernah melihat mereka lagi,” katanya. “Saya kemudian mengetahui bahwa beberapa orang meninggal di rumah sakit.”
Ziyawudun mengatakan bahwa dari semua tahanan wanita di sel, hanya dia dan seorang wanita tua yang selamat dari tuduhan kejahatan yang dilakukan. Dia juga menambahkan bahwa dia percaya para pejabat takut untuk menuntutnya karena suaminya adalah warga negara Kazakh. (rafa/arrahmah.com)