Oleh Ustadz Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ . وَصَلِّ اللهم وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِ الْأَوَّلِيْنَ وَالآخِرِيْنَ ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً .
اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ، اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، وللهِ الحَمْدُ…
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً ، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيْراً ، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً … وَبَعْدُ :
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Kita patut bersyukur kepada Allah Rabbul Alamin, yang dengan kasih sayang-Nya berkenan menjaga keimanan dan ke-Islaman kita, sehingga kita tetap menjadi pemeluk Islam, dan dapat menjalankan ibadah shalat Idul Adha 1436 H pada hari ini.
Tanpa penjagaan dari Allah Malikurrahman, bukan mustahil sewaktu-waktu iman dan Islam kita berubah sehingga kita menjadi orang munafik, karena tidak konsisten dengan aqidah dan syariah yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan. Boleh jadi juga kita berubah jadi orang musyrik, karena ridha bertuhan pada selain Allah, menyembah thaghut, dan memuja patung ataupun berhala. Mungkin saja kita berubah jadi orang kafir, karena mengingkari semua aqidah dan syariah Islam. Atau bisa juga menjadi orang liberal karena menganggap semua agama sama. Kita berlindung kepada Allah agar tidak termasuk dalam kemungkinan buruk yang kita sebutkan tadi.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para shahabatnya, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, serta siapa saja yang mengikuti petunjuk beliau hingga yaumul qiyamah.
Kita ridha Islam sebagai agama dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Maka marilah kita bertaqwa agar kita menjadi makhluk yang paling mulia di sisi Allah, diampuni dosa-dosa kita, dan diberi-Nya jalan keluar terhadap problem kehidupan yang kita hadapi.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهِ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا , يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar. Dengan begitu, niscaya semua yang kalian lakukan hasilnya akan menjadi baik dan dosa-dosa kalian akan diampuni Allah. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia memperoleh kemenangan yang sangat besar.” (Qs. Al-Ahzab, 33: 70-71)
Ibadah Haji
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Setiap kali umat Islam merayakan Idul Adha, kita merasakan kegembiraan yang lahir dari pantulan cahaya tauhid, cahaya iman, dan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kaum muslimin mewujudkan keimanan mereka dengan menunaikan rukun Islam ke lima, ibadah haji ke Baitullah, dan melaksanakan shalat Idul Adha, kemudian dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban untuk melestarikan sunah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Idul Adha yang kita rayakan pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah dikenal juga dengan sebuatan “Hari Raya Haji”, karena terkait dengan kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji, yaitu rukun Islam yang kelima.
Ibadah haji merupakan karunia Ilahy, namun tidak semua orang bisa meraihnya, karena berbagai sebab. Berapa banyak orang yang memiliki kecukupan harta, sehat fisik dan rohaninya, namun ia tidak sungguh-sungguh berniat berangkat ke Baitullah al-Haram, sehingga ia tidak dapat menyambut panggilan Allah itu. Sebaliknya, berapa banyak orang yang berniat haji, ingin berangkat ke tanah suci Makkah, namun tidak memiliki kemampuan harta atau sedang mengalami sakit yang menghalangi mereka menunaikan rukun Islam kelima itu.
Di negeri kita, berapa banyak orang-orang yang tergolongan ekonomi lemah, tetapi memiliki niat yang kuat dan ikhlas untuk berhaji. Dengan karunia Ilahy mereka dapat menunaikan ibadah haji ke Baitullah, dengan mengumpulkan dana bertahun-tahun dari hasil jerih payahnya sebagai kuli bangunan, tukang becak, buruh gendong, loper koran dan kerja berat lainnya.
Bagi orang beriman, ibadah haji memiliki pesona dan daya tarik luar biasa, sehingga banyak orang yang sudah berhaji berkali-kali, ingin mengulanginya lagi dan lagi. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Wahai Ibrahim, umumkanlah kepada semua manusia untuk beribadah haji, niscaya mereka akan datang memenuhi seruanmu dengan berjalan kaki dan mengendarai onta yang cekatan dari tempat-tempat yang jauh.” (Qs. Al-Hajj [22]: 27)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Seruan untuk menunaikan ibadah haji dan menyembelih hewan qurban, yang dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim telah berlangsung berabad-abad lamanya, dan disambut oleh berjuta-juta umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Setiap tahun berjuta-juta umat Islam memadati kota Makah, tempat Ka’bah/Masjidil Haram berada. Pada 9 Dzulhijjah kemarin, hampir 3 juta umat Islam berkumpul, wukuf di padang Arafah, sembari mengumandangkan takbir dan tahmid, memuji kebesaran dan kemuliaan Allah Swt.
Selain rasa bahagia karena dapat menunaikan rukun Islam yang ke lima, pastilah saudara-saudara kita, para jamaah haji yang datang dari seluruh penjuru dunia ini amat berduka, mengingat musibah jatuhnya crane (mesin derek) di lantai tiga Masjidil Haram, dekat pintu As-Salam. Tak seorangpun mengira terjadinya peristiwa kecelakaan yang menewaskan sebanyak 107 jemaah dan 238 orang lainnya menderita luka-luka. Sebanyak 10 orang dari 107 korban meninggal berasal dari Indonesia.
Musibah ini terjadi pada hari Jum’at, 11 September 2015, pk. 17.35 menjelang waktu Maghrib tiba, diawali dengan badai disertai hujan es. Saat ribuan dari jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul untuk menjalankan ibadah haji. Masjidil Haram biasanya mengalami puncak kepadatan pada Jumat saat Umat Muslim biasa Salat Jumat. Sebagian besar korban tertimpa crane saat melaksanakan thawaf. Di antara mereka ada yang meninggal ketika sedang berdzikir, ada pula yang baru selesai thawaf, sedangkan sebagian yang lain sedang bermunajat kepada Rabbul Alamin.
Dari musibah ini, terdapat beberapa keutamaan jamaah haji yang menjadi korban tertimpa crane di Masjidil Haram. Dan hanya Allah yang mengetahui hikmah di balik musibah ini. Sebagai pelajaran, hikmah dari peristiwa sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi saw antara lain:
- Meninggal di hari Jumat dilindungi Allah dari adzab
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia pada hari Jumat atau pada malam Jumat melainkan Allah akan melindunginya dari fitnah (pertanyaan) kubur.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Humaid, Abu Ya’la, dan Al-Baihaqi).
- Syahid bagi yang meninggal tertimpa reruntuhan. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah).
- Meninggal di jalan Allah, yaitu sedang atau akan beribadah haji.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu menyampaikan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam :
مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ
“Siapakah yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menjawab, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim)
- Meninggal ketika sedang beramal shalih.
Hudzaifah radhiyallahu anhu menyampaikan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:
مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang mengucapkan La ilaaha illallah karena mengharapkan wajah Allah yang ia mengakhiri hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang berpuasa sehari karena mengharapkan wajah Allah yang ia mengakhiri hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang bersedekah dengan satu sedekah karena mengharapkan wajah Allah yang ia mengakhiri hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih).
Maka atas musibah yang menimpa, kita mohon semoga Allah berkenan menerima amalan para korban jatuhnya crane di Masjidil Haram, dan menjadikan mereka sebagai syuhada.
Kita memohon kepada Allah agar merahmati dan mengampuni mereka, serta memberikan kesabaran dan ketenangan kepada sanak keluarga yang merek tinggalkan.
Qurban dan Pendidikan Tauhid
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Idul Adha, selain dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Nahr,” artinya hari raya penyembelihan (Hari raya Qurban). Hal ini untuk memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, menyebabkan dia dianugerahi kehormatan sebagai “Khalilullah” (kekasih Allah).
Setelah gelar Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Mu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaan dan keluarganya?” Allah berfirman: “Jangan menilai hamba-Ku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hati dan amal baktinya!”
Karena itu, Allah SWT mengizinkan para malaikat menguji keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya tidak melalaikannya dalam menaati Allah.
Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner.
Ketika suatu hari, Ibrahim ditanya seseorang, “milik siapakah ternak sebanyak ini?” Maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”
Menurut mufassir Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri.
Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Tatkala anak itu sudah dewasa, Ibrahim berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi menyembelih kamu. Karena itu, apa pendapatmu tentang mimpiku itu?” Ismail berkata: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar.” (Qs. As-shaffat [37]: 102)
Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya, Ismail mengira ayahnya ragu, atau tidak sampai hati menyembelih anaknya. Maka seraya melepaskan tali pengikat tangannya,Ismail membaringkan diri, lalu meminta ayahnya segera mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.
Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail memasrahkan diri pada Ilahy. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firman-Nya, menyuruh menghentikan dan tidak meneruskan untuk menyembelih anaknya.
Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an:
“Kami ganti Ismail dengan seekor domba yang sangat besar. Kami telah jadikan Ibrahim sebagai contoh bagi generasi-generasi sesudahnya. Ucapan ‘salam sejahtera’ bagi Ibrahim. Demikianlah Kami memberi pahala kepada orang-orang yang beramal shalih.” (Qs. As-Saffat [37]:107-110).
Jauh sebelum Ismail lahir, Nabi Ibrahim As selalu berdo’a agar mendapat keturunan yang shalih:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Ibrahim berdo’a: “Wahai Tuhanku, karuniakanlah anak yang shalih kepadaku.” (Qs. As-Shaffat [37]:100).
Namun, ketika baru saja puteranya beranjak dewasa, tiba-tiba diuji oleh Allah untuk menyembelih anaknya, sungguh ujian luar biasa. Sehingga, menyaksikan adegan bapak dan puteranya, yang menunjukkan kesabaran, keikhlasan dan tawakkal, untuk menaati perintah Allah, Malaikat Jibril pun terkagum-kagum, seraya terlontar darinya ucapan”Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Lailaha illallah Allahu Akbar.” Kemudian disambung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.’
Hikmah Qurban
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Peristiwa bersejarah ini memberi pelajaran bagi setiap Muslim, bahwa anak yang shalih dan shalihah hanya dapat lahir dari keturunan dan lingkungan keluarga yang shalih juga. Laksana pepatah, “daun jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ ذُرِّيَّةَ الْمُؤْمِنِ إِلَيْهِ فِي دَرَجَتِهِ ، وَإِنْ كَانُوا دُونَهُ فِي الْعَمَلِ ، لِيَقَرَّ عَنْهُمْ عَيْنَهُ . قَالَ : ثُمَّ قَرَأَ : [ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْشَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (21) ] [الطور : 21] . مَا نَقَصْنَا الآبَاءَ مِمَّا أَعْطَيْنَا الْبَنِينَ .
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat anak-anak orang-orang mukmin ke derajat orang tuanya, walaupun amal shalih mereka tidak seperti amalan orang tuanya, agar orang tua senang dan gembira berkumpul dengan anak-anaknya.” Kemudian Rasulullah membacakan Al-Qur’an surat At-Thuur ayat 21:“Orang-orang mukmin berada di dalam surga disusul anak keturunan mereka yang beriman. Kami kumpulkan orang-orang mukmin bersama dengan anak keturunan mereka. Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala atas amal mereka. Setiap orang mendapatkan pahala sesuai amal shalih yang ia lakukan di dunia.” (HR. Imam Al-Bazzaar)
Di zaman kita sekarang, hanya sedikit orang-orang sukses yang melahirkan keturunan yang sukses pula. Keshalihan Ismail, bukan diperoleh dari bangku kuliah di universitas, bukan pula celupan dari adat istiadat serta budaya masyarakatnya; melainkan karena ketaatannya pada ajaran agama.
Nabi Ibrahim telah memberi pelajaran berharga pada kita, bahwa jika kita menginginkan anak-anak kita menjadi anak yang shalih, maka orang tualah terlebih dahulu melakukan keshalihan agar menjadi contoh bagi anak-anaknya. Hasil didikan ini akan menjadi deposito orang tua untuk keberuntungannya di akhirat kelak
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ : مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan do’a anak yang shalih.” (HR. Muslim no. 1631)
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengajarkan pada kita, bahwa jika manusia meninggal dunia, maka segala amalnya terputus, kecuali tiga perkara yang dapat menyelamatkan dirinya, yaitu:
Pertama, shadaqah jariyah, yaitu wakaf yang kita berikan selama hidup di dunia. Selain itu, ada infaq, shadaqah yang kita keluarkan, sehingga dapat bermanfaat bagi orang lain untuk beribadah dan menaati Allah Swt.
Kedua, ilmun yuntafa’u bihi, yaitu ilmu yang bermanfaat yang diajarkan pada masyarakat, dan tetap bermanfaat setelah meninggal.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata: “Ilmu akan menjaga kita, sedangkan harta sebaliknya, kitalah yang harus menjaganya. semakin banyak ilmu seseorang semakin banyak orang yang menyayangi dan menghormatinya. Sedangkan semakin banyak harta, semakin banyak musuh dan orang yang iri kepadanya. Ilmu jika diamalkan akan semakin bertambah, sedangkan harta jika digunakan akan semakin bekurang. Pemilik ilmu akan diberi syafaat (pertolongan) di hari akhir kelak, sedangkan pemilik harta akan dihisab, diusut asal muasal hartanya oleh Allah.”
Ketiga, waladun shalih, yaitu anak yang shalih. Kita meninggalkan anak-anak yang shalih, baik anak itu mendo’akan kita setiap saat atau tidak, tapi keshalihan anak itu saja sudah menambah pahala yang terus menerus mengalir bagi orang tuanya hingga yaumul qiyamah. Maka jangan biarkan anak-anak kita berkubang dalam kehidupan pergaulan bebas, yang mengabaikan agama dan menuruti hawa nafsu belaka.
Pernah suatu ketika ada seorang bapak yang mengeluh kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab ra mengenai anaknya yang durhaka. Orang itu mengatakan bahwa putranya selalu berkata kasar kepadanya dan sering kali memukulnya. Maka, Umar pun memanggil anak itu dan memarahinya.
“Celaka engkau! Tidakkah engkau tahu bahwa durhaka kepada orangtua adalah dosa besar yang mengundang murka Allah? kata Umar.
“Tunggu dulu, wahai Amirul Mukminin. Jangan tergesa-gesa mengadiliku. Jikalau memang seorang ayah memiliki hak terhadap anaknya, bukankah si anak juga punya hak terhadap ayahnya?” tanya si anak.
“Benar,” jawab Umar.
“Lantas, apakah hak anak terhadap ayahnya?” lanjut si Anak.
“Ada tiga,” jawab Umar. “Pertama, hendaklah ia memilih calon ibu yang baik untuk putranya, jangan sampai tercela karena ibunya. Kedua, hendaklah ia menamainya dengan nama yang baik. Dan ketiga, hendaklah ia mengajarinya al-Quran.”
Maka, si Anak mengatakan, “Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak pernah melakukan satu pun dari tiga hal tersebut. Ia tidak memilih calon ibu yang baik bagiku. Ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga dua dirham, lalu malamnya ia gauli sehingga ia hamil mengandungku. Setelah aku lahir pun ayah menamaiku Ju’al (si hitam bermuka jelek), dan ia tidak pernah mengajariku menghafal al-Quran walau seayat.”
Maka Umar r.a. menoleh kepada ayahnya dan berkata: “Engkau telah durhaka kepada anakmu sebelum ia durhaka kepadamu. Pergilah engkau dari sini.”
Betapa pentingnya para orang tua mengoptimalkan amal shalihnya agar memiliki keturunan yang baik, hidup dengan rezki yang halal dan bersikap dermawan pada saudara muslim lainnya. Terkait pemberian nama yang baik bagi anak-anak kita, mengingatkan kita pada kejadian di negeri kita akhir-akhir ini. Ada orang tua yang memberi nama Tuhan pada anaknya, ada juga yang bernama Saiton, nama-nama yang tidak pantas.
Semoga kandungan khutbah ini dapat memotivasi keluarga Muslim bersungguh-sungguh mendidik generasi muslim yang cerdas otaknya, mulia akhlaknya, demi menyelamatkan negeri ini dari musibah dan kerusakan yang lebih parah.
Munajat
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد …
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita bermunajat kepada Allah agar diberi keselamatan dari segala ancaman, diberi kebaikan yang paling sempurna, kehidupan yang sejahtera dan waktu yang paling bahagia. Marilah kita berdo’a dengan meluruskan niat, membersihkan hati dan menjernihkan fikiran, semoga Allah memperkenankan do’a hamba-Nya yang ikhlas, dan menerima ibadah puasa Ramadhan kita.
Ya Allah pelihara iman kami dan berikan kepada kami kesempatan merasakan manisnya iman dalam kehidupan ini, yaitu dalam meneladani seluruh Sunnah Rasulullah saw. dengan sebaik-baiknya, yang mengantarkan kami menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Ya Allah bimbinglah kami untuk mengendalikan dan menundukkan hawa nafsu kami. Peliharakan hati dan pendengaran kami agar kami tidak terpedaya dari tipu daya syaithan yang merusak amal ibadah yang telah dan akan kami lakukan.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ
Ya Allah, ampunilah dosa kaum Muslimin dan Muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.
رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, dan kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ . سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ . وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ . وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Semoga shalawat senantiasa tercurah kepada pemimpin kami Muhammad saw, keluarga dan sahabatnya semua. Maha suci Tuhanmu Pemilik kemuliaan dari apa yang mereka persekutukan. Semoga salam sejahtera selalu tercurah kepada para rasul dan segala puji hanya bagi Allah Rabbul Alamin.
(Ukasyah/arrahmah.com)