Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…! Walillahil Hamd!
Alhamdulillah, seluruh puja dan puji hanya kami haturkan ke hadirat mu Ya Allah Ya Robbi, atas limpahan rahmat, karunia, hidayah, dan seluruh yang melekat pada kami, yang saat ini bersimpuh di hadapan Mu.
Karena tanpa kehendak dan karuniaMu Ya Allah, niscaya kami tidak akan melangkahkan kaki, mensucikan diri untuk memenuhi panggilan Mu ya Allah. Untuk itu, jadikanlah langkah kami pagi ini sebagai amal sholeh di akhirat nanti. Amien…Ya Robbal
Alamien.
Salam dan Sholawat juga selalu kami haturkan kepada junjungan kami, tauladan kami, pemimpin Mujahidin, pemimpin seluruh umat Islam, Muhammad SAW, bersama para sahabatnya, keluarganya, dan orang-orang yang selalu setia mengikuti jejak langkah mereka. Amien…Ya Robbal Alamien.
Alhamdulillah, setelah sebulan penuh kita berpuasa, sampai juga kita di hari yang mulia dan berbahagia ini, di hari fitrah dan kemenangan, I’edul Fitri 1429 Hijriyyah. Kembali kita berharap dengan penuh khusyu dan pengharapan semoga seluruh amal ibadah kita selama satu bulan penuh tersebut dapat diterima di sisi Allah SWT dan yang lebih penting dari itu semua adalah semoga kita menjadi orang-orang yang bertaqwa sebagaimana tujuan dari ibadah puasa itu sendiri.
“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
(QS Al Baqarah : 183)
Di hari raya yang penuh dengan suka cita ini, sebagai seorang Muslim selain bersyukur menikmati seluruh karunia dari Allah SWT, kita juga harus tetap tafakur (merenung) dan muhasabah (intropeksi) dalam memaknai hari kembali ke fitrah dan penuh kemenangan ini. Sejatinya, secara jujur harus kita tanyakan kepada diri pribadi masing-masing, apakah kita memang telah kembali kepada fitrah ? Dan apakah kita telah meraih kemenangan ?
Kembali ke Fitrah, Kembali kepada Tauhid
Fitrah secara bahasa berarti ath-thabiah yang berarti tabiat atau karakter dan juga al-khilqah yang berarti naluri atau pembawaan yang diciptakan Allah SWT pada manusia. Dengan demikian, Iedul Fitri yang sering diterjemahkan ‘kembali ke fitrah’ berarti kembali ke tabiat atau pembawaan yang asli yang diciptakan oleh Allah SWT. Adapun naluri atau karakter dan pembawaan manusia yang asli adalah Al Hanif atau lurus, yakni hanya menyembah Allah SWT saja, dan menolak selainNya.
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), sesuai fitrah (dari) Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS Ar Rum : 30)
Fitrah tauhid ini bahkan merupakan kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam dan merupakan inti ajaran seluruh Rasul Allah SWT, yakni kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang Dia firmankan:
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut…” (QS. An Nahl [16]: 36)
Fitrah disini juga berarti kembali kepada tabiat atau pembawaan dasar manusia sebagai hamba yang tidak diciptakan kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT semata, sebagaimana firmanNya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
(QS Adz Dzariyat : 56)
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kembali ke fitrah, sebagai esensi I’edul Fitri, adalah kembalinya manusia kepada hakikat penciptaannya sebagai seorang yang hanif, lurus, yang hanya menyembah Allah SWT dengan merealisasikan tauhidnya secara benar.
Adapun esensi tauhid terkandung di dalam kalimat tauhid yakni : Laa ilaaha illallaah dan membutuhkan konsekuensi-konsekuensi sebagai bukti realisasinya. Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan bahwa untuk bisa dikatakan seorang muslim dan juga mukmin, maka seseorang harus meninggalkan atau menjauhi, atau berlepas diri dari empat hal, yaitu :
1. Alihah (sembahan-sembahan)
2. Arbab (tuhan-tuhan pengatur)
3. Andad (tandingan-tandingan)
4. dan Thaghut
Dengan demikian, jika kita ingin benar-benar mengetahui apakah kita telah kembali ke fitrah kita, mengabdi semata-mata hanya kepada Allah SWT saja dan meninggalkan yang lainnya, maka kita harus melihat apakah kita sudah berlepas diri dari empat hal tersebut. Karena inti dari ajaran tauhid, atau kalimat Laa ilaaha illallah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, dan meninggalkan empat hal tadi, yaitu :
Alihah
Ilah, definisinya adalah: Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana) .
Alihah adalah jamak daripada ilah, yang artinya tuhan. Jadi Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya: tidak ada ilah, tidak ada tuhan yang diibadati kecuali Allah, berarti menuntut dari kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain Allah) dan yang penting bagi kita disini adalah memahami apa makna ilah. Karena kalau kita melihat realita orang yang melakukan kemusyrikan pada jaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadati selain Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang lain. Dan kalau kita memahami makna ilah, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh si fulan atau masyarakat fulani itu adalah mempertuhankan selain Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, karena di antara kebiasan mereka adalah menjadikan Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada Latta yang dahulunya orang shalih untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen dengan Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?” (QS. As Shaffat [37]: 35-36)
Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam digelari “penyair gila”, padahal sebelumnya mereka menyebutnya “Al Amin” (yaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahwa apabila komitmen dengan Laa ilaaha illallaah konsekuensinya adalah meninggalkan ilah-ilah (batu-batu keramat, pohon-pohon keramat, kuburan keramat, dst), sedangkan mereka itu tidak mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Juga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada mereka, beliau mengatakan: “Maukah kalian berikan kepada saya satu kalimat yang dengannya kalian akan mampu mendudukan orang-orang Arab dan ‘Ajam ?”, Abu Jahhal mengatakan: “Senang sekali, saya akan memberikannya… bahkan 10x lipat dari kalimat yang kamu minta itu”, kemudian Rasulullah mengatakan: “Katakan; Laa ilaaha illallaah”. Lalu mereka bangkit dan pergi sambil mengatakan: “Apakah kami harus menjadikan ilah-ilah itu hanya menjadi satu saja ?, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan !!” [sebagiannya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim]
Mereka paham akan Laa ilaaha illallaah, karena tidak sulit dan mereka tidak perlu diajarkan artinya, tidak seperti kita. Sedangkan diantara maknanya adalah mereka harus meninggalkan alihah selain Allah, sehingga karenanya mereka menolak. Jadi, mereka enggan meninggalkannya, berbeda dengan orang sekarang ; mengucapkan mau, bahkan ratusan kali, ribuan kali akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan kandungan daripada Laa ilaaha illallaah.
Arbab (tuhan-tuhan)
Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan Arbab, berlepas diri daripada Arbab. Arbab adalah bentuk jamak daripada Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum.
Kita sebagai makhluk Allah, dan konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah yang mana Dia juga telah memberikan sarana kepada kita, maka yang berhak menentukan adalah, hanya Allah. Jadi Allah disebut Rabbul ‘alamin karena Allah yang mengatur alam ini baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
Ketika ayat ini dibacakan dihadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim, asalnya beliau ini Nashrani sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Dan ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: Kami (maksudnya: dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah dst. Jadi dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama ? maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya ?, bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya ?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya !”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang nashrani) terhadap mereka”
Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum (sekarang: undang-undang) maka dia mengkalim bahwa dirinya sebagai tuhan, sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!
Kondisi masa lalu tersebut terjadi lagi dalam sistem demokrasi. Demokrasi dikenal sebagai aturan hukum dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi, dalam demokrasi yang berdaulat, yang berhak menentukan hukum itu adalah rakyat. Apa yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya itu adalah kebenaran yang wajib diikuti.
Dengan demikian, demokrasi adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syari’at demokrasi, syari’at syirik walaupun, jika hukum “potong tangan” muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan hukum Allah akan tetapi hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang diakui dalam sistem demokrasi, yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang tertera dan dijadikan sebagai satu-satunya sumber hukum.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al An’am: 121 dan At Taubah: 31, mengatakan: “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syri’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]
Jadi, kesimpulannya bahwa Arbab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para Arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada Arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya
Andad (Tandingan-tandingan)
Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang lain terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang Andad ini:
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam, atau sesuatu yang memalingkan kamu daripada Tauhid, baik itu anak, isteri, jabatan, harta, atau apa saja yang mana jika hal itu memalingkan seseorang daripada Tauhid atau memalingkan seseorang dari pada Al Islam atau menjerumuskan seseorang kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka sesuatu hal itu sudah menjadi Andad.
Jadi sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam atau Tauhid baik itu anak, isteri, suami, posisi jabatan, harta benda, dst, kalau hal tersebut justeru mamalingkan seseorang daripada tauhid, berarti sesuatu itu telah dijadikan Andad, tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Jadi Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu dari tauhid, dari Islam, baik itu jabatan, harta, keluarga. Contohnya jika ada seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya, sedang si anak tersebut dalam keadaan sakit, lalu ada orang yang menyarankan kepada si ayah tersebut agar si anak yang lagi sakit itu dibawa ke dukun. Dikarenakan saking sayangnya kepada si anak tersebut akhirnya si ayah datang ke dukun dan mengikuti apa yang disarankan oleh si dukun tersebut. Maka dengan demikian si anak tersebut telah memalingkan si ayah tadi dari Tauhid, dan berarti si anak telah menjadi Andad. Sedangkan Allah berfirman:
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Thaghut
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran semua Rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah ta’ala berfirman:
“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha ilallaah)” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Bila seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima.
Oleh karena itu, Jama’ah Rahimahumullah, perayaan I’edul Fitri yang sering dimaknai dengan kembali ke fitrah itu sudah saatnya untuk dijadikan momentum kembali ke tauhid yang shahih dan lurus yakni dengan jalan merealisasikan makna kalimat Laa ilaahaillallah dengan penuh kensekuensi dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana penjelasan di atas.
Meraih Kemenangan Hakiki Melalui Jihad Fie Sabilillah
Selanjutnya, I’edul Fitri sering juga disebut sebagai hari kemenangan. Artinya, seorang Muslim berhari raya I’edul Fitri setelah berhasil atau menang melakukan puasa Ramadhan sebulan penuh. Namun yang perlu diingat, kemenangan disini tentu tidak hanya dalam pengertian individual seperti itu, namun seharusnya kemenangan yang dicapai oleh kaum Muslimin juga merupakan kemenangan hakiki, yakni kemenangan antara Ahlul Haq (tauhid) dalam mengalahkan Ahlul Batil (musyrik). Hal inilah yang berhasil dicapai oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya ketika Futuh Makkah, atau penaklukan Mekkah.
Ketika itu, pasukan Rasulullah SAW yang berjumlah sekitar sepuluh ribu personil masuk ke seluruh penjuru Mekkah dengan kekuatan penuh. Mekkah yang merupakan pusat paganisme alias kemusyrikan akhirnya takluk tanpa perlawanan dan agama Allah SWT menguasai seluruh pelosok kota dan orang-orang memasuki Islam dengan berbondong-bondong. Rasulullah SAW kemudian menuju Baitullah, Ka’bah, dan lalu thawaf, lalu menghancurkan berhala-berhala dan patung-patung yang terdapat di sekitar Ka’bah.
“…Kebenaran tiba dan lenyaplah kebatilan! Sesungguhnyalah, bahwa kebatilan pasti lenyap.” (QS Al Isra : 81)
Inilah contoh sebuah kemenangan hakiki melalui perjuangan dakwah yang panjang dan juga jihad fie sabilillah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin pada saat itu.
Kini, mampukah kaum Muslimin mengatakan bahwa mereka telah mengalami sebuah kemenangan yang besar, sebuah kemenangan hakiki pada hari raya Iedul Fitri kali ini ?
Tentu tidak atau belum tepatnya. Saat ini kondisi kaum Muslimin masih memprihatinkan karena berada dalam penjajahan musuh-musuh Islam kaum kafir hampir di seluruh penjuru dunia. Negeri-negeri kaum Muslimin saat ini masih dalam penindasan dan kedzoliman Yahudi Nashrani, seperti di Palestina, di Irak, Afghanistan, Chechnya, Kashmir, Moro, Pattani, Uzbekistan, Pakistan, China, dan lainnya. Penindasan ini tidak mungkin dilakukan jika umat Islam memiliki izzah dan kemuliaan serta secara benar memperjuangkan Islam dan memperjuangkan kemenangan yang hakiki. Dan satu-satunya cara dan jalan untuk membebaskan negeri-negeri kaum Muslimin yang terjajah dan mengembalikan kemenangan Islam yang hakiki pada saat ini adalah dengan Jihad Fie Sabilillah, bukan yang lain.
Allah SWT telah memperjelas persoalan ini dalam Al-Quran:
” Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu “ (QS. Al-Baqaarah, 2: 194)
“ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah, 2: 190)
Wajib atas seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia untuk merespon seruan jihad di Palestina, Iraq, Afghanistan, Chechnya, Khasmir, Moro, Pattani dan lainnya, dan untuk membantu mereka secara lisan, fisik, finansial atau militer, sebagaimana Allah SWT berfirman:
“ Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (QS. Al-Anfaal, 8: 72).
“Dan belanjakanlah (harta benda mu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan diri mu sendiri kedalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah, 2: 195).
“ Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “ Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!” (QS. An-Nisa’, 4: 75).
Sungguh, Kita tidak akan mempunyai alasan di depan Allah SWT kelak, jika agama kita dihina dan umat kita dinista lalu kita hanya berdiam diri saja melihat mereka. Apakah kita akan mematikan dan memadamkan jihad, setelah dinyalakan dan dikobarkan pada masa Shahabat ? Apakah jihad akan redup setelah dia bersinar?! Apakah setelah semua ini jihad akan layu setelah sebelumnya dia berkibar ? Apakah setelah semua ini kebaikan jihad akan menjadi susut setelah ini dahulu begitu bersinar?! Apakah setelah semua ini pintu jihad akan terkunci dan tidak akan terbuka lagi ? Apakah kuda-kudanya telah dihentikan kemudian tidak lagi ditunggangi, dan tangan-tangan hina kuffar telah diperluas atas ummat Muslim dan tidak pernah dipotong ? Apakah pedang-pedang telah disarungkan dan tidak pernah dibuka lagi melawan musuh-musuh Millah dan Dien ini ? Apakah setelah ini semua lidah akan menjadi terdiam untuk mengatakan kebenaran kemudian jihad tidak lagi dibicarakan ? Yaa Allah jagalah kami untuk tetap beriman, Yaa Allah kuatkanlah Iman dalam hati kami!
Maka kabar gembira dan jannah, Insya Allah, bagi seseorang yang menjaga dirinya di jalan jihad, pengorbanan dan tetap teguh pada saat sulit. Berita gembira kepada kalian wahai ksatria, wahai seseorang yang memerangi orang-orang kufur, dari Yahudi dan tentara Salib, dimana mereka menduduki negeri kita. Surga bagi kalian, para mujahidin, sebagaimana kami melihat kalian berbaris dan bersorak ‘kami tidak akan pernah menyerah.’ Surga bagi kalian, pintu jannah telah terbuka, piala telah disusun, tahta telah diangkat dan Huur ul Ain (para bidadari) telah muncul. Surga bagi kalian yang telah memperdagangkan hidup dengan hidup yang abadi. Surga bagi seseorang yang telah diberikan kemenangan Syahid dan yang telah mendapat kedudukan Syahid, yang tidak akan pernah haus lagi, dan perdangangan mereka telah menguntungkan, kemudian mereka menjadi sangat bahagia diantara orang-orang yang bahagia. Allah SWT berfirman,
“Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Ali Imran, 3: 170)
Inilah makna dan hakikat kemenangan yang hakiki yang harus kita camkan dan canangkan, yakni kemenangan Ahlul Haq atas Ahlus Batil, kemenangan barisan tauhid atas barisan syirik, alias kemenangan kaum Muslimin atas kaun kuffar!
Ya Allah berikanlah kami kemenangan! Ya Allah berikanlah kami kemenangan! Ya Allah dukunglah Mujahidin di mana saja mereka berada. Ya Allah binasakanlah agresor Yahudi dan tentara salib. Ya Allah jagalah kami agar tetap pada yang haq dan jihad hanya untukMu semata.
Semoga Allah menerima dari kalian dan dari kami wahai mujahidin, wahai seseorang yang melindungi negeri dan mempertahankan kehormatan ummat Muslim dan kehormatan Ummat. Wahai seseorang yang berperang untuk meninggikan panji Islam dan murni dari noda nasionalisme, patriotisme, demokrasi dan syirik.
Kami memohon pada Mu Ya Allah dalam kebesaranMu untuk menjadikan Iedul Fitri ini sebagai intropeksi atas kami, kalian dan Ummat Muslim dan demi waktu, Insya Allah ummat ini akan kembali memerintah dengan Islam.
Kami juga memohon kepada Allah SWT untuk melindungi pemimpin Jihad dari segala kejahatan, dan menjaga mereka sebagai sebuah duri dalam kerongkongan tawaghit dan tetap menunjuki mereka pada keputusan yang benar, dan memberikan mereka dukungan.