(Arrahmah.com) – Ini adalah kisah pelarian anak-anak Mentawai dari barak perkebunan untuk menghindari kekejaman para mandor tempat mereka dipekerjakan, hingga mereka mendapat hidayah Islam saat melarikan diri, subhanallah..simak kisahnya:
***
”Ustadz, saya sekarang boleh masuk masjid ya, saya sudah Islam,” ujar Liliuk (13) kepada Ustadz Mahmud di Masjid Al Ikhwah Madobag, Mentawai, belum lama ini.
”Oya? Alhamdulillah, ayo, ayo,” sambut Mahmud, da’i Dewan Da’wah, dengan gembira.
Selama ini, Mahmud mengenal Liliuk sebagai remaja yang rajin bekerja. Walau masih duduk di kelas IV SDN Madobag, bocah kelahiran 15 Januari 2000 itu sudah banting tulang untuk membantu penghasilan keluarganya.
Namun, sejak beberapa bulan terakhir, Liliuk menghilang dari Desa Madobag, Kec Siberut Selatan, Kab Kepulauan Mentawai. Ternyata, menurut Vincent, salah satu santri Mahmud, Liliuk merantau ke Dumai, Kepulauan Riau. Anak kedua dari empat bersaudara putra pasangan Barnabas-Margaretta itu kabarnya bekerja di sebuah perusahaan. Ia pergi dengan seorang temannya.
Enam bulan setelah kepergian Liliuk, dua santri Mahmud menyusulnya. Vincent dan Mangga, kedua santri itu, tergiur dengan iming-iming gaji besar yang konon diterima Liliuk di Dumai.
Kini, setelah setahun lewat, tiba-tiba mereka berempat nongol lagi di Madobag. Yang mengagetkan sekaligus menggembirakan, Liliuk dan temannya sudah memeluk Islam. Liliuk yang dari keluarga pemeluk Nasrani itu namanya berganti menjadi Muhammad Arfan.
”Sini, sini, bagaimana ceritanya?” kata Mahmud sambil mengajak keempat bocah berbagi cerita di Masjid Al Ikhwah.
Liliuk bertutur, ia dibawa ke Dumai oleh seorang mandor di perusahaan bernama BP. Bocah ini dijanjikan gaji sampai Rp 3 juta perbulan. Pekerjaannya sehari-hari hanya menanam dan merawat bibit Akasia.
”Ternyata kebunnya luas sekali Ustadz, sampai berhektar-hektar. Capai sekali kita,” ungkap Liliuk. Toh ia bertahan dengan semangat, demi mendapat gaji jutaan rupiah yang sudah dibayangkannya.
Namun, bulan demi bulan, sampai setengah setahun bekerja, Liliuk cs tak sekalipun pernah menerima hasil jerih payahnya. Tidak pula menerima uang makan, minum, jajan, dan tranportasi serta uang lembur yang dulu dijanjikan.
Menurut informasi yang didapat Liliuk, sebenarnya perusahaan sudah mengeluarkan hak para buruh. Namun, macet di mandor yang membawahinya.
”Mandor kami orang Mentawai dan Batak. Mereka berdua tidak pernah memberi upah kepada kami semua. Padahal kami bekerja dari jam 4 pagi sampai malam, ” ungkap Arfan.
Kedatangan sahabat sekampung halamannya, Vincent dan Mangga, cukup menghibur Liliuk. Tapi selanjutnya mereka harus sama-sama menjalani hari-hari bagai pekerja rodi.
Anak-anak itu bertahan hidup dengan makan dari sisa-sisa para mandor jahanam. Bahkan lebih keji lagi, anak-anak tersebut dipaksa minum tuak dan makan babi.
Di barak penginapan, Vincent berempat dan puluhan buruh anak lain harus hidup di tengah kelakuan para mandor yang suka merokok, mabuk, berjudi, main pelacur, makan babi, berkata-kata kotor sampai mengancam hendak membunuh.
Menurut Liliuk, selama dia bekerja di sana, sejumlah rekan kerjanya meninggal akibat kelaparan, kelelahan, sakit, dan stress.
Tak sampai setahun, Vincent tidak tahan lagi. Ia mengajak Liliuk dan Mangga kabur. Seorang kawan Liliuk ikutan.
Maka, pada suatu malam nan gelap gulita, keempat remaja melarikan diri dari ”neraka”. Mereka harus masuk hutan dan bersembunyi di sana beberapa hari. Keempatnya tidak berani melewati jalan hutan atau menuju kampung. Sebab, kalau tertangkap, niscaya bakal disiksa atau bisa-bisa ”dihabisi” mandor.
Berbekal ketrampilan hidup di Madobag, keempat anak itu mampu bertahan di hutan. Mereka menjaring ikan dengan menggunakam selimut kumal yang mereka bawa dari barak.
”Kami juga berburu kelinci, makan buah kelapa sawit dan daun pohon Damar,” ungkap Vincent.
Setelah lebih sepekan menelusuri hutan mencari jalan ke kota, suatu hari mereka nyasar ke perkampungan orang Melayu. Warga kampung yang semuanya beragama Islam itulah yang menyelamatkan anak-anak.
”Mereka sangat baik, memberi kami tempat tinggal, makan, minum, dan pekerjaan,” tutur Liliuk.
Dua bulan tinggal bersama induk semang, keempat anak merasa seperti tinggal di kampung sendiri. Liliuk dan temannya yang non-Islam pun diperlakukan dengan baik.
”Di kampung orang Melayu saya merasa tenang, tentram, serta aman. Saya juga sering memperhatikan aktivitas dan ibadah orang sana,” kenang Liliuk.
Akhirnya, Liliuk dan temannya masuk Islam. Keputusan mereka disambut gembira orang sekampung. ”Kami merasa bahagia, seperti di keluarga sendiri. Saya dan teman saya ini juga sudah di-khitan di sana,” ungkap Muhammad Arfan alias Liliuk.
Namun, akhirnya mereka harus segera pergi. Masalahnya, keberadaan mereka di kampung itu sudah tercium para mandor bengis. Ternyata, lokasi perusahaan budidaya Akasia tadi tidak jauh dari tempat pegungsian mereka.
Anak-anak itu lalu memutuskan pulang kampung. Sebelum pergi mereka dibekali uang, beras, dan makanan oleh warga Melayu tempat menumpang.
“Alhamdulillah Ustadz, kami sampai kembali dengan selamat. Sekarang kami mau ngaji lagi sama Ustadz,” ujar Vincent, putra Ketua Pengurus Masjid Al Ikhwah yang bernama Syahrul Gunawan.
Biografi Muallaf Madobag, Kec. Siberut Selatan – Mentawai
Nama Asli: Liliuk
Nama Islam: Muhammad Arfan
Suku:Tasiritoitek
TTL: Madobag, 15 Januari 2000 M
Orang Tua Ayah & Ibu:Barnabas & Margaretta
Anak ke: II dari empat bersaudara
(nurbowo)
(saifalbattar/arrahmah.com)