Oleh Irfan S. Awwas
(Arrahmah.com) –
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ . وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِ الْأَوَّلِيْنَ وَالآخِرِيْنَ ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً .
قال الله تعالى : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [المائدة]
أَمَّا بَعْدُ : أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ، اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ وللهِ الحَمْدُ …
Senantiasalah kita bersyukur kepada Allah I, yang telah menunjukkan jalan Islam kepada kita, dan menurunkan syari’at-Nya sebagai rahmatan lil alamin. Sebagai agama dan jalan hidup, Islam merupakan pilihan terbaik yang telah dirintis oleh para Nabi dan Rasul-Nya, dan diikuti oleh manusia yang mendapat karunia Ilahy.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan Allah kepada Muhammad Rasulullah n, manusia pilihan yang menjadi juru bicara Ilahy untuk menjelaskan kehendak Allah; tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya di dunia secara benar dan berfaedah, sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Oleh karena itu, kita ridha Allah sebagai Rabb semesta alam, dan Islam sebagai agama serta Nabi Muhammad sebagai Rasulullah. Maka sebagai khatib pada kesempatan khutbah Idul Adha 1440 H ini, kami mengingatkan diri pribadi dan segenap jamaah shalat ‘Id sekalian, marilah kita bertakwa kepada Allah I sebagaimana seruan Al-Qur’an:
“Wahai kaum mukmin, takutlah kepada Allah. Tempuhlah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan beramal shalih. Berjuanglah kalian untuk membela Islam, niscaya kalian akan beruntung di akhirat.” (Qs. Al-Maidah [5]: 35)
Pendidikan Keshalihan
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Ada dua peristiwa agung ketika umat Islam memasuki bulan Dzulhijjah. Pertama, adalah ibadah haji. Kewajiban Ibadah haji, rukun Islam ke lima, berawal dari perintah Allah I kepada Nabi Ibrahim:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Wahai Ibrahim, umumkanlah kepada semua manusia untuk beribadah haji, niscaya mereka akan datang memenuhi seruanmu dengan berjalan kaki dan mengendarai onta yang cekatan dari tempat-tempat yang jauh.” (Qs. Al-Hajj [22]: 27)
Seruan untuk menunaikan ibadah haji yang dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim telah berlangsung berabad-abad lamanya, dan disambut oleh berjuta-juta umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Haji merupakan simbol tauhid, napak tilas terhadap jejak bersejarah dan spiritual dari Nabi Ibrahim, Ismail, hingga Nabi Muhammad n. Ibadah Haji menunjukkan ketaatan sekaligus pengorbanan. Hanya umat Islam yang taat dan kuat tekadnya yang mau berkorban untuk Haji. Sedang mereka yang lemah keyakinan-nya tidak akan mau berangkat menunaikan ibadah Haji sekalipun memiliki kelapangan rezki dan sehat badannya.
Dimulai tanggal 8 Dzulhijjah, seluruh jamaah haji dari seluruh dunia berangkat dari Makkah menuju Mina. Pada pagi hari, tanggal 9 Dzulhijjah, berangkat ke Arafah. Setelah tergelincir matahari mereka melaksanakan wukuf di padang Arafah. Pada malam harinya mereka mabit di Muzdalifah dan mengumpulkan kerikil untuk melempar jumrah di Mina. Begitulah tertib pelaksanaan haji setiap tahun.
Peristiwa kedua, adalah penyembelihan hewan qurban. Hari ini, 10 Dzulhijjah 1440 H bertepatan dengan 11 Agustus 2019 kita melaksanakan shalat sunnah Idul Adha, merupakan hari besar keimanan dan kemanusiaan, yang diangkat dari sejarah dan kisah perjalanan keluarga teladan yang dimuliakan-Nya dan yang diagungkan umat manusia, walau ribuan tahun kejadiannya telah berlalu, yaitu keluarga Ibrahim u.
Idul Adha atau yaumun Nahr dirayakan, ditandai dengan syiar penyembelihan hewan qurban untuk mengingatkan kita pada sosok seorang Nabi dan ayah sekaligus, Ibrahim u. Juga tentang Hajar, seorang Ibu, seorang istri yang menjadi figur sentral dalam peristiwa bersejarah ini. Dari Hajar mengalir kisah mulia tentang iman, ketaatan dan keluarga bahagia.
Hadirnya Hajar, seorang ibu dan seorang istri, menghantarkan kisah Ibrahim menjadi hikmah yang aliran maknanya tidak pernah berhenti, laksana mata air Zamzam yang mengalirkan airnya tanpa henti. Dari rahimnya ditakdirkan lahir Ismail bin Ibrahim, buah dari do’a sang ayah:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, karuniakanlah anak yang shalih kepadaku.”
(Qs. As-Shaffat [37]:100)
Allah I mengabulkan do’a Ibrahim. Namun kelahiran Ismail, ternyata membuat cemburu istri pertamanya, Sarah. Ia merasa telah dikalahkan oleh Hajar, dan tidak tahan hati jika melihatnya. Karena itu ia minta pada Ibrahim u supaya menjauhkan Hajar dan Ismail dari pandangan matanya dan menempatkannya di tempat lain.
Lalu Allah I mewahyukan kepada Ibrahim agar keinginan dan permintaan istrinya Sarah dipenuhi. Maka berbekal tawakkal kepada Allah berangkatlah Nabi Ibrahim meninggalkan rumahnya di Palestina, membawa Hajar dan Ismail yang dibonceng di atas untanya tanpa arah tujuan yang pasti. Ia hanya berserah diri kepada Allah, yang akan mengarahkan hewan tunggangannya.
Setelah berminggu-minggu dalam perjalanan jauh yang melelah-kan, berhentilah unta Nabi Ibrahim mengakhiri perjalanannya di bawah pohon Dauhah di dekat Baitullah, yang sekarang dipahami tempat itu di antara sumur Zamzam dan Ka’bah, di Makkah. Itu artinya, Nabi Ibrahim bersama istri dan bayinya, telah menaklukkan ganasnya perjalanan di gurun pasir, sejauh lebih dari 1800 km. Apabila ditempuh dengan kendaraan modern melalui darat akan menghabiskan waktu sekitar 3 hari 3 malam.
Di tanah yang gersang dan panas itulah Ismail, dengan kasih sayang ibundanya Hajar, dididik jadi manusia shalih di usia belia. Kelak, di tanah ini pula Ismail tumbuh jadi manusia yang berangkat dewasa dalam ketaatan pada Allah, dan dikenang sepanjang masa.
Namun Ibrahim u tidak berlama-lama membersamai keduanya di Makkah. Ia harus meninggalkan istri dan putranya, kemudian melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Palestina, tanpa memberi bekal apa-apa pada keluarga yang ditinggalkannya. Tidak ada deposito, ATM, kartu kredit, mobil, apalagi rumah; kecuali menitip-kan keluarganya hanya pada Allah.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, beliau hanya meninggal-kan satu kantong yang berisi kurma dan air sebagai bekal bagi Hajar dan Ismail.
Alangkah sedih dan cemasnya Hajar ketika akan ditinggalkan oleh Ibrahim. Seraya menangis, Hajar memegang erat gamis Nabi Ibrahim memohon belas kasihnya. Janganlah ia ditinggalkan seorang diri di tempat yang tiada manusia maupun binatang, tiada pohon dan tidak terlihat pula air mengalir, sedangkan ia menanggung beban mengasuh anak kecil yang masih menyusu.
Mengapa Ibarhim tega meninggalkan istri dan putranya yang masih kecil di padang pasir yang tak bertuan? Kala itu Hajar hanya bisa menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertama suaminya yang belum juga bisa memberinya keturunan. Sambil menahan sedih Hajar bertanya pada suaminya:
يَا إِبْرَاهِيمُ أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الْوَادِي الَّذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ؟
“Wahai Ibrahim, kemana kamu hendak pergi meninggalkan kami di lembah yang tak ada manusia dan tidak ada sesuatu apa pun?”
Pertanyaan itu diajukan berulangkali. Namun Ibrahim terus saja berlalu, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh. Remuk redam perasaannya, terjepit antara Pengabdian pada Allah ataukah kecintaan pada keluarganya.
Hajar masih mengejar sambil terus menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit.
أَاللهُ الَّذِي أَمَرَكَ بِهَذَا؟
“Apakah Allah yang memerintahkan-Mu untuk melakukan ini?”
Ibrahim u, Sang Khalilullah, berhenti melangkah. Dunia seolah berhenti berputar. Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim u.
Ibrahim u membalik, dan berkata tegas: “Benar”.
Hajar berhenti mengejar, dan dia terdiam. Lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya:
إِذَنْ لَا يُضَيِّعُنَا
“Jika demikian, pasti Allah tidak akan menelantarkan kami.”
Perhatikan, demi Allah, betapa indahnya untaian kalimat yang diucapkan Ummu Ismail. Kalimat yang menunjukkan optimisme, kepasrahan serta ketundukan hamba kepada keputusan Rabb-Nya. Sebagai hamba Allah, Hajar merasa yakin, bahwa menaati perintah Allah tidak akan membuat sengsara ataupun terlantar hidupnya. Di bawah perlindungan seorang ibu yang kualitas imannya paripurna seperti inilah, Ibrahim mempercayakan pengasuhan, bimbingan serta didikan bagi putranya Ismail.
Nabi Ibrahim pun meninggalkan Makkah kembali ke Palestina di mana istrinya Sarah sedang menanti. Setelah berjalan agak jauh hingga di satu daerah bernama Hudai, Ibrahim menengok ke belakang, tapi sudah tidak kelihatan lagi anak dan istrinya. Lalu Nabi Ibrahim menghadapkan wajahnya ke Baitullah, dan dengan berlinang air mata ia berdo’a:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian anak keturunanku di lembah sekitar Masjidil Haram, daerah yang tidak dapat ditumbuhi tanaman. Wahai Tuhan kami, muliakanlah mereka supaya mereka melaksanakan shalat. Dan jadikanlah hati sebagian manusia senang kepada mereka. Dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan supaya mereka mau taat kepada-Mu.” (Qs. Ibrahim [14]: 37)
Sepeninggal Ibrahim u, Hajar mulai menyusui Ismail dan minum dari air persediaan. Hingga air yang ada pada geriba habis, dia menjadi haus, begitu juga anaknya.
Dalam keadaan lelah, Bunda Hajar memperhatikan anaknya yang berguling-guling menangis kehausan. Ia tak tega. Maka dia mendatangi bukit Shafa, gunung yang paling dekat yang ada di sana. Ia berharap ada orang yang akan menolongnya atau menemukan oase di tengah gurun sahara.
Ketika tak menemukan apa yang dicarinya, ia menaiki Bukit Marwah, terus bolak-balik sambil berlari sebanyak tujuh kali. Padahal jarak antara bukit Shafa dan Marwah sejauh 450 meter, sehingga perjalanan tujuh kali berjumlah kurang lebih 3,15 kilometer. Tapi tidak juga menemukan air.
Ia ingin pergi ke luar lembah, akan tetapi terngiang pesan suaminya Ibrahim: “Apa pun yang terjadi jangan pernah meninggal-kan lembah ini”.
Saat kembali menemui Ismail, dilihatnya air keluar dari bawah kaki Ismail kecil yang masih saja menangis. Hajar takjub dan berusaha menampung air tersebut sambil berkata, “Zamzam, zamzam, berkumpul-berkumpul.” Ia segera membuat kolam kecil agar air Zamzam tak melimpah kemana-mana.
Air itulah yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan air zam-zam, yang selalu memancar deras dan tak pernah kering bahkan setelah berabad-abad kemudian.
Peristiwa pencarian air dengan mendaki Bukit Shafa dan Bukit Marwah diabadikan Allah sebagai salah satu rukun haji dan umrah, yaitu Sa’i, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Shafa dan Marwah benar-benar termasuk lambang-lambang agama Allah. Siapa saja yang berhaji ke Baitullah atau melakukan ‘umrah, maka ia tidak berdosa melakukan sa’i di antara Shafa dan Marwah. Siapa saja yang melakukan haji tamattu’, maka Allah Maha Memberi balasan yang lebih baik dan Maha Mengetahui”. (Qs. Al-Baqarah [2]:158)
Alangkah mulianya akhlak seorang istri seperti Hajar. Dia tidak protes begitu tahu suaminya melakukan sesuatu yang tampaknya “tidak berprikemanusiaan” itu. Hajar justru meyakinkan suaminya, bahwa Allah pasti akan melindungi dirinya dan putranya Ismail.
Bandingkan, misalnya dengan istri-istri jaman sekarang, yang sudah mengenyam pendidikan emansipasi, belajar kesetaraan gender, dan mengerti hukum kekerasan dalam rumah tangga. Sekiranya para ibu di zaman modern ini berada dalam posisi Hajar, mungkinkah akan tetap bertahan di lembah yang terik, menyaksikan puteranya hampir mati kehausan? Atau berinisiatif mencari per-tolongan, bahkan sekalian mengajak Ismail untuk meninggalkan lembah dan mengabaikan wasiat suaminya? Namun, Bunda Hajar tidak melakukan itu, karena taat pada suaminya dan taqwa pada Allah I.
Ujian Keimanan
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Beberapa tahun kemudian, Allah I mengijinkan Ibrahim untuk menengok istri dan anaknya di Makkah. Ibrahim menyaksikan, ternyata Makkah sudah berubah menjadi perkampungan kecil, sudah ada rumah, ada penduduk, ada domba, unta, ada sumur, bahkan menjadi tempat beristirahat bagi para kafilah dagang.
Negeri Makkah yang tadinya tandus, tidak berair, dan tidak berpenghuni karena beratnya kehidupan di sana, kini berubah menjadi negeri yang diberkahi, dirindukan, melimpah rizki dan buah-buahannya. Setiap tahun jutaan orang berlomba-lomba untuk menziarahinya. Semua jenis buah-buahan ada di sana. Itulah balasan bagi orang yang menaati Allah, baik ketika berada dalam kesulitan maupun kelapangan.
Namun ujian bagi keluarga mulia ini kiranya belum berakhir. Setelah bertahun-tahun ditinggal sang ayah, maka tatkala beranjak remaja Ibrahim datang menemui putera semata wayangnya. Bukan hanya untuk melepas rasa rindu, tapi juga untuk menyampaikan perintah dari Allah yang mahaberat yang sulit diterima akal manusia manapun.
Pada suatu hari, Nabi Ibrahim u menyembelih qurban fi sabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas qurbannya.
“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku qurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim u bernazar.
Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 13 tahun, pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim u bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”
Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah I ataukah bisikan setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijjah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).
Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah I. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui).
Malam berikutnya, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya, janji seorang nabi. Karena itulah, hari itu disebut yaumun nahr (hari penyembelihan).
Firman Allah I:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى …
“Tatkala anak itu sudah dewasa, Ibrahim berkata kepada anak-nya: “Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi menyembelih kamu. Karena itu, apa pendapatmu tentang mimpiku itu?” (Qs. Ash Shaffat [37]: 102)
Terbayang oleh kita, seorang ayah yang sudah berusia 99 tahun, yang sedang mencurahkan kerinduan hatinya, dan harapan pun tertumpah pada kader muda penerus risalah tauhidnya, sekaligus putera beliau yang sedang menanjak dewasa. Tiba-tiba datang perintah Allah, diminta menyembelih putera kesayangan dan satu-satunya itu. Apakah akan ditaati ataukah menentangnya?
Nabi Ibrahim mendiskusikan mimpinya tersebut dengan putra-nya: “Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi menyembelih kamu. Karena itu, apa pendapatmu tentang mimpiku itu?”
Andaikan hal yang sama kita tanyakan pada anak-anak zaman sekarang, niscaya kita akan dianggap gila dan menolak dengan alasan melanggar hukum tentang kekerasan terhadap anak, sehingga bukan mustahil malah ayahnya yang disembelih oleh anaknya.
Akan tetapi, jawaban Ismail u sungguh menakjubkan. Jawaban yang menunjukkan militansi iman, yang hanya muncul dari anak yang shalih, didikan dari bapak dan ibu yang shalih.
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Ismail berkata: “Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. In syaa Allah, engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar.” (Qs. Ash Shaffat [37]: 102)
Ritual penyembelihan pun dipersiapkan. Kepada Hajar, Nabi Ibrahim berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.”
Kemudian bersama putranya, Ibrahim berangkat menuju ke suatu lembah di Mina, yang jaraknya dari Makkah sekitar 8 kilometer, dengan membawa tali dan sebilah pedang.
Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya, berusaha menggagalkan upaya pelaksanaan perintah Allah I. Sehingga Nabi Ibrahim sempat ragu, apakah mmpinya itu berasal dari Allah atau bisikan setan. Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya, dan mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar jumrah dalam ibadah haji.
Sesaat sebelum disembelih, ada permohonan dari Ismail kepada ayahnya, seperti disebutkan dalam salah satu kitab, Shafwatut Tafasir karya Syeikh Ali As-Shabuni.
Kata Ismail: “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”
Selain itu, “Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, “Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.”
Setelah mendengar permohonan putranya itu, Nabi Ibrahim u menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah I adalah kau, wahai putraku tercinta!”
Kemudian Nabi Ibrahim u mulai menggoreskan pedangnya ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail berkata: “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah I dalam menjalankan perintah semata-mata karena-Nya.”
Nabi Ibrahim u melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, Ibrahim menghunjamkan pedang-nya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian.
“Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” kata beliau.
Atas izin Allah I, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”
Pada saat itu turun firman Allah I:
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
(107)
“Ketika Ibrahim dan Ismail telah pasrah kepada Allah dan Ibrahim pun membaringkan puteranya, maka Kami berseru kepadanya: “Wahai Ibrahim, kamu telah membenarkan mimpimu. Sungguh Kami akan memberi pahala kepada orang-orang yang beramal shalih. Sungguh perintah Allah kepada Ibrahim itu merupakan suatu ujian keimanan yang sangat jelas. Kami ganti Ismail dengan seekor domba yang sangat besar.” (Qs. Ash-Shaffat [37]: 104-107)
Maka pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya bertakbir, Allâhu Akbar, mengagungkan kebesaran Allah I atas kesabaran kedua Hamba-Nya dalam menjalankan perintah-Nya. Menyaksikan seluruh rangkaian takdir Allah itu, malaikat Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim u menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian kalimat-kalimat tersebut kita lantunkan pada setiap hari raya qurban (Idul Adha).
Dari peristiwa sejarah Nabi Ibrahim dan Ismail inilah di syariatkan bagi umat Islam untuk menyembelih hewan qurban, pada hari Idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah setiap tahun.
Beberapa abad kemudian, di kota Makkah inilah diantara anak keturunan Nabi Ismail, yaitu Nabi Muhammad n dilahirkan, pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 571 M. Hal ini sesuai firman Allah I:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Wahai Tuhan kami, utuslah ke tengah anak keturunan kami seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka. Rasul itu mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada mereka, serta membersihkan mereka dari perbuatan syirik. Sungguh Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana dalam mengangkat rasul-Mu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 129)
Antisipasi Agamafobia
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Peristiwa bersejarah yang sudah kita ungkapkan ini memberi pelajaran bagi setiap Muslim, bahwa menaati perintah Allah tidak akan membuat sengsara, tidak akan menjadikan anak-anak dan keluarga terlantar hidupnya. Anak yang shalih dan shalihah hanya dapat lahir dari keturunan dan lingkungan keluarga yang shalih juga, sekalipun selalu ada pengecualian. Laksana pepatah, “daun jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.”
Keshalihan Ismail, ketatannya pada Allah serta hormatnya pada Ayah dan Ibunya, tidak diperoleh dari bangku kuliah di universitas, bukan pula celupan dari adat istiadat serta budaya masyarakat lokal; melainkan karena ketaatannya pada ajaran agama Allah.
Agama memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat dan negara. Jika manusia menjalani kehidupan dunia berdasarkan petunjuk Allah, maka ia akan bahagia. Mengikuti petunjuk Allah berarti menjalani kehidupan ini sebagai hamba Allah, menyembah-Nya sesuai dengan yang diperintahkan-Nya, serta melaksanakan tugas untuk memakmurkan bumi dan menegakkan keadilan sehingga Allah ridha kepada kita.
Mengapa kita harus menaati agama Allah? Karena sejarah telah membuktikan, manusia tidak pernah sanggup menciptakan aturan atau tatanan hukum yang bersifat universal dan menyeluruh untuk memandu dan mengatur prilaku manusia. Kita mengenal tatanan hidup sekularisme, liberalisme, komunisme, kapitalisme, demo-krasi, tapi tidak satupun dapat memuaskan, baik secara moral, ideologi, maupun ketata negaraan. Bahkan menjadi sumber konflik dunia, dan melahirkan kaum penjajah yang memerangi Islam.
Maka Allah menurunkan syariat Islam untuk mengatur kehidupan manusia. Syariat yang diwahyukan Allah menjelaskan kepada manusia tentang berbagai persoalan yang selama ini tak dapat mereka pecahkan dan tak dapat mereka pahami.
Sangat disayangkan, di negeri kita akhir-akhir masih ada sebagian manusia yang bersikap lancang, menunjukkan sikap agamafobia, antipati terhadap ajaran agama. Mereka ingin menjauh-kan peran agama dalam menegakkan keadilan, memperbaiki moral pejabat serta rakyat Indonesia. Negeri kita diserbu oleh ideologi dan pemikiran sesat. Dari Barat, ada sekularisme, zionisme dan salibisme. Sedang dari timur, ada komunisme Cina dan Syiah yang berpusat di Iran.
Di antara komunitas agamafobia ini, ada yang mencurigai pendidikan agama sebagai akar radikalisme dan perusak peradaban. Lalu menuntut agar pemerintah menghapus pelajaran agama di sekolah dan menggantinya dengan budi pekerti. Ada juga yang menghendaki supaya pemerintah fokus mengamalkan Islam Nusantara, dengan menghentikan Islamisasi budaya, melakukan dejilbabisasi di sekolah-sekolah negeri, dan menghidupkan pakaian adat istiadat lokal.
Ekspresi agamafobia, juga nampak jelas dari seruan gubernur NTT untuk melegalkan minuman keras bagi masyarakat. Padahal Indonesia darurat miras, darurat narkoba, predator seks serta LGBT yang kian merajalela. Semua itu terjadi, akibat mengabaikan ajaran agama, dan bermain-main dalam beragama.
Indonesia bukanlah negara berideologi sosialis, nasakom maupun komunis. Tapi negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga pemerintah tidak dibenarkan membuat peraturan, hukum dan undang-undang yang bertentangan dengan aturan Tuhan. Tidak diperkenankan melakukan penodaan terhadap agama, atau mengintimidasi umat dan tokoh agama.
Oleh karena itu, orang Islam Indonesia tidak pernah bersikap intoleran terhadap umat agama lain. Tidak pernah mempermasalah-kan sekolah biarawati Katolik. Tidak pernah mempermasalahkan sekolah Kristen Protestan atau Sekolah Minggu. Tidak pernah mempermasalahkan pelajaran Hindu Dharma di sekolah.
Orang Islam Indonesia juga tidak bersikap rasis. Tidak pernah mengatakan, “kalau mau menerapkan ajaran Kristen silakan ke Vatikan saja. Ini Indonesia, bukan Tanah Perjanjian”. Orang Islam Indonesia tidak pernah mengatakan, “kalau mau menerapkan ajaran Hindu, silakan ke India. Ini Indonesia bukan Hindustan”. Orang Islam Indonesia tidak pernah mengatakan “Kalau mau menerapkan ajaran Buddha silakan ke Tibet atau Myanmar”.
Akan tetapi mengapa orang kafir, fasik, dan munafik ketika melihat Muslim mengamalkan ajaran Islam, mereka berteriak, “Silakan ke Arab saja!” Mengapa orang kafir dan munafiq marah ketika melihat orang Islam ingin menerapkan syariat Islam? Mengapa orang kafir dan munafiq memusuhi jihad dan khilafah Islamiyah?
Sebagai Muslim, kita yakin dan percaya bahwa syariat Islam merupakan rahmat terbesar yang diturunkan Allah untuk mengatur kehidupan manusia. Jika manusia menjalani kehidupan berdasarkan petunjuk Allah, maka ia akan bahagia. Begitulah informasi Al-Qur’anul Karim.
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا (16) لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا
Sekiranya orang-orang durhaka itu mau mengikuti Islam, niscaya Kami akan memberi rezeki yang banyak sekali kepada mereka. Kami ingin menguji manusia dengan nikmat Kami itu. Siapa saja yang menjauhi peringatan Al-Qur’an, niscaya dia akan merasakan adzab yang berat di akhirat.” (Qs. Al-Jin [72]: 16-17)
Munajat
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita bermunajat kepada Allah, dengan meluruskan niat, membersihkan hati dan menjernihkan pikiran. Semoga Allah berkenan menerima shalat Idul Adha, dan ibadah qurban yang kita lakukan, serta mengampuni dosa-dosa kita.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ. يَارَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ
Segala puji bagi Allah Rabbul alamin. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Pujian yang menyamai nikmat-Nya dan menandingi keutamaan-Nya. Ya Rabb kami, untuk-Mu pujian yang sebanding dengan kebesaran dan kemuliaan wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ
Ya Allah, ampunilah dosa kaum Muslimin dan Muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.
اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ سَلَامَةً فِى الدِّيْنِ، وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَالْمَوْتِ، اَللّٰهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِيْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ، وَنَجَاةً مِنَ النَّارِ وَالْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada engkau akan keselamatan Agama dan sehat badan, dan tambahnya ilmu pengetahuan, dan keberkahan dalam rizki dan diampuni sebelum mati, dan mendapat rahmat waktu mati dan mendapat pengampunan sesudah mati. Ya Allah, mudahkan bagi kami waktu (sekarat) menghadapi mati, dan selamatkan dari siksa neraka, dan pengampunan waktu hisab.
اللهم أَرِنَا الْحَقَ حَقاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ .
Ya Allah, tampakkanlah kepada kami yang benar itu sebuah kebenaran dan berikan rizki kepada kami untuk mengikutinya. Tampakkanlah kepada kami yang batil itu sebuah kebatilan dan berikan rizki kepada kami agar menjauhinya.
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ [الممتحنة]
Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan orang-orang kafir menguasai kami, sehingga kami menderita akibat tindakan buruk mereka, dan ampunilah kami. Wahai Tuhan kami, sungguh hanya Engkaulah Tuhan yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَىٰ رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ [آل عمران]
Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami karunia yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu. Janganlah Engkau jadikan kami hina pada hari kiamat kelak. Sungguh Engkau tidak akan menyalahi janji-Mu.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ [البقرة]
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, dan kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ . سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ . وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ . وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Semoga shalawat senantiasa tercurah kepada pemimpin kami Muhammad n, keluarga dan sahabatnya semua. Maha suci Tuhanmu Pemilik kemuliaan dari apa yang mereka persekutukan. Semoga salam sejahtera selalu tercurah kepada para rasul dan segala puji hanya bagi Tuhan semesta alam.[]
(ameera/arrahmah.com)