(Arrahmah.com) – Alhamdulillah, baru saja saya mengunjungi salah seorang Muallafah yang berasal Negara Columbia Amerika Latin. Beliau bernama Martha Eugenta kelahiran tahun 1969. Kisah perjalanan hidupnya sungguh menyentuh dan sangat inspiratif.
Ceritanya begini, beliau dahulu bekerja di sebuah kapal pesiar yang berkeliling dunia melayani para turis mancanegara. Ketika bekerja di kapal tersebut, beliau berkenalan dengan seorang pria indonesia asal bandung yang juga bekerja sebagai kepala house keeping di kapal tersebut.
Karena keseringan berjumpa dan satu profesi, maka di antara mereka terjadilah hubungan yang dekat dan saling mencintai. Karena sudah saling mencintai, maka mereka sepakatlah untuk menikah di Indonesia dan Bu Martha pun rela masuk Islam.
Sekitar tahun 1993, Bu Martha mengikrarkan syahadat dan resmi memeluk Islam di Bandung. Setelah itu, mereka langsung menikah di kediaman suaminya di Bandung.
Setelah menikah, Alhamdulillah, mereka di karunia seorang putri. Semula perjalanan rumah tangga mereka baik-baik saja dan mendapatkan sakinah, mawaddah, warahmah.
Namun setelah umur pernikahan mereka 3 tahun, terjadilah bencana keluarga yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Bu Martha. Suaminya berselingkuh dengan pembantunya.
Saat itu Bu Martha benar-benar terpukul. Beliau pun kabur dari rumah tanpa pamit dan meninggalkan anaknya yang masih bayi.
Bu Martha kabur dari rumah dengan tujuan yang tidak jelas dan dengan biaya ala kadarnya saja.
Beliau pun terlunta-lunta, menjadi gelandangan, bahkan sempat tidur di kuburan selama 5 bulan.
beliau juga pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Hidupnya berpindah-pindah. Sampai suatu saat ada orang yang menyarankan Bu Martha untuk belajar Islam di Pesantren Gontor.
Alhamdulillah, beliau sempat diantar belajar Islam di Gontor. Namun beliau tidak betah karena selalu teringat dengan putrinya. Sedangkan sang suami tidak peduli dengan nasib Bu Martha dan sudah tidak pernah bertemu lagi.
Akhirnya, suami menikahi pembantunya tersebut. Lalu anak semata wayangnya diasuh oleh ibu tirinya yang sangat kejam.
Putrinya ini sejak kecil terus mengalami perlakuan yang tidak baik dari ibu tirinya. Akibat perlakukan buruk itu, sekarang anak tersebut cacat seumur hidup bahkan mengidap penyakit leukimia.
Bu Martha sungguh menderita hidupnya di Indonesia, sementara dia tidak punya keinginan untuk kembali ke negaranya karena dia sudah jadi muslimah.
Beliau sangat khawatir akan dimurtadkan oleh keluarganya karena di sana semuanya non-muslim.
Dari sekian lama petualangannya yang berpindah-pindah tempat tidak jelas kerja dan statusnya, Bu Martha setiap hari menangis merindukan perjumpaan dengan putrinya.
Akhirnya beliau mencoba untuk mencari alamat tinggal mantan suaminya di Bandung dan Tasikmalaya.
Alhamdulillah, setelah lebih kurang setahun dia mencari, akhirnya Allah pertemukan juga dia dengan putrinya yang saat itu tinggal bersama ibu tirinya.
Bu Martha sangat terkejut melihat kondisi putrinya yang sangat menderita. Putrinya lumpuh, tidak bisa berdiri dan duduk sama sekali.
Akhirnya, Bu Martha minta kepada mantan suaminya agar anak itu diasuh oleh dirinya.
Mantan suaminya tidak keberatan. Kemudian anak ini di dibawa ke daerah Bogor Barat.
Di sana Bu Martha mengontrak rumah petak yang sangat kecil yang tidak layak.
Namun, karena ia tidak punya uang, terpaksa harus menerima kenyataan hidup.
Bu Martha sebagai orang asing yang tidak punya relasi apa-apa, tentu mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan. Untuk biaya hidup sehari-hari, Bu Martha bekerja menjadi tukang cuci di rumah-rumah orang.
Aktivitas jadi tukang cuci dia jalani beberapa lama. Tapi karena tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan juga biaya pengobatan anaknya yang setiap 3 bulan sekali harus transfusi darah, maka beliau memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai tukang cuci.
Ia kemudian bekerja memulung barang-barang bekas di tong-tong sampah. Kerja sebagai pemulung ini lebih baik penghasilannya ketimbang saat menjadi tukang cuci.
Dari hasil memulung bisa mendapatkan uang lebih kurang Rp.1,5 juta perbulan. Kalau dihitung secara matematika tentu penghasilan 1,5 juta perbulan jauh dari cukup. Apalagi harus bayar kontrakan rumah, listrik, biaya berobat anak dan lain lain.
Maka demi mempertahankan kehidupan anaknya yang setiap 3 bulan sekali harus transfusi darah, maka ia terpaksa berhutang ke rentenir. Ia sampai sekarang masih punya hutang sekitar 7 juta.
Lalu, karena beratnya beban hidup, dan karena tagihan dari rentenir yang belum bisa dibayar, maka beberapa hari yang lalu ada orang yang menyarankan kepadanya untuk menjumpai saya ke Pesantren Muallaf Annaba Center di Bintaro.
Bu Martha pun datang ke pesantren. Tapi sayang, saat itu saya sedang tidak ada di pesantren. Akhirnya beliau hanya bisa telepon dengan saya dengan difasilitasi santri.
Semula saya kurang serius menanggapi telepon beliau, karena saya sedang sibuk.
Tapi santri saya banyak mengorek kisah ibu itu sampai mereka semua terharu. Lalu beberapa hari kemudian, 2 orang santri kami datang mengunjungi rumah beliau, ternyata memang sangat luar biasa prihatin kehidupan ibu ini.
Lalu, santri saya menceritakan keadaan ibu itu ke saya, maka saya pun langsung berangkat ke rumah ibu itu. Setelah saya tiba di rumah kontrakan Bu Martha, baru beberapa menit saja saya tidak kuasa menahan air mata saya yang terus bercucuran, karena melihat keadaan ibu ini yang sangat mengharukan.
Di depan pintu itu terbaring putri semata wayangnya yang sudah lumpuh, tidak bisa duduk sama sekali dan sulit untuk berbicara. Bu Martha luar biasa cintanya kepada putrinya tersebut. Selalu dia mengatakan, “inilah hartaku, inilah hartaku”.
Bu Martha selalu menciumi kaki putrinya sambil menangis dan kadang-kadang sampai histeris. Saya sungguh terharu melihat kehidupan dua insan yang saya anggap tidak berdosa ini.
Lalu setelah saya berbincang-bincang panjang lebar seputar kehidupan Bu Martha, saya pun merasa berdosa karena baru mengetahui ada muallafah yang seperti ini kehidupannya.
Bu Martha benar-benar sebagai orang Amerika Latin yang punya harga diri dan punya prinsip hidup yang luar biasa menginspirasi.
Karena Bu Martha adalah seorang Muallafah dan juga hidup sebatang kara di indonesia, maka saya merasa terpanggil untuk menolong ibu ini dan putrinya yang cacat.
Lalu saya tawarkan kepada Bu Martha agar pindah ke daerah Bintaro dekat pesantren, nanti saya kontrakkan rumah ibu, semua biaya hidup ibu saya tanggung dan juga pengobatan anak ibu saya tanggung, dan segala kebutuhannya saya penuhi, kemudian ibu berhenti jadi pemulung, fokus urus anak dan sambil belajar Islam di pesantren.
Pokoknya ibu hanya ibadah saja kegiatannya, karena ibu punya hak dalam Islam untuk ditolong.
Subhanallah, di luar dugaan saya. Sungguh Bu Martha seorang ibu yang tangguh yang tidak mau menggantungkan nasibnya kepada orang lain, meskipun dia sudah menderita. Ia tetap dia tidak mau hidup dari belas kasih orang lain.
Dia justru menjawab, “terima kasih banyak Pak Ustadz Nababan atas perhatian dan kepeduliannya. Biarlah saya hidup seperti ini tetap sebagai pemulung, karena saya pernah dihina orang lain dengan mengatakan, bule ini tidak bisa apaapa, lebih baik perawan anaknya dijual saja, supaya bisa hidup layak”.
Dia benar-benar terpukul dengan kata-kata itu, maka dia ingin membuktikan kepada orang itu bahwa suatu saat ia akan bisa hidup lebih baik. Maka dia ingin bertahan jadi pemulung agar bisa membuktikan kepada orang tersebut bahwa dia yakin nanti Allah pasti beri rezki yang banyak.
Sebuah pengalaman hidup yang luar biasa menginspirasi saya, betapa ada orang yang lemah ekonominya, seorang janda miskin, orang Bule dan muallafah, rasanya aneh ada orang Bule jadi pemulung sampah di negeri orang demi mempertahankan aqidahnya.
Bahkan yang lebih seru lagi adalah dia mendapatkan kiriman uang warisan dari orang tuanya sebesar 6 miliar yang saat ini ditahan oleh kedutaan Columbia di Jakarta karena penyerahan uang ini harus dengan syarat dia mau kembali ke negerinya di Columbia.
Tapi Bu Martha menolak untuk kembali ke negaranya karena khawatir akan dimurtadkan. Maka beliau rela untuk tidak mengambil uang warisan tersebut. Bahkan dia sudah tidak mau lagi pulang ke Columbia karena sudah merasa nyaman tinggal di indonesia bersama putrinya walaupun hidup prihatin.
Sungguh tangguh iman ibu ini, benar-benar budaya mereka membentuk mentalnya menjadi wanita yang tidak mudah menyerah dengan keadaan.
Bayangkan, saya tawarkan beliau pindah ke dekat pesantren di Bintaro, dengan tidak kerja apa-apa dan ditanggung semua kehidupannya, beliau tidak mau, tetap memilih jadi pemulung demi membuktikan kepada orang yang menghinanya bahwa Allah mendengar doa dia suatu saat nanti.
Saya tidak kuasa membendung air mata ini, ternyata ada ibu janda yang muallafah yang sangat tangguh kepribadiannya.
Semoga Allah menjadikan beliau sebagai wanita teladan kelak, aamin.
*Dikisahkan oleh Ust.Nababan dari Pesantren Muallaf – Annaba Center Indonesia.
(ameera/arrahmah.com)