(Arrahmah.com) – Seorang ibu bercerita, sebuah kisah yang akan menjadi pelajaran tak ternilai bagi kita yang menyandang status istimewa: IBU.
Simak kisahnya:
Suatu hari, aku sedang membersihkan rumah. Tiba-tiba anak lelakiku yang masih kecil berlari ke arahku. Dia tersenggol satu pot bunga yang terbuat dari kaca. Pot bunga itu pun pecah hancur berantakan.
Aku benar-benar marah karena pot itu sangat mahal harganya. Kini pot tersebut hancur tersenggol olehnya.
Spontan mulutku pun melontarkan kata-kata sumpahan. Kata-kata yang di kemudian hari akan menjadi penyesalan yang berkepanjangan untukku.
“Matilah kamu! Semoga kamu ditimpa dinding bangunan dan tulang-belulangmu hancur!”
Tidak terasa, tahun demi tahun berlalu. Anak lelakiku itu pun tumbuh besar dan dewasa.
Aku sudah lupa akan kata-kataku itu. Aku pun tak menganggapnya penting.
Aku tidak pernah menyadari, bahwa kata-kata itu telah menjadi doa yang menembus langit.
Anak lelakiku itu dan adik-adiknya yang lain tumbuh besar. Dia sebenarnya adalah anak sulung yang paling aku sayangi dibanding anak-anakku yang lain.
Dia tumbuh menjadi anak yang rajin dan pandai menghormatiku dan berbakti kepadaku dibandingkan adik-adiknya yang lain.
Sifatnya itu benar-benar telah mencuri hatiku dan membuatku menjadi sangat menyayanginya.
Kini dia telah menjadi seorang insinyur. Tak lama lagi dia akan menikah. Tak sabar rasanya aku ingin menimang cucu.
Suamiku punya sebuah bangunan yang sudah lama dan ingin direnovasi. Maka pergilah anakku bersama ayahnya ke gudang itu. Para pekerja sudah bersiap-berisap untuk merobohkan satu dinding yang sudah usang dan lapuk.
Sementara pekerja sedang bekerja, tanpa sepengetahuan siapapun, anakku pergi ke belakang bangunan.
Tak disangka-sangka dinding bangunan itu roboh menimpanya!
Terdengar suara berteriak dalam runtuhan itu…
Hingga, lamat-lamat suaranya tak kedengaran lagi.
Semua pekerja kaget dan menghentikan aktivitasnya.
Mereka heran, suara siapa itu?
Mereka pun segera berlari ke arah reruntuhan itu. Di sana mereka mendapati tubuh anakku tergeletak tertimpa bangunan.
Mereka pun mengangkat dinding yang menghimpit anakku dengan susah payah dan segera memanggil ambulans.
Para pekerja itu tidak bisa mengangkat tubuh anakku. Ia remuk bagai kaca yang jatuh pecah berkeping.
Sebagian mereka mengangkat badan anakku yang hancur dengan hati-hati dan segera membawanya ke UGD di RS.
Ketika ayahnya menghubungiku, seakan-akan Allah menghadirkan kembali kata-kataku padanya semasa ia msh kecil dulu. Kata-kata yang sudah kulupakan dan kuanggap tidak penting.
Aku menangis hingga pingsan. Setelah aku sadar, aku berada di rumah sakit dan aku meminta untuk melihat anakku.
Ketika itu, jantungku seakan berhenti berdetak. Anakku menghembuskan nafasnya yg terakhir. Aku berteriak dan menangis sambil berkata,
“Ya Allah! Selamatkanlah anakku! Jangan pergi nak..!”
Seandainya, lidah ini tidak mendoakan kejelekan 25 tahun yang lalu…!
Andaikan..! Andaikan..! Andaikan..! Tetapi kalimat ‘andaikan’ ini tak berguna lagi sekarang!
Sungguh aku menceritakan ini dengan airmataku yang turut mengalir.
Wahai anakku..! Aku rela rohku turut bersamamu..! Hingga aku boleh beristirahat dari kepedihan yang aku rasakan setelah kepergianmu…
Ya Allah, ampunilah dosaku.
****
Wahai Ummahat, sesak rasanya kita mendengar kisah semacam ini. Banyak kisah serupa, baik kisah nyata ataupun fiksi.
Wahai Ummahat, insya Allah kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki. Mari kuatkan tekad dan bertawakkal kepada Allah untuk mencoba menjadi lebih baik lagi dalam bertutur kata ke depannya, dan perbanyak istighfar atas segala khilaf di masa lalu.
Mari kita selalu meminta perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari godaan iblis selalu ingin menjerumuskan kita.
Doakanlah yang baik-baik saja untuk anak-anak kita! Doa itu pasti akan terjawab walaupun untuk sekian lama. Tunggulah dan Allah pasti mengabulkannya. Aamiin..
Wallahu A’lam..
*Cerita ini dikisahkan oleh Abu Fatih dalam Sharing Terapi Qur’an dengan beberapa perbaikan dan tambahan tanpa mengurangi pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.
(ameera/arrahmah.com)