JAKARTA (Arrahmah.com) – Kecanduan game online di kalangan anak dan remaja di Indonesia jumlahnya semakin meningkat dan dampaknya terhadap kondisi fisik dan psikologis mereka tidak bisa diremehkan. Namun, kebanyakan masyarakat masih menganggap kecanduan game online bukan masalah serius.
“Misalnya ada orang tua yang datang kemari karena anaknya sudah mau di-DO (Drop Out) dari universitasnya di Purwokerto. Anak kecanduan game online, jam 1, 2 pagi masih online. Gak mau mandi, sampai pispot dibawa masuk ke kamar karena gak mau ke kamar mandi, dia gak mau meninggalkan gamenya, jadi dibawa kemari,” kata dr Kristiana Siste Kurniasanti di Jakarta.
Dokter yang biasa dipanggil dr Siste ini adalah seorang pakar adiksi yang juga Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Dr Sist mengatakan, pemerintah Indonesia perlu memiliki kebijakan nasional untuk mengantisipasi dampak adiksi game online demi melindungi kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Prevalensi kecanduan game online di tanah air diduga lebih tinggi dari sejumlah negara maju di Asia.
RSCM sejak tahun 2018 telah membuka klinik khusus adiksi perilaku, dan sampai sekarang sudah merawat puluhan pasien anak, remaja, dan dewasa dari berbagai daerah.
Para pasien itu umumnya mengalami hendaya atau disfungsi serius akibat kecanduannya bermain game online.
Selain menangani para pasien tersebut, dr Siste juga mengkhawatirkan bahwa sejauh ini kesadaran masyarakat terhadap dampak adiksi online juga masih sangat rendah.
“Berbeda dengan kecanduan narkoba yang dekat dengan kriminalitas, orang tua banyak yang khawatir. ”
Selain kasus seperti yang terjadi pada mahasiswa yang hampir diberhentikan dari universitasnya, dr Siste juga mengungkapan ada pasiennya yang sudah mendapat teguran dari kantornya karena pekerjaannya terbengkalai.
“Sada juga yang sampai terjerat utang ratusan juta rupiah gara-gara kecanduan ikut judi bermain game bola online,” ujarnya.
Kondisi ini terjadi karena pada bagian otak pecandu game terjadi kerusakan khususnya pada area yang berfungsi untuk mengendalikan diri dan perilakunya.
“Pada kasus adiksi ada bagian dari otak pecandu yang rusak, yakni area yang namanya pre-frontal cortex, dimana ketika dilakukan pencitraan otak, di daerah itu didapati rusak, ketimbang mereka yang tidak kecanduan,” terang dr Siste.
“Area ini bertanggung jawab untuk mengendalikan diri, perilaku dan juga impuls yakni hal-hal yang dilakukan tanpa berpikir lagi. Jadi kalau bagian ini rusak dia gak bisa lagi berpikir, jadi langsung melakukan sesuatu dan perilakunya itu menimbulkan apa yang disebut neurotransmitter dopamine yang membuat dia merasa bahagia,” lanjutnya.
Dalam jangka panjang adiksi game online juga dapat memicu gangguan fungsi eksekutif untuk membuat perencanaan.
“Ini dalam jangka panjang akan menjadi masalah nasional. Bisa dibayangkan seperti apa kualitas sumber daya manusia Indonesia nantinya.”
“Kalau generasi muda kita banyak yang tidak bisa mengeksekusi pekerjaan karena mereka tidak tahu urutan melakukan sesuatu [membuat perencanaan] akibat kerusakan pada otaknya tersebut.” ungkapnya.
Sumber: ABC Indonesia
(ameera/arrahmah.com)