BANGKOK (Arrahmah.com) – Seorang Muslimah Rohingya yang diduga disekap dan disiksa di kamp hutan Thailand mengungkapkan kepada media setempat bahwa terakhir kali dia melihat anaknya adalah ketika kesempatan untuk melarikan diri datang.
“Mereka mengatakan bahwa polisi datang. Semua orang berlari. Tapi saya tidak bisa berlari karena saya terlalu sakit untuk bergerak,” kata Rohima Khatun kepada Bangkok Post pada Selasa (5/5/2015).
Seperti yang lainnya yang melarikan diri dari kamp, dia terus berlari naik turun gunung hingga mencapai desa setempat.
Saya tidak tahu di mana anak saya yang berusia 10 tahun, katanya.
Muslimah Rohingya berusia 25 tahun itu ditemukan di provinsi Songkhla, dekat sebuah kamp di mana ditemukan 26 mayat Rohingya dan warga Bangladesh korban perdagangan manusia yang digali selama akhir pekan.
Sejak itu Thailand telah berupaya untuk melacak pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kasus tersebut, sementara itu polisi mengatakan pada Selasa (5/5) bahwa mereka telah menemukan kuburan migran lainnya yang berisi lima kuburan.
Khatun mengatakan kepada wartawan bahwa ia ditahan di kamp itu selama sekitar empat bulan sebelum ia berhasil melarikan diri.
“Saya dipukuli berkali-kali,” katanya. Sekarang dia dirawat rumah sakit Songkhla.
Khatun mengatakan bahwa dia dibawa dari suatu tempat di Myanmar dan ditahan di kamp hutan sekitar empat bulan yang lalu.
Dia menambahkan bahwa ada sekitar 400 orang yang ditahan di kamp itu, sebagian besar adalah orang Rohingya dan Bangladesh.
Seorang warga Bangladeh yang selamat mengatakan bahwa orang-orang yang mengelola kamp itu menuntut uang tebusan dari keluarga mereka setelah mereka tiba di pantai Thailand.
Dia mengatakan kepada media Thailand dari rumah sakit yang sama di mana Khatun sedang dirawat bahwa ia telah diculik di Cox Bazar, sebuah kota pantai di selatan Bangladesh, dan dipaksa dibawa ke perahu bersama dengan orang Bangladesh lainnya dan beberapa orang Rohingya.
Ia kemudian dikirim ke kamp di Thailand selatan, di mana para penyelundup itu menyuruhnya untuk menghubungi keluarganya dan memberitahu mereka bahwa mereka harus membayar uang tebusan untuk pembebasannya.
“Saya tidak pernah bisa menghubungi keluarga saya dan meminta mereka untuk membayar,” katanya kepada Phuketwan. “Kami adalah orang-orang yang tidak bisa membayar uang tebusan sehingga mereka menahan kami dan benar-benar tidak peduli apakah kami hidup atau mati.”
Berbicara kepada The Anadolu Agency pada Selasa (5/5), seorang komandan penjaga pantai Bangladesh mengatakan beberapa bulan lalu bahwa ia telah membantu menyelamatkan beberapa ratus orang korban perdagangan manusia.
“Mereka mengatakan kepada kami bahwa pedagang manusia itu mengumpulkan orang-orang dan meyakinkan mereka bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan di Malaysia, tetapi ketika mereka tiba di Thailand, pedagang manusia itu menjebak mereka dan menuntut sejumlah uang yang banyak untuk mengangkut mereka ke Malaysia,” kata Komandan polisi Kazi Fariduzzaman.
Chris Lewa, Direktur Arakan Project – sebuah LSM yang memperhatikan nasib Muslim Rohingya selama lebih dari satu dekade – mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa penyelundupan orang Rohingya dan Bangladesh menuju Malaysia melalui Thailand selatan merupakan proses yang kompleks dan terus berkembang .
Kekerasan meletus antara dua komunitas itu pada bulan Juni 2012, yang memaksa banyak orang Rohingya melarikan diri.
Mereka membayar kepada para penyelundup untuk mengangkut mereka ke perahu reyot di Laut Andaman menuju Thailand dan Malaysia. Sesampai di sana, mereka bermaksud untuk melakukan perjalanan ke luar seperti Australia, Eropa, kadang-kadang Turki, dan apabila mereka mendapat pekerjaan maka mereka akan mengirimkan uang kepada keluarga mereka dengan harapan suatu hari nanti mereka bisa berkumpul dengan mereka.
“Penyelundupan dan perdagangan manusia merupakan proses yang kompleks dengan banyak langkah. Kadang-kadang orang-orang akan melalui tangan tiga orang yang berbeda bahkan sebelum mereka mencapai daratan.”
(ameera/arrahmah.com)