Tak habisnya dien ini melahirkan pahlawan-pahlawan baru sebagai panutan bagi generasi setelahnya. Tersebutlah seorang lelaki dalam perjalanan jihad di bumi Syam yang diberkahi, bernama Abu Wajih Asy-Syami. Lelaki berumur 36 tahun yang berprofesi sebagai seorang polisi. Berdinas di wilayah Daraya, Suriah. Kehidupan yang berkecukupan dijalaninya dengan keluarga kecilnya di lingkungan kepolisian Suriah.
Namun, gelombang revolusi di Suriah menyibak semua kedzaliman pemerintahan Bashar Asad. Ribuan rakyat Suriah menjadi korban kebiadaban pemerintahan tirani Suriah. Korbannya adalah muslim Sunni, dan mereka dibantai karena tetap dalam keyakinan mereka mempertahankan aqidah Islam.
Kondisi tersebut membuatnya tersentuh. Hati nuraninya memanggilnya untuk membela kaum Muslimin yang didzalimi oleh pemerintahan yang berpaham Syiah. Maka keputusannya bulat untuk meninggalkan profesinya dan membelot, bergabung dengan Mujahidin. Hal tersebut dimusyawarahkan dengan keluarganya. Istri dan anaknya setuju, sedangkan ayah kandungnya menolak dengan keras rencananya tersebut.
Akan tetapi memang sudah tertancap sebuah prinsip di hatinya, “bahwa pemuda dien ini tidak akan sedikitpun berkompromi dalam urusan aqidah islam”. Maka dia bertolak pergi meninggalkan kesatuannya di polisi Suriah dan membawa serta keluarganya. Mereka tinggal di kampung halaman Abu Wajih, sebuah perkampungan kecil di pinggiran kota Idlib.
Bergabunglah Abu Wajih dengan Mujahidin, melawan rezim tirani Bashar Asad yang dzalim. Dengan pengalamannya di kepolisian dan kedisiplinannya dalam dunia militer, membuat komandan Mujahidin memilihnya menjadi amir sariyah mengatur beberapa katibah (kelompok regu).
Posisinya sebagai amir sariyah tidak membuatnya berlaku sewenang-wenang terhadap bawahannya, namun ia melayani dengan tulus para Mujahid muda. Tutur katanya yang santun dan lembut menjadikan seluruh Mujahidin menyayanginya.
Peperangan dan ribath di perbatasan musuh terus berlangsung di bawah komando Abu Wajih, sampai pada suatu ketika ia mengajukan sebuah permohonan izin kepada komandan Mujahidin. Abu Wajih mengungkapkan sebuah masalah dalam keluarganya, yaitu ibundanya mengalami musibah berupa sakit yang parah, sehingga tidak mampu untuk berjalan, dan hanya berbaring di tempat tidurnya.
Izin diberikan oleh komandan Mujahidin dan larutlah Abu Wajih terhadap baktinya terhadap ibundanya. Setiap hari ibunya dirawat dengan sepenuh hati. Digendongnya ibunya bila ingin buang hajat ke kamar kecil. Semua dilakukannya dengan ketulusan dan kecintaan.
Beberapa bulan berlalu, kondisi ibundanya mulai membaik. Tak ingin membuang banyak waktu untuk beramal sholeh, Abu Wajih berpamitan kepada ibunya untuk melanjutkan perjuangannya mempertahankan bumi Syam dari cakar-cakar Syiah musuh Islam.
Maka ia kembali memimpin sariyah yang dahulu ditinggalkannya.
Ada sebuah peristiwa yang disampaikan seorang Mujahid tentang kepemimpinan Abu Wajih ini.
Pada saat itu setelah dibebaskan Tall Izz di Aleppo. Mujahidin menjaga penuh kontrol bukit dan kota Izz. Ribath digulirkan bergantian setiap katibah, yaitu setiap katibah mendapat giliran selama 2 minggu penuh.
Sariyah Abu Wajih menjalani ribath tersebut dengan patuh dan disiplin yang tinggi. Hingga berakhirnya minggu kedua dari giliran mereka. Datanglah kelompok baru mujahidin yang bersiap menggantikan posisi mereka untuk berjaga di perbatasan musuh.
Akan tetapi masalah muncul dari kelompok baru yang akan menggantikan ini. Mereka mengatakan mereka takut ditinggal pergi oleh sariyah Abu Wajih. Berdalih dengan tidak siapnya mereka akan senjata berkaliber besar, dan kurangnya persiapan membuat mereka berkata bahwa mereka akan mundur jika pasukan musuh menyerang.
Kontan membuat para anggota sariyah Abu Wajih menjadi emosi karena pernyataan itu. Tapi dengan wajah teduh dan bijaksana Abu Wajih berkata kepada anggotanya:
“Saya akan tetap tinggal untuk menjaga wilayah ini, siapa yang ingin pulang silakan pulang. Tapi siapa yang ingin tetap disini bersama saya, saya menghargai keinginannya.”
Sebuah kata yang tegas tetapi lembut terucap dari lisannya. Beberapa ikhwah memutuskan untuk pulang ke rumah karena hajat mereka, dan ada sebagian menyertai Abu Wajih membantu ribath kelompok yang baru datang.
Peperangan terus berlangsung di Aleppo, berhari-hari pasukan Syiah selalu mencoba masuk menyerang. Dan begitupula Mujahidin selalu teguh dalam pertahanan. Hingga pasukan Syiah selalu gagal dalam penyerbuan dan menyebabkan banyak kerugian kematian dari personilnya.
Hingga pada suatu ketika, pasukan Syiah Nushairiyah Suriah dan sekutunya mengadakan penyerbuan besar-besaran ke wilayah Mujahidin. Waktu itu Abu Wajih menjadi amir sariyah dalam ribath .
Diawali dengan bombardir dari musuh ke arah bunker Mujahidin, ratusan roket menghujani bunker Mujahidin, hingga suasana malam itu pecah dengan suara ledakan dan api.
Abu Wajih mengomandani pasukannya supaya berlindung didalam lubang-lubang dan memperbanyak dzikir dan doa. Rupanya serangan itu tidak berhenti sampai disitu, pasukan Syiah maju menyerang bunker Mujahidin dengan mengendarai tank, bmp dan ratusan tentara infanteri dikerahkan saat itu.
Abu Wajih melihat posisi musuh mendekat dengan kekuatan penuhnya, tak ada gentar di dalam hatinya melihat pemandangan itu. Berteriaklah dia dengan lantang kepada seluruh anggota sariyahnya:
“Tetap tsabat yaa ikhwaah! Tetaplah tsabat!”
Rupanya teriakannya tidak ditaati pasukannya yang ketakutan melihat ratusan tentara musuh yang menyerbu bagai gelombang ombak yang menerjang tersebut. Mereka mundur dan lari kebelakang meninggalkan Abu Wajih sendirian menghadapi serbuan musuh.
Abu Wajih menyaksikan bagaimana pasukannya pergi mundur meninggalkannya. Air matanya berderai karena kesedihannya yang mendalam atas peristiwa itu. Dengan suaranya yang tersenggal karena tangisannya, dia terus memanggil pasukannya tuk kembali ke bunker. Akan tetapi panggilan itu tidak didengar oleh pasukan yang berlari kebelakang karena ketakutan. Air matanya terus berlinang dalam keadaan sempit tersebut.
Semua granat di jubahnya telah dilemparnya dan seluruh magazine pelurunya telah kosong karena dimuntahkan ke barisan musuh.
Dan akhirnya musuh berhasil menguasai bunker Mujahidin. Tak ayal berpuluh peluru musuh menembus tubuh Abu Wajih. Sang amir menjemput kesyahidannya dalam penyerbuan musuh tersebut.
Sedangkan pasukan sariyah Abu Wajih yang selamat, segera menghubungi pusat komando Mujahidin supaya memberikan bantuan untuk wilayah yang direbut pasukan musuh.
Tak mengambil banyak waktu, diterjunkanlah ksatria-ksatria ingghimasi untuk mengusir pasukan musuh tersebut. Beberapa regu ingghimasi maju dari beberapa titik pertahanan. Dan dengan karunia Allah, mereka dapat memukul mundur pasukan Syiah meninggalkan kerugian nyawa dan senjata.
Didapati dari pasukan Syiah tersebut rampasan perang yang banyak. Berupa senjata dan kendaraan lapis baja.
Setelah perang selesai, para mujahid mulai menyisir seluruh wilayah tersebut untuk memastikan keamanannya. Dan didapati oleh mereka jenazah Abu Wajih di bunker terdepan dari pertahanan Mujahidin.
Jenazah yang sudah terbujur tak bergerak, dengan banyak luka tembakan di tubuhnya. Seluruh magazinnya kosong tanpa peluru, hanya didapati satu peluru di dalam senapan AK nya. Wajah abu wajih kala itu terlihat sangat damai, dan satu hal yang mengagumkan adalah jari telunjuknya mengacung di kedua tangannya. Seperti layaknya simbol yang ditunjukkan semua Mujahid sebagai harapan tuk mati syahid.
Derai tangis serta haru mewarnai pengangkatan jenazah Abu Wajih. Seluruh rekan Mujahidin dan keluarga menyambut jenazah sang syuhada. Sedih dan bahagia bercampur menyertai kepergiannya menuju rabbul alamiin.
Selamat jalan wahai pahlawan Islam, semoga perjuanganmu menjadikan tinggi derajatmu di jannah firdaus. Alangkah mulia contoh darimu tentang rasa tanggung jawabmu terhadap keluarga, dan sekaligus tanggung jawabmu terhadap dien ini.
Selepas pemakaman Abu Wajih, rekan-rekan mengunjungi kediamannya di kampung halamannya. Subhanallah, ternyata Abu Wajih tidak memiliki rumah di kampung halamannya. Dia menetap di rumah kedua orang tuanya. Dia meninggalkan seorang istri dan 6 putri dengan harta yang tak seberapa. Bahkan rumahpun dia belum punya, tapi itu tidak membuat risau keluarganya. Rumah di syurga kelak adalah sebuah harapan bagi keluarga yang ditinggalkannya.
(haninmazaya/arrahmah.com)