Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas (Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin)
Bismillahirrahmanirrahim…
MENGAWALI khutbah ini, terlebih dahulu marilah kita memuji kebesaran Ilahy, yang telah menunjukkan jalan hidayah, sehingga kita menjadi orang-orang yang beriman. Kita bersyukur kepada Allah Swt yang telah mencukupkan segala kebutuhan makhluk-Nya. Allah Swt mengetahui, makhluk-Nya membutuhkan sinar mentari agar senantiasa menyinari bumi, dan malam untuk beristirahat, maka Allah tidak menghentikan peredaran matahari, dan tidak mencabut perputaran malam; walau sepanjang malam dan siang hari banyak manusia bergelimang dalam dosa, menolak perintah dan mengabaikan larangan-Nya.
Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, para shahabat, tabi’it-tabi’in serta seluruh kaum Muslimin yang setia mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.
Kemudian, sebagai khatib pada kesempatan khutbah Idul Adha 1431 H ini, kami mengingatkan diri pribadi dan segenap jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan taqwa, agar Allah Swt berkenan memberi solusi atas problem yang kita hadapi. Marilah peningkatan taqwa ini kita jadikan sebagai agenda hidup yang utama, agar menjadi manusia ideal menurut Islam, seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sesung- guhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Al-Hujurat, 49:13)
Di zaman kita sekarang ini, sedikit orang yang menjadi kan taqwa sebagai pola hidupnya, yaitu menjalani hidup di bawah naungan syari’at Allah. Kebanyakan umat Islam adalah ‘Muslim Otodidak’ yang mengamalkan Islam menurut pemahaman dan penghayatan pribadinya, sehingga adakalanya benar dan lebih sering keliru mema hami dan mengamalkan perintah taqwallah.
Sebagai manifestasi pola hidup taqwa, Islam mengajar- kan supaya manusia menjalani kehidupan berdasarkan petunjuk Allah. Dan mengikuti petunjuk Allah berarti menjalani kehidupan ini sebagai hamba Allah, menyembah-Nya sesuai dengan yang diperintahkan-Nya, serta melaksa- nakan syari’at Islam agar tercapai missi rahmatan lil alamin.
Prinsip utama beragama Islam adalah memiliki aqidah yang lurus tanpa dicampuri kesyirikan, ibadah yang benar, akhlak yang terpuji, dan muamalah (hubungan sosial) yang baik. Adapun pilar-pilar aqidah meliputi iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, dan takdir, yang kita kenal dengan rukun iman. Ibadah yang benar adalah ibadah yang didasarkan atas perintah Allah, bukan karena bisikan jin atau berdasarkan wangsit juru kunci merapi. Sedangkan prinsip akhlak dan muamalah yang baik mengikuti tauladan rasulullah Saw.
Beriman kepada rukun iman yang enam, menuntut pengakuan terhadap satu-satunya agama yang benar, adalah Islam. Oleh karena itu, dalam segala urusan, orang berimana tidak pantas mengikuti gaya hidup orang kafir, sekuler, liberal, yang tidak mengimani rukun iman itu. Tidak pantas bagi orang beriman mengikuti jalan hidup yang ditunjukkan oleh kaum sesat dan dimurkai Allah seperti Yahudi, Nasrani serta orang-orang musyrik. Lebih tidak pantas lagi, ketika rakyat Indonesia ditimpa musibah tsunami, gempa dan gunung berapi, anggota DPR RI malah ngelencer ke Belanda, belajar hukum kolonial pada mantan penjajah. Atau belajar etika dan moral, ke negeri Plato Yunani, sekadar menghabiskan anggaran belanja.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Di hari Idul Adha yang penuh barakah ini, marilah kita memperbanyak istighfar, membasahi bibir dengan lantunan takbir, tahmid, dan tahlil sebagai manifestasi rasa syukur kita kepada Allah swt.
Pada hari Senin kemarin, 9 Dzulhijjah 1431 H, sekitar 3 juta orang dari 1,5 milliar umat Islam seluruh dunia, wukuf di Arafah, menunaikan ibadah haji, rukun Islam yang ke lima. Sungguh menakjubkan, belum pernah ada seruan apapun di muka bumi ini selain dari seruan Allah yang mampu menghimpun manusia sebanyak itu di satu lokasi yang sama, pada waktu yang sama, untuk tujuan yang sama, dan mengenakan pakaian ihram yang sama.
Wuquf di padang Arafah merupakan puncak ibadah haji. Seluruh jamaah berkumpul, mengenakan pakaian ihram. Mereka melepaskan segala pakaian kemewahan duniawi, segala kedudukan dan jabatan duniawi, mereka lupakan negeri asal mereka, bahkan harta kekayaan maupun jabatan duniawi tak lagi berarti. Pikiran dan hati hanya terfokus untuk menghadap Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengampun.
Sementara, kita yang belum berkesempatan menunai- kan ibadah haji tahun ini, hari ini dalam suasana kepriha- tinan mendalam atas musibah merapi, kita berkumpul di tempat ini untuk beribadah kepada Allah, melaksanakan perintah agama: ‘Idul Qurban, sambil mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil. Inilah hari besar kemanusiaan dan keimanan, untuk mengenang peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim setelah beliau menerima wahyu Ilahy melalui mimpi, yang memerintahkan untuk menyembelih puteranya, Ismail As.
Sekiranya spirit kebersamaan dengan motivasi iman seperti ditunjukkan di padang Arafah itu, ditauladani dan menjadi inspirasi bagi pemerintah Indonesia khususnya dan pemerintah di negeri-negeri Muslim umumnya, tentulah perbedaan hari raya Idul Adha tidak perlu berulangkali terjadi. Mengapa harus ngotot dengan egoisme masing-masing, melestarikan perbedaan dengan dalih rukyah ataupun hisabiyah. Semestinya bangsa Indonesia dapat mempelopori persatuan kaum Muslimin, dengan saling merendahkan sayap sesama Muslim, agar tidak melestarikan perbedaan parsial. Bukankah ka’bah yang menjadi kiblat shalat kaum Muslim sedunia hanya ada di Makkah, sebagaimana padang Arafah tempat wukuf, tiada duanya di muka bumi ini, selain di Makah?
Nuansa politisasi ibadah, masih kental dalam perbedaan hari Idul Adha ini. Dimasa rasulullah Saw dan khulafaur rasyidin, penentuan Idul Adha mengikuti penentuan hari wukuf Arafah. Tidak pernah ditentukan dengan cara lain, karena itu menyalahi cara ini berarti menyalahi cara Rasulullah Saw. Perbuatan demikian adalah bid’ah yang sesat dan menyesatkan.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Sambil memuji dan membesarkan asma Allah, marilah kita merenungkan dan mengambil i’tibar dari berbagai musibah yang tak henti-hentinya menghempas kehidupan masyarakat dan bangsa kita.
Situasi dan kondisi bangsa Indonesia hari ini, bagai berdiri ditepi jurang pada malam gelap gulita. Berbagai musibah alam dan kejadian memilukan, telah membuat rakyat negeri ini kebingungan menghadapi banyak persoal- an hidup, dan mengkhawatirkan persoalan-persoalan yang akan datang berikutnya.
Barangkali benar, bangsa Indonesia tengah menuai akibat perbuatan mungkarat yang dilakukan manusia-manusia tidak bermoral, pejabat yang zalim, ingkar dan tidak tunduk pada aturan Allah dalam menyuburkan bumi dan mengelola negeri ini. Seakan tidak ada tempat tinggal yang aman dan nyaman untuk didiami.
Menurut Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana. Dalam kurun waktu 381 tahun sejak 1629 hingga 2010, tsunami sudah terjadi sebanyak 171 kali di Indonesia. Dan dalam sepuluh tahun terakhir, ada lebih dari enam ribu bencana terjadi di Indonesia.
Ibarat kata, rakyat Indonesia terus menerus dikejar-kejar bencana, di dalam negeri hingga mancanegara. Lihatlah nasib TKI dan TKW, berapa banyak di antara mereka yang dianiaya atau diperkosa majikannya; bahkan nasib calon jamaah haji kita pun setiap tahun tak henti dirundung sial. Ada yang ditimpa kelaparan, juga kehilang- an barang bawaan di pemondokan; bahkan banyak yang tidak bisa berangkat ke tanah suci sekalipun sudah melunasi ONH dan memegang visa.
Pertanyaannya, mengapa negeri kita kian akrab dengan adzab dan kian jauh dari rahmat Allah? Alangkah bijaksana jika bangsa Indonesia merenungkan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 97-99, sebagai jawaban atas pertanyaan ini.
“Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari tatkala mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka diwaktu pagi ketika mereka sedang bermain-main? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga). Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-A’raf, 7:97-99)
Perilaku umat yang kering dari ajaran agama akan menyuburkan kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Allah. Seperti dikatakan seorang ulama, Hasan Albasri:
“Seorang mukmin mengerjakan amal taat dengan hati dan perasaan yang senantiasa takut pada Allah, sedang orang yang durhaka berbuat maksiat dengan rasa aman.”
MENYIKAPI MUSIBAH
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Bangsa Indonesia patut berkabung, karena negeri kita tidak saja terancam bencana alam. Tapi yang lebih memprihatinkan, negeri kita juga terancam virus korupsi, dekadensi moral, kemiskinan, kerusuhan sosial antar warga, narkoba, aliran sesat, bahkan penculikan dan jual beli anak.
Lebih memprihatinkan lagi, semakin sering musibah menimpa, masyarakat luas malah semakin berani dan terbuka berbuat dosa. Segala musibah ini, bukannya mendorong kita untuk taqarrub ilallah, menyadari dosa dan kesalahan, lalu memperbaiki diri dengan meningkatkan amal shalih. Tapi justru semakin ingkar dan memusuhi syari’at Allah. Di kalangan masyarakat, nampaknya belum juga menyadari, bahwa segala derita dan kesengsaraan yang kita alami, berkaitan erat dengan kemaksiatan dan dosa yang merajalela.
Allah Swt berfirman:
“Apakah belum jelas bagi mereka yang mewarisi suatu negeri sesudah lenyap penduduknya yang lama, bahwa jika Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga tidak dapat mendengar pelajaran lagi?” (Qs. Al-A’raf, 7:100)
Ayat ini mempertanyakan cara kita menyikapi bencana yang datang bertubi-tubi silih berganti. Apakah belum cukup untuk menyadarkan kita, berapa banyak umat yang sebelum kita telah ditimpa bencana? Belumkah cukup untuk mengingatkan kita, segala peristiwa bencana mulai Tsunami Aceh Desember 2004, gempa bumi di jogjakarta (2006) hingga bencana dahsyat Gempa tektonik 30 September 2009 di Padang, Sumatera Barat. Bahkan di atas puing-puing jenazah mereka kita berjalan, menjadi kan nya daerah wisata.
Kini dan disini, sejak 26 Oktober lalu, kita diliputi awan panas gunung merapi. Sungguh pedih, menyaksikan korban anak-anak, orang tua dan wanita yang terpanggang bara lahar pijar, awan panas dan debu merapi. Perkam- pungan penduduk luluh lantak, sehingga memaksa lebih dari 100.000 orang dievakuasi, dan lebih dari 100 orang meninggal. Sebelumnya 25 Oktober, lebih dari 400 orang meninggal di Kepulauan Mentawai dan lebih dari 15.000 orang kehilangan tempat tinggal akibat tsunami. Puluhan orang masih tidak ditemukan. Begitupun, banjir yang melanda Wasior di Papua Barat menyebabkan sedikitnya 148 orang meninggal.
Subhanallah, apa dosa rakyat Indonesia, sehingga terus menerus digoncang fitnah dan dilanda musibah? Amirul Mukminin, Ali bin Thalib ra berkata: “Tidaklah turun bencana kecuali diundang oleh dosa. Dan tidak akan dicabut suatu bencana kecuali dengan tobat.”
Dosa yang dilakukan secara individu maupun kolektif di negeri ini sungguh dahsyat. Di zaman orde lama, rakyat Indonesia digiring pada ideologi Nasakom, sehingga kaum anti tuhan PKI hidup subur. Di zaman orde baru, bangsa Indonesia ditaklukkan dengan asas tunggal pancasila, yang kemudian atas tuntutan reformasi dihapuskan oleh Presiden BJ Habibi. Pada saat ini, kezaliman dan korupsi merajalela. Dan di zaman reformasi ini, berkembang aliran sesat dan melakukan deradikalisasi Islam melalui terjemahan Alqur’an terbaru dengan misi liberalisme dan sekularisme. Semua perbuatan ini adalah terkutuk yang mengundang murka Allah.
Para pemimpin formal maupun informal, seharus- nya menjadi contoh yang baik, bukan contoh yang buruk bagi rakyatnya. Sebab, para pemimpin menjadi simbol kebangkitan atau kehancuran suatu bangsa. Merekalah yang bertanggung jawab terhadap kerusakan dan penyelewengan-penyelewengan di penjuru negeri yang mengakibatkan lahirnya kemungkaran kolektif secara merata.
Di dalam Qur’an disebut model kepemimpinan di duni ini ada dua, yaitu pemimpin yang mengajak kepada Nur dan pemimpin yang mengajak kepada Nar. Pemimpin yang mengajak pada Nur, digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai sosok yang memimpin rakyatnya ke jalan Allah.
“Kami jadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka menyembah.” (Qs. Al-Anbiya, 21:73)
Ketika para pemimpin menyimpang dari petunjuk Allah dan meninggalkan syari’at Islam dalam menjalankan roda pemerintahan, mereka pasti membawa rakyatnya mengikuti jalan syetan yang akan menjerumuskan mereka pada malapetaka di dunia dan di akhirat. Karena itu, semestinya bangsa Indonesia tidak mempercayakan nasib dan masa depan negeri ini pada mereka yang akan mencelakakan rakyatnya:
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru manusia ke neraka dan di hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan Kami ikutkanlah la’nat kepada mereka di dunia ini, dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orangyang dijauhkan dari rahmat Allah.” (Qs. Al-Qashas, 28:41-42)
Oleh karena itu, seruan untuk menegakkan Syari’at Islam di lembaga negara, bukan saja untuk membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan penindasan. Tetapi juga untuk membebaskan umat dari ancaman siksa Allah yang datang mungkin disaat kita sedang tidur, atau disaat kita sibuk bermain-main di pagi hari; atau disaat yang kita tidak sangka, yang tidak dapat dipantau sekalipun menggu- nakan teknologi canggih.
Pada saat negeri kita diguncang bencana seperti sekarang, alangkah baiknya jika para pemimpin negeri ini belajar pada kebijakan khalifah Umar Ibnul Khathab, tatkala rakyat yang dipimpinnya mengalami pacekelik. Beliau yang bergelar Al-Faruq, telah meletakkan dasar-dasar semangat saling membantu dan meringankan beban sesama, tentang bagaimana seharusnya para pemimpin berbuat pada saat rakyatnya mengalami penderitaan?
Pada masa kekhalifahan Umar Ibnul Khattab ra, pernah terjadi kemarau panjang, diikuti bencana alam, gempa bumi dan angin badai. Akibatnya, kelaparan merajalela, wabah penyakit melanda masyarakat dan hewan ternak. Demikian sedih menyaksikan kondisi rakyatnya, sehingga beliau bersumpah tidak akan makan daging dan minum susu sebelum bahan makanan tersebut dinikmati oleh semua penduduk.
Umar yang Agung berusaha keras menundukkan ambisi pribadinya, mengendalikan kepentingan diri dan keluarganya, demi mengutamakan kepentingan rakyat yang lebih membutuhkan. Sehingga keluarlah ucapannya yang terkenal: “Bagaimana aku dapat memperhatikan keadaan rakyat, jika aku sendiri tidak merasakan apa yang mereka rasakan.”
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Negeri ini sedang menantikan fajar menyingsing, sambil menelusuri jejak yang dapat membimbing ke jalan hidayah. Adakah solusi atau jalan keluar dari segala ancaman musibah ini?
Al-Qur’an menjelaskan, manusia akan dapat terbebas dari murka Allah, asalkan mau mematuhi aturan-aturan Allah dalam bentuk ibadah, perilaku sosial, termasuk dalam sistem pemerintahan. Jaminan ini termaktub dalam Qs. Al A’raf ayat 96:
“Sekiranya penduduk negeri-negeri di dunia ini beriman dan bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan membukakan pintu-pintu berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu, maka Kami siksa mereka akibat perbuatannya.”
Ayat ini menjelaskan, bahwa kunci pembuka rezki dan pembebas dari bencana adalah iman dan taqwa. Artinya, jika kita ingin menikmati indahnya Islam dan merasakan berbahagianya menjadi Muslim, kerjakanlah perintah dan jauhi larangan Allah, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram. Allah akan memberi berkah kepada rakyat yang beriman, taat dan menjauhi syirik. Sebaliknya akan mengazab rakyat yang berbuat syirik, maksiat dan mengingkari syari’at Allah.
MUNAJAT
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita berdo’a, dengan meluruskan niat, membersihkan hati dan menjernihkan fikiran. Semoga Allah memperkenankan do’a hamba-Nya yang ikhlas, memperbaiki kehidupan kita, sehingga negeri ini menjadi baldatun thayyibatun warabbun ghafur, negeri dengan predikat ‘gemah ripah loh jinawi’ dan mendapat ampunan Allah Swt.
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا ، اَللَّهُمَّ مَتِعْنَا بِأَسْمَاعِنَا ، وَأَبْصَارِنَا ، وَقُوَّاتِنَا ، مَاأَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلاَ تَجْعَل مُصِيْبَتَنَا فِيْ دِيْنِنَا ، وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَمَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا اَللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا ، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا ، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ ، وَبَارِكْ لَنَا فِيْ أَسْمَاعِنَا ، وَأَبْصَارِنَا ، وَقُلُوْبِنَا ، وَأَزْوَاجِنَا ، وَذُرِّيَّاتِنَا ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ .
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا (رَبَيَانَا) صِغَارًا ، وَلِجَمِيعِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ ، اَللَّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةَ وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةَ وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزِّةِ عَمَّا يَصِفُونَ ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Ya Allah, ya Rab kami, bagi-bagikanlah kepada kami demi takut kepada-Mu apa yang dapat kiranya menghalang antara kami dan ma’siat kepada-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi taat kepada-Mu apa yang sekiranya dapat menyampaikan kami ke sorga-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi taat kepada-Mu dan demi suatu keyakinan yang kiranya meringankan beban musibah dunia kami.
Ya Allah, ya Rab kami, senangkanlah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan -penglihatan kami dan kekuatan kami pada apa yang Engkau telah menghidupkan kami, dan jadikanlah ia sebagai warisan dari kami, dan jadikanlah pembelaan kami (memukul) orang-orang yang menzhalimi kami serta bantulah kami dari menghadapi orang-orang yang memusuhi kami; dan jangan kiranya Engkau jadikan musibah kami mengenai agama kami, jangan pula Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita kami yang paling besar, tidak juga sebagai tujuan akhir dari ilmu pengetahuan kami; dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menaruh sayang kepada kami (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadist ini hasan.)
Ya Allah, persatukanlah hati-hati kami dan perbaikilah keadaan kami dan tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan serta entaskanlah kami dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Dan jauhkanlah kami dari kejahatan yang tampak maupun tersembunyi dan berkatilah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan-penglihatan kami, hati-hati kami dan isteri-isteri serta anak keturunan kami, dan ampunilah kami sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Shalawat atas Nabi Muhammad SAW dan ahli keluarga serta sahabat-sahabat beliau semuanya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
(Disampaikan di hadapan Jamaah Shalat ‘Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 H/ 16 November 2010 M, di Halaman Balai Kota, Jogjakarta)