BANGUI (Arrahmah.com) – Lebih dari 15.000 orang di Republik Afrika Tengah yang sebagian besar warga sipil Muslim berada di kamp-kamp darurat, terkepung dan terancam oleh kelompok-kelompok milisi Kristen bersenjata, kata juru bicara badan pengungsi PBB, sebagaimana dilansir oleh WorldBulletin, Rabu (26/2/2014).
Milisi Kristen yang dikenal sebagai “anti-Balaka”, yang berarti “anti-parang” dalam bahasa sango lokal, telah melakukan kekejaman yang brutal terhadap minoritas Muslim. Sepuluh ribu ummat Islam telah melarikan diri ke negara-negara tetangga, sementara yang lainnya mencari perlindungan di kamp-kamp.
Akibat kekerasan yang merebak luas terhadap Muslim jauh di dalam wilayah semak belukar di barat daya negara itu, dalam banyak kasus tampaknya hanya anak-anak yang bisa selamat.
Ibrahim Adamou, bocah kecil itu menyaksikan kedua orang tuanya dibunuh dengan kejam oleh milisi anti-Balaka di hadapannya. Dia tidak yakin apakah salah satu dari lima saudaranya selamat dari serangan milisi Kristen yang menembaki keluarganya yang bekerja sebagai pengembala, sewaktu mereka melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Bocah berusia 7 tahun hanya tahu dia harus terus berjalan.
Ibrahim berjalan sejauh 100 kilometer tanpa alas kaki dan sendirian. Pada malam hari, dia tidur dengan beralaskan batang pohon pisang. Dan pada siang hari, dia terus berjalan mengikuti jalur bekas roda kendaraan. Dia tidak tahu pasti kemana dia akan pergi, dan tanpa makana apapun, Krista Larson, koresponden Associated Press melaporkan.
Akhirnya Ibrahim bertemu dengan pasukan penjaga perdamaian yang memberinya beberapa potong kue dan menunjukkan jalan ke Carnot, di mana disana terdapat sebuah gereja Katolik yang melindungi sekitar 800 Muslim, termasuk banyak etnis Peul seperti Ibrahim. Dengan bantuan dari seorang pria Kristen yang mengendarai sepeda motor yang mempertaruhkan hidupnya dengan memberikan anak itu tumpangan, Ibrahim tiba di gereja pada Senin dini hari.
Yang lebih luar biasa tentang kisah Ibrahim adalah bahwa setidaknya ada enam anak-anak lain di bawah usia 10 tahun mengalami cerita yang sama di Carnot. Banyak dari mereka yang mengalami nasib seperti keluarga Ibrahim. Keluarga mereka diserang saat mereka berusaha menyelamatkan diri dari kekerasan awal bulan ini. Yang selamat berusaha untuk mencari jalan menuju Carnot.
Di Carnot, sebuah kota yang berjarak sekitar 500 km (310 mil) barat laut dari ibukota Bangui, warga Muslim mencari perlindungan di sebuah gereja lokal setelah selama beberapa hari mereka bersembunyi di semak-semak.
Pendeta Justine Nary mengatakan bahwa lebih dari 1.000 orang yang berlindung di gereja Barnot, banyak dari mereka wanita dan anak-anak.
Pendeta Nary mengatakan bahwa suasananya sangat tegang setelah milisi anti-Balaka mengancam akan membakar Gereja tersebut jika ummat Islam tidak pergi, meskipun ada pasukan Uni Afrika dan Perancis.
“Kami menerima 223 lebih orang pagi ini dan truk pergi lagi untuk mengambil mereka dari semak-semak tempat mereka bersembunyi,” katanya.
Sekitar pukul 10.30 pada malam terakhir, penjaga perdamaian Kamerun mengetuk pintu gereja untuk membangunkan para pendeta. Seorang gadis kecil Muslim yang tidak tahu berapa umurnya telah muncul di pusat kota, bertelanjang kaki dan terguncang. Para pendeta muncul untuk membawanya ke dalam.
Habiba, yang diyakini berusia sekitar 7 tahun, melihat milisi anti-Balaka membunuh orangtuanya dan saudara-saudaranya, katanya sambil berbisik kepada seorang pendeta. Dia berasal dari desa yang berjarak lebih dari 80 kilometer jauhnya dengan berjalan kaki.
Dua pria yang telah kehilangan anak perempuannya tiba di pintu, lalu cepat-cepat menggelengkan kepala mereka dalam kekecewaan. Habiba ternyata bukan anak mereka. Tak ada yang tahu siapa dia.
Nourou, gadis kecil berusia sepuluh tahun mengatakan bahwa ia telah disembunyikan oleh orang-orang Kristen selama dua hari, yang kemudian membawanya ke gereja. Air mata mengalir di wajahnya. Matanya menyimpan luka yang mendalam akibat serangan kejam para milisi anti-Balaka. Kakinya begitu kurus dan dia nyaris tidak bisa berdiri.
Di sampingnya adalah anak Peul lain bernama Ahmat, diyakini dia berusia sekitar 8 tahun. Dia tidak bisa mengatakan dengan pasti berapa hari dia berjalan atau kapan terakhir dia makan. Warga Muslim yang menyambutnya bertanya tentang desanya dan kemudian mereka menggelengkan kepala tak percaya. Desanya berjarak sekitar 300 kilometer jauhnya. Dia telah berjalan sekitar 300 kilometer, tanpa alas kaki, sendirian. Penderitaan yang tak tertanggungkan oleh seorang bocah kecil seusianya.
Ketika ia mendengar suara sepeda motor di jalan, dia akan bersembunyi di hutan. Ketika jalan-jalan yang akan dilaluinya kosong, ia terus berjalan, bertanya kepada siapa saja di mana ia bisa menemukan para tentara penjaga perdamaian yang menjaga ummat Islam.
Sebuah laporan Amnesty International pada 12 Februari mengatakan bahwa serangan terhadap Muslim pada bulan Januari oleh milisi anti-Balaka, yang terdiri dari orang Kristen dan penganut animisme, telah mencapai jumlah “pembersihan etnis”.
Fatou Bensouda, kepala jaksa di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, sudah membuka penyelidikan awal atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Republik Afrika Tengah. Dia mengatakan bahwa beberapa korban tampaknya telah sengaja dijadikan target berdasarkan agama. (ameera/arrahmah.com)