Ketika Ibu Fatimatu Yamsa yang ketakutan berlari dengan keluarganya, termasuk bayi mungil perempuan berusia delapan bulan yang bernama Shamsia, ia tidak pernah menyangka bahwa semua keluarganya akan dibunuh oleh milisi Kristen, kecuali bayi perempuannya yang masih hidup.
“Ini adalah keajaiban, ia bisa selamat,” Aalaji Yamsa, paman Shamsia, mengatakan kepada The Washington Post, Ahad (9/3/2014).
Penderitaan keluarga tersebut terjadi pada tanggal 14 Januari lalu ketika mereka mencoba menyelamatkan diri dari kekejaman milisi kristen anti-Balaka di ibukota Bangui, sebuah truk yang membawa pengungsi Muslim dan Kristen dihentikan oleh milisi Kristen anti-Balaka.
Seluruh penumpang yang beragama Islam diminta untuk keluar dari truk, ibu Shamsia memohon kepada seorang wanita Kristen untuk mengambil bayi itu dan berpura-pura itu adalah bayinya.
Sebelum turun dari truk, ibu Shamsia berbisik kepada seorang wanita Kristen: “Cari adik ipar saya di kota berikutnya dan berikan bayi ini kepadanya.”
Semua warga Muslim dibawa ke sebuah masjid di mana mereka kemudian dirampok, dijarah dan dibacok sampai mati oleh milisi Kristen yang kemudian membuang jenazah-jenazah mereka ke dalam kuburan massal.
“Mereka semua tewas di depan masjid,” kata Serge Gougodou, seorang petani yang menyaksikan pembantaian itu.
“Mereka membawa mayat-mayat tersebut di sana, dan menggali lubang besar,” kata Sonya Infana, seorang tetangga, menunjuk ke sebuah gundukan.
“Mereka melemparkan mayat-mayat itu ke dalam,” tambah Infana.
Nasib Shamsia berbeda, ia memiliki cobaan hidupnya sendiri.
Setelah truk tiba di Bossembele, 20 km sebelah utara dari Boyali Bangui, wanita Kristen yang dititipi bayi perempuan tersebut memenuhi janjinya dan menyerahkan bayi perempuan Muslim itu kepada pamannya.
“Apakah keluarga saya dibunuh?” Aalaji Yamsa, paman Shamsia bertanya kepada wanita Kristen itu.
“Yang saya tahu adalah bahwa mereka dibawa ke masjid,” jawab wanita itu.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.”
Bayi perempuan itu akan diasuh oleh pamannya yang tinggal bersama istri dan sepuluh anaknya.
Beberapa hari setelah Shamsia tiba di rumah pamannya, kota ini telah menjadi saksi eksodus warga Muslim setelah milisi anti-Balaka mengambil kendali dan membunuh warga Muslim yang tersisa.
“Kami tidak pernah berteman,” kata Sylvain Danboye, salah satu milisi anti-Balaka.
“Jika ada keluarga Yamsa datang kembali, kami akan membunuhnya.”
Selama beberapa minggu terakhir, ribuan warga sipil Muslim yang ketakutan kembali melarikan diri untuk menyelamatkan hidup mereka dari pembunuhan, penjarahan dan kekerasan yang dilakukan oleh milisi Kristen bersenjata yang biadab.
Yamsa dan keluarganya berhasil meninggalkan kota itu menuju Chad.
Berlindung di kota Paroki St Pierre Bouali dengan ribuan Muslim yang dievakuasi, Yamsa telah menyaksikan salah satu serangan yang paling mematikan terhadap ummat Islam.
“Kami sedang berbaring di lantai,” kata Yamsa.
“Peluru terbang melalui gereja, menembus dinding.”
Melihat istri Yamsa yang kepayahan dan kehabisan tenaga, Pastor David menawarkan untuk mengurus Shamsia karena istri pamannya itu sudah tidak bisa merawat bayi.
Saat ini, pendeta mengasuh bayi perempuan tersebut yang sekarang telah berusia sembilan bulan, bersama dengan keluarganya tanpa memberitahu tetangganya bahwa dia adalah seorang Muslim.
“Jika orang-orang yang mengatur negara ini mengerti berapa banyak Muslim dan Kristen saling membantu satu sama lain dalam kehidupan mereka, mereka tidak akan menimbulkan gejolak tersebut,” kata David, seorang Pendeta Kristen yang merawat bayi Muslim tersebut.
“Tapi mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri,” tambah David, yang mengharap bahwa konflik sektarian di negaranya akan berakhir.
“Saya tidak pernah memberitahu siapa pun dia adalah seorang Muslim,” kata David.
“Saya takut terhadap apa yang akan mereka lakukan.” (ameera/arrahmah.com)