Kisah seorang ksatria Jabhah Fath Syam dari tim inghimasi. Namanya adalah Abu Hafs Kafrsajna, berasal dari desa Kafrsajna, pinggiran kota idlib. Pria berusia 20 tahun ini dicintai teman-teman sesama Mujahidin karena banyak sifat baik yang menonjol dari dirinya. Terutama kemampuannya dalam hal kepemimpinan. Walaupun berusia muda, namun untuk kedisiplinan dan mengatur pasukan dia adalah ahlinya.
Kerinduannya menggapai syahadah memang telah lama nampak dari dirinya dan menjadi ksatria garis depan yang menyongsong maut adalah posisi impiannya semenjak bergabung dengan Jabhah Fath Syam. Subhanallah impiannya akhirnya terwujud di ghazwah benteng matfaiyah di kota Aleppo.
Ia bergabung di dalam tim inghimasi Jabhah Fath Syam. Ketika pertempuran berlangsung, para ksatria ini tidak mengambil banyak waktu dan langsung menceburkan diri di tengah-tengah musuh.
Pasukan inghimasi Jabhah Fath Syam yang masuk ke benteng artileri berat terbesar di kota Aleppo itu berhasil merangsek masuk hingga ke jantung markas terdalam. Namun qadarullah, musuh dengan strategi militer yang jitu berhasil mengepung mereka dengan gerakan manufer. Tinggallah beberapa ikhwah dari tim inghimasi terkepung di dalam benteng musuh.
Abu Hafs bukannya panik dengan keadaan tersebut, namun membulatkan tekadnya dan ia segera meminta ijin kepada amir untuk menyerang maju sendirian sesuai harapannya menewaskan musuh atau dia mendapatkan kesyahidannya. Abu Dujanah sebagai amir dengan berat hati mengijinkan kepergian Abu Hafs untuk operasi berani matinya tersebut.
Dengan gagah berani sang singa berlari menerjang musuh dengan senjata serbunya. Baku-tembak terjadi ketika Abu Hafs merangsek bangunan yang penuh tentara musuh di dalamnya. Tak terkira oleh pasukan musuh keberanian dari pemuda ini yang menyerbu sendirian ke dalam bangunan yang penuh dengan pasukan.
Hingga jatuhlah banyak korban dari pihak tentara rezim Asad dari operasi ini. Tetapi tentara persekutuan Syiah ini akhirnya berhasil menembak sang ksatria Abu Hafs Kafrsajna. Satu luka di kaki dan dua lubang di dadanya membuat terkamannya kepada musuh terpaksa terhenti.
Dengan langkah tertatih ia mundur ke belakang menemui rekan-rekan tim inghimasi. Abu Dujanah sang amir yang menyaksikan sang ksatria tertatih dengan luka yang serius segera berlari dan menggendongnya mencari tempat perlindungan. Sepanjang 200 meter dia menggendong Abu Hafs yang tak mampu lagi berjalan.
Ditatapnya wajah Abu Hafs yang sangat kepayahan namun tampak sangat tenang. Maka sekejap itu pula Abu Dujanah tak mampu membendung tangisnya
Sang amir lalu bertanya pada Abu Hafs: “Yaa akhi, apa yang kau lihat sekarang?”
Abu Hafs menjawab: “Aku tidak melihat apapun, tetapi keyakinanku sebentar lagi aku akan menghadap Allah.”
Abu Dujanah semakin menangis dengan kesedihannya yang mendalam. kemudian dia bertanya lagi: “Apa yang kau inginkan sekarang?”
Abu Hafs berkata: “Tolong berikan aku siwak!”
“Kenapa yaa akhi, engkau meminta siwak?” Tutur Abu Dujanah.
Abu Hafs menjawab: “Aku ingin di akhir kehidupanku seperti akhir kehidupan kekasihku RasulullAh shalallahu alaihi wasallam.”
Kata-kata itu membuat Abu Dujanah semakin tersedu, layaknya itu adalah salam perpisahan dari teman seperjuangannya. Diberikanlah siwak kepada Abu Hafs dan dituntunnya Abu Hafs untuk bersiwak. Dan memang benar itulah detik-detik kesyahidan sang ksatria. Detik kesyahidan yang sangat diimpikannya, layaknya detik meninggalnya baginda Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam.
Semoga Allah menempatkanmu di jannah firdaus bersama para anbiya dan para syuhada. Aamiin. (*/arrahmah.com)