(Arrahmah.id) – Dalam perjalanan kembali ke Madinah, di bukit pasir yang luas, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam membagi harta rampasan perang secara merata di antara para sahabat setelah dia mengambil al-khumus (seperlima). Ketika mereka sampai di as-Safra’, dia memerintahkan agar dua tawanan dibunuh. Mereka adalah An-Nadr Ibnu al-Harits dan ‘Uqbah Ibnu Abi Mu’ait, karena mereka telah menganiaya umat Islam di Makkah, dan memendam kebencian yang mendalam terhadap Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam. Singkatnya, mereka adalah penjahat perang dalam terminologi modern, dan eksekusi mereka merupakan pelajaran yang luar biasa bagi orang kafir.
‘Uqbah berteriak, “Siapa yang akan menjaga anak-anakku wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab, “Api (Neraka).” Apakah ‘Uqbah tidak ingat hari ketika dia melemparkan isi perut seekor domba ke kepala Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam saat dia sujud dalam doa, dan Fatimah telah datang dan membasuhnya? Ia juga pernah mencekik Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dengan jubahnya jika bukan karena Abu Bakar turun tangan dan melepaskan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Kepala kedua penjahat itu kemudian dipenggal oleh ‘Ali Bin Abi Thalib.
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menasihati umat Islam untuk memperlakukan para tawanan dengan sangat baik sedemikian rupa sehingga para sahabat biasanya memberikan roti mereka kepada para tawanan (bagian makanan yang lebih berharga) dan menyimpan kurma untuk diri mereka sendiri.
Tawanan perang merupakan masalah yang menunggu penyelesaian karena merupakan fenomena baru dalam sejarah Islam pada saat itu. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berkonsultasi dengan Abu Bakar dan ‘Umar Bin Khattab tentang apa yang harus dia lakukan dengan para tahanan. Abu Bakar menyarankan agar dia menebus mereka, menjelaskan hal ini dengan mengatakan: “Bagaimanapun juga, mereka adalah kerabat kita, dan uang ini akan memberi kita kekuatan melawan orang-orang kafir, terlebih lagi, Allah dapat membimbing mereka ke Islam.” Sementara ‘Umar menyarankan untuk membunuh mereka, dengan mengatakan, “Mereka adalah gembong kekafiran.” Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam lebih menyukai saran Abu Bakar daripada saran ‘Umar.
Keesokan harinya, ketika ‘Umar hendak menemui Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan Abu Bakar, ia melihat mereka menangis. Dia menunjukkan keheranan yang luar biasa dan bertanya tentang situasinya sehingga dia bisa menangis jika layak untuk ditangisi, atau dia akan berpura-pura menangis.
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam lalu menjelaskan tentang turunnya surah Al Anfal ayat 67-68 sebagai bentuk teguran atas keputusan yang diambil oleh Nabi. Surah tersebut membenarkan pendapat Umar tentang hukum yang seharusnya diberlakukan atas para tawanan.
Abu Bakar kemudian berkata, “Wahai Umar, jika sekiranya turun azab dari langit karena hal ini, maka tidak akan ada yang selamat kecuali Engkau, Umar.”
Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kalian menghendaki harta benda duniawiah, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Allah, niscaya kalian ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kalian ambil. (TQS. Al Anfal: 67-68)
Dalam Firman Allah yang lain:
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka tebaslah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. (TQS. Muhammad: 4)
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ditegur hanya karena mengambil tawanan sebelum menaklukkan seluruh negeri kekafiran. Selain itu, kaum musyrik yang dibawa ke Madinah bukan sekedar tawanan perang tetapi juga penjahat perang yang kalau diadili oleh hukum pidana perang modern hukumannya mati atau penjara seumur hidup.
Tebusan untuk para tahanan berkisar antara 4000 dan 1000 dirham sesuai dengan situasi keuangan tawanan. Bentuk tebusan lain mengambil dimensi pendidikan, sebagian besar orang Mekkah, tidak seperti orang Madinah, adalah orang yang terpelajar sehingga setiap tahanan yang tidak mampu membayar uang tebusan dipercayakan untuk mengajar sepuluh anak agar bisa menulis dan membaca. Setelah anak itu cukup mahir, instruktur akan dibebaskan. Klan tahanan lain dibebaskan tanpa tebusan dengan alasan yang cukup rumit. Zainab, putri Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, membayar tebusan suaminya Abul-‘As dengan sebuah kalung. Kaum Muslimin membebaskan tawanannya dan mengembalikan kalung itu sebagai penghormatan kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tetapi dengan syarat Abul-‘As mengizinkan Zainab untuk hijrah ke Madinah.
Di antara tawanan, ada juga seorang orator ulung bernama Suhail Bin ‘Amr. ‘Umar menyarankan agar mereka mencabut gigi depannya supaya dia tidak bisa lagi berbicara, tetapi Nabi sallallahu ‘alayhi wa sallam menolak sarannya karena takut kaum Quraisy akan membalas dengan cara yang sama di satu sisi, dan di sisi lain karena takut akan murka Allah pada Hari Kebangkitan.
Sa’ad Bin Nu’man Bin Akal, yang ditahan ketika umrah di Makkah dibebaskan sebagai imbalan atas pembebasan putra Abu Sufyan, Abu Amr bin Abi Sufyan.
Pada saat itu kaum Muslim baru membentuk pemerintahan di Madinah, sehingga mereka seharusnya menghinakan musuhnya dengan menimpakan hukuman mati daripada menerima tebusan. Dengan demikian kehormatan dan kedaulatan kaum Muslimin diperhitungkan musuh. Tindakan itu pun akan meninggikan kekuasaan mereka di muka bumi dan menanamkan rasa takut di hati musuh yang telah menyombongkan kekuasaan serta kekuatan mereka. Harta tebusan hanyalah pilihan kedua setelah berhasil melemahkan musuh melalui peperangan. (zarahamala/arrahmah.id)