KUWAIT (Arrahmah.com) – Anak kecil berusia 7 tahun ini namanya Rasyad. Ia putera tunggal seorang miliuner Kuwait. Saat ia terbaring di rumah sakit selama 23 hari opname, ia tidak ditemani ayah bundanya yang sibuk dengan pekerjaannya.
Pada hari ke-23, ayah bundanya datang menjenguk dan meminta maaf karena tak sempat mendampinginya. Mereka menghiburnya sambil berkata, “Ayah bunda sibuk untuk mempersiapkan masa depanmu sayang.”
Ayah bundanya menunjukkan foto-foto proyek dan rumah yang tengah dibangunnya untuk dirinya kelak, selain rumah yang tengah di tempatinya sekarang.
Rasyad tersenyum dan bertanya, “Siapa yang bisa menjamin hari esok saya masih hidup ayah bunda? Siapa yang menjamin semua yang ayah bunda miliki saat ini adalah untukku? Dan apa manfaat semua yang ayah bunda miliki, tapi tak ditempati?”
Anak yang baru duduk di kelas Madrasah lbtida’iyah ini pun akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan senyuman yang betul-betul “memukul” hati kedua orang tuanya.
Apa yang terjadi pada orang tuanya selepas wafatnya ananda tercinta merupakan kisah yang tak kalah mengharukan.
Setelah anak kecil itu dikuburkan, rumah tangga menjadi senyap, sesekali terdengar isak tangis kesedihan bercampur penyesalan. Kesedihan mendalam memang seringkali ditandai dengan diam, walau tak jarang juga ditandai dengan teriakan umpatan kesedihan atau jeritan duka.
Hari-hari berlalu dengan evaluasi kehidupan pasangan ini. Sayangnya, evaluasi yang dilakukan bukan didasarkan pada kedewasaan pikir dan kematangan emosi.
Si suami menyalahkan si istri yang ikut-ikutan berkarier sehingga melupakan tugas utama seorang ibu yang menjadi “taman surga” bagi anaknya. Sementara si istri menyalahkan suami yang setiap hari bicaranya hanya soal duit, duit dan duit. Pertengkaran pun memuncak, si suami menjatuhkan talak satu untuknya.
Si istri menjerit dan membanting semua yang ada di sekitarnya, termasuk foto keluarga yang ada di sampingnya. Foto itu adalah foto dirinya, suaminya, dan anaknya yang sedang tersenyum di suatu taman yang pernah dikunjunginya. Foto yang baru saja dipasang satu bulan sebelum Rasyad masuk rumah sakit.
Foto itu dilemparkan, kacanya pecah berserakan dan sebagian mengenai wajah sang suami.
Tak sengaja, di balik foto itu ada tulisan anaknya, berbunyi: “Ayah bunda, semoga kita bertiga senantiasa menyatu sampai di akhirat kelak.”
Suami istri ini terdiam, lama saling memandang, dan akhirnya terlarut dalam tangisan jiwa yang mendalam. Mereka pun saling mendekat, kemudian saling merangkul. Suaminya berbisik: “Kita tidak boleh berpisah. Kita harus bersatu selalu, dengan anak kita, sampai ajal menjemput kelak.”
Setelah mereka rujuk, ada perubahan mendasar dalam kehidupan mereka. Perubahan yang secara tiba-tiba karena suatu peristiwa luar biasa yang menyentuh diri sehingga menjadi landasan pacu titik balik kehidupan, yang dalam psikologi disebut dengan epifani.
Konsep kehidupannya yang awalnya adalah kerja, kerja, dan kerja berubah menjadi ibadah, ibadah, dan kerja. Sejak saat itu definisi hidupnya berubah dari “having mood” menjadi “being mood.”
Having mood adalah perasaan bangga karena memiliki walau tidak bisa menikmati dan memanfaatkan, sementara being mood adalah merasa bangga dan bersyukur dengan apa yang dijalani walau tak banyak yang dia miliki.
Orang yang punya 10 mobil, tapi yang digunakan hanya satu saja dan merasa nyaman dengan kepemilikan itu padahal tidak digunakannya maka ia terjangkit penyakit “having mood.”
Sementara mereka yang tidak punya mobil, tapi menikmati hari-harinya dengan naik taksi atau mobil angkutan umum lainnya maka ia tipe orang bahagia dengan “being mood.” Kita masuk yang mana?
Orang tua Rasyad ini kemudian mewakafkan beberapa rumah dan cottage yang dimilikinya untuk menjadi madrasah dan pusat kegiatan agama yang diberi nama Rasyad Foundation. Wallaahu a’lam bish shawwab.
(adibahasan/inilah/arrahmah.com)