Pada pukul 3 pagi hari Rabu, ketika hujan turun, para mahasiswa pro-Palestina di Universitas Bristol mendirikan perkemahan di seberang pusat studi di kampus.
Eugenia dan lima aktivis mahasiswa lainnya yang telah bertemu pada aksi-aksi protes sebelumnya, mendirikan empat tenda. Namun, meski cuaca dingin, tenda-tenda lain bermunculan dalam beberapa malam berikutnya.
“Sekarang sudah berkembang menjadi setidaknya 20 tenda, dengan banyak orang yang keluar masuk, biasanya sekitar 30 [orang] di kamp pada siang hari. Tapi terkadang lebih banyak jika ada acara tertentu,” ujar Eugenia, seorang penyelenggara dari kelompok Bristol untuk Palestina, kepada Al Jazeera.
“Staf dan siswa yang mampir untuk menyatakan dukungan dan bertanya bagaimana mereka bisa terlibat juga sangat menggembirakan,” kata Eugenia.
“Gerakan untuk melepaskan diri dan memperjuangkan Palestina yang merdeka jauh lebih besar daripada yang dipikirkan oleh para eksekutif universitas.”
Perkemahan ini menyediakan berbagai kebutuhan bersama, seperti makanan, masker, tes Covid-19, dan buku-buku tentang sejarah Palestina. Ada juga selebaran yang menjelaskan hak-hak pengunjuk rasa serta selebaran tentang bagaimana Bristol “terlibat dalam genosida”.
Inti dari tuntutan mereka, para mahasiswa menyerukan agar universitas mereka memutuskan hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang berkontribusi terhadap upaya perang “Israel”, termasuk BAE Systems.
Perusahaan pertahanan Inggris ini memproduksi sebagian jet tempur F-35 yang telah digunakan oleh militer “Israel” di Gaza.
“Universitas saya memiliki jutaan poundsterling dalam kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang mempersenjatai ‘Israel’. Saya rasa tidak sulit untuk berpikir bahwa keterlibatan sebuah institusi dalam kolonialisme pemukim yang kejam, apartheid, pembersihan etnis, dan genosida merupakan hal yang buruk,” kata Eugenia, yang menambahkan bahwa mereka telah berhubungan dengan rekan-rekannya di Universitas Warwick di Inggris dan mereka yang melakukan aksi protes di Amerika Serikat dan Kanada.
Petugas keamanan universitas telah meminta mereka untuk pergi tetapi mereka belum diancam dengan tindakan disipliner.
“Meskipun demikian, kami bertanya-tanya apakah hal ini akan berubah setelah pertemuan [Perdana Menteri] Rishi Sunak dengan para wakil rektor Inggris.”
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak mengatakan kepada kabinetnya pada Selasa bahwa telah terjadi “peningkatan anti-Semitisme yang tidak dapat diterima” di kampus-kampus di seluruh Inggris.
Ia akan bertemu dengan para pimpinan universitas pada Kamis.
“Universitas seharusnya menjadi tempat perdebatan yang ketat tetapi juga benteng toleransi dan rasa hormat bagi setiap anggota masyarakat,” kata Sunak.
Awal bulan ini, Persatuan Mahasiswa Yahudi, yang menyatakan mewakili 9.000 orang di Inggris dan Irlandia, mengatakan bahwa perkemahan pro-Palestina “menciptakan suasana yang tidak bersahabat dan beracun di kampus bagi para mahasiswa Yahudi”.
Ribuan mahasiswa di seluruh Inggris telah bergabung dengan protes global yang dipimpin oleh para mahasiswa untuk menentang perang terbaru dan paling mematikan yang dilakukan “Israel” di Jalur Gaza, yang telah menewaskan sekitar 35.000 orang dalam waktu tujuh bulan. Konflik bersejarah Israel-Palestina meningkat setelah Hamas, yang memerintah Jalur Gaza, menyerang “Israel” bagian selatan. Selama serangan tersebut, 1.139 orang terbunuh dan ratusan lainnya ditawan.
Inggris belum pernah menyaksikan adegan kekerasan di kampus-kampus seperti yang terjadi di Amerika Serikat, termasuk tindakan keras polisi dan bentrokan antara pengunjuk rasa dan pengunjuk rasa tandingan.
Para mahasiswa Inggris mengatakan bahwa demonstrasi mereka berlangsung damai dan diikuti oleh banyak mahasiswa dan cendekiawan Yahudi.
Pada Selasa, Masyarakat Yahudi di School of Oriental and African Studies di London mengatakan bahwa mereka berdiri “bahu-membahu” dengan mereka yang berunjuk rasa untuk Gaza.
Pengumuman Sunak muncul setelah Universitas Oxford dan Cambridge, yang telah lama mendidik kaum elit Inggris, bergabung dalam aksi protes pada Senin. Mayoritas perdana menteri Inggris pernah belajar di Oxford, termasuk Sunak dan empat pendahulunya, sementara beberapa lainnya lulus dari Cambridge.
Pada saat artikel ini ditulis, baik Universitas Bristol maupun Universitas Cambridge belum menanggapi permintaan komentar dari Al Jazeera.
Kelompok Cambridge for Palestine mengatakan bahwa Trinity College, perguruan tinggi terbesar kedua di Universitas Cambridge “telah menginvestasikan jutaan dolar di perusahaan-perusahaan yang secara langsung mendukung genosida ‘Israel’.”
Middle East Eye baru-baru ini melaporkan bahwa Trinity menginvestasikan lebih dari 60.000 poundsterling ($75.000) di Elbit Systems, sebuah perusahaan teknologi militer internasional yang berbasis di “Israel” dan kontraktor pertahanan, dan jutaan di Caterpillar, sebuah perusahaan alat berat berbasis di Amerika Serikat yang memasok buldoser kepada tentara “Israel”. Perusahaan-perusahaan lain yang dilaporkan termasuk General Electric, Toyota, Rolls-Royce, Barclays Bank, dan L3Harris Technologies.
“Solidaritas kami sangat penting saat ini, mengingat pembersihan etnis yang telah berlangsung selama beberapa dekade ini telah mencapai puncaknya dengan genosida ‘Israel’ terhadap warga Palestina, termasuk penghancuran semua universitas di Gaza.”
‘Dimulai dari mahasiswa dan menyebar dari sana’
Dalam beberapa kasus, universitas telah mencapai kesepakatan dengan para mahasiswa yang berbeda pendapat.
Di Irlandia, misalnya, Trinity College Dublin setuju untuk melepaskan diri dari perusahaan-perusahaan “Israel” yang terkait dengan permukiman ilegal setelah hanya beberapa hari protes mahasiswa.
Pada Jumat, Goldsmiths, University of London menyetujui lima tuntutan para aktivis yang telah melakukan protes selama perang di Gaza.
Aksi yang dipimpin oleh kelompok Goldsmiths for Palestine ini telah menghasilkan beasiswa untuk mahasiswa Palestina dan komitmen terhadap kebijakan investasi yang beretika. Sebuah ruang kuliah juga akan dinamai sesuai dengan nama jurnalis veteran Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, yang terbunuh oleh pasukan “Israel” di Tepi Barat yang diduduki pada 2022.
Leonie Fleischmann, seorang dosen senior di bidang Politik Internasional dan Hak Asasi Manusia di City, Universitas di London, mengatakan bahwa ketika beberapa mahasiswa mencapai tujuan mereka dan lebih banyak protes meletus, “momentum” harus dipertahankan.
“Jika kita berbicara tentang peran protes dan tekanan, mereka harus lebih dari sekadar menentang apa yang terjadi di Gaza (saat ini), tetapi juga apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi, kita harus melihat ruang ini, dalam hal peran protes terhadap jalannya konflik Israel-Palestina,” ujarnya.
“Jika kita melihat gerakan anti-apartheid (di Afrika Selatan) dan Perang Vietnam, mahasiswa di seluruh dunia memiliki peran yang signifikan dalam menciptakan perubahan dan mempengaruhi pemerintah mereka untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah lainnya.”
Danna, seorang pengorganisir mahasiswa di Goldsmiths, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa negosiasi dengan pihak manajemen universitas “membuat frustrasi”.
“Pada pertemuan pertama yang mereka adakan dengan kami, mereka memuji kami dan mengatakan bahwa menurut mereka, kami mengekspresikan diri kami dengan baik dan sangat ‘Goldsmiths-y’,” katanya. “Belakangan, kami mengetahui melalui anggota staf bahwa pada saat yang sama, mereka telah mengatakan dalam pertemuan di balik pintu tertutup bahwa mereka telah mempertimbangkan untuk memanggil polisi pada kami.”
Ia percaya bahwa tuntutan mereka pada akhirnya diterima karena adanya gerakan mahasiswa global yang terus berkembang.
“Sudah berkali-kali terjadi sepanjang sejarah bahwa hal ini dimulai dari mahasiswa dan menyebar dari sana,” ujarnya.
“Kami benar-benar merasa bersolidaritas dengan para mahasiswa di AS dan di tempat lain. Dan saya pikir bagi kita semua untuk memusatkan perhatian pada Palestina saat ini sangatlah penting.” (haninmazaya/arrahmah.id)