Banyak orang yang bingung antara 3 pendapat tentang pakaian muslimah, 3 pendapat tersebut adalah:
1. Bagian rahasia atau tersembunyi dari tubuh atau badan yang ditetapkan oleh Hukum Islam disebut aurat.
2. Bagaimana berpakaian ditempat umum.
3. Berhias yang berlebihan disebut tabaruj.
Ketetapan tentang Aurat
Aurat dalam hukum Syara’ telah ditetapkan dgn jelas yaitu untuk kaum wanita (muslimah ) meliputi seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Leher adalah aurat, tangan merupakan aurat, begitu juga dengan kaki dan juga rambut, meskipun sehelai rambut, telinga dan raut muka juga merupakan aurat. Oleh karena itu seorang muslimah seharusnya menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan dari laki-laki asing baik itu muslim atau bukan. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari mereka…” (QS. An-Nur: 31).
Apa yang biasa nampak adalah muka dan telapak tangan yang mana ini berlaku bagi para muslimah, apakah sedang shalat atau mengerjakan haji, atau dihadapan Rasulullah saw yang diamnya menjadi bukti bahwa beliau tidak keberatan. Sebagaimana keterangan Rasulullah saw yang berkata kepada Asma’:
“Wahai Asma’ jika seorang wanita telah baligh, tidak ada bagian dari tubuhnya yang ditampakkan kecuali ini dan ini(menunjuk pada muka dan telapak tangannya).”
Ketetapan tentang aurat mengharuskan warna kulit harus disembunyikan, baik itu hitam, putih, merah atau coklat. Jika pakaian tersebut transparan, dan menampakkan warna kulit, maka tidak syah sebagai penutup aurat, oleh karena itu dianggap bahwa aurat ditampakkan dan tidak tertutup. Hukum Syara’ memerintahkan untuk menyembunyikan kulit dengan menyembunyikan warnanya. Dan bukti tentang ini diambil dari kisah Aisyah ra:
Asma’ binti Abu Bakar memasuki rumah Rasulullah SAW untuk mengunjungi saudaranya Aisyah dan dia memakai pakaian yang tipis (transparan) lalu beliau memalingkan muka dan berkata: “Wahai Asma’ jika seorang wanita telah baligh, tidak ada bagian dari tubuhnya yang ditampakkan kecuali ini dan ini(menunjuk pada muka dan telapak tangannya).” Sehingga pakaian yang tipis dianggap oleh Rasulullah saw sebagai pakaian yang menampakkan aurot, maka tidak sah sebagai penutup aurat.
Bukti yang lain dari apa yang diceritakan Usama ibnu Zaid, ketika Rasulullah saw bertanya padanya tentang apa yang ia lakukan dengan kobtya (baju tipis) itu, Usama berkata bahwa ia memberikannya untuk dipakai istrinya. Lalu beliau berkata: “Katakan padanya untuk memakai beberapa lapisan di bawah bajunya (kobtya), aku khawatir akan lekuk tubuhnya kemungkinan masih terlihat.”
Ketetapan tentang apa yang seharusnya wanita pakai.
Islam telah memerintahkan kaum muslimah untuk berpakaian sebagai berikut ketika keluar rumah:
1. Khimar (kerudung atau penutup kepala). Bagian ini para ulama menyebutnya pakaian atas.
2. Jilbab (pakaian longgar) dan bagian ini para ulama menyebutnya pakaian bawah.
Hendaklah pakaian atas tersebut diperhatikan, Islam telah memerintahkan kaum muslimah untuk memakai khimar (penutup kepala) jika ia keluar rumah. Khimar seharusnya menutupi kepala dan seluruh leher dan tulang selangka. Dan ini seharusnya menjadi hal yang biasa ketika pergi berbelanja atau semisalnya. Kaum muslimah juga seharusnya memperhatikan perintah-perintah dan larangan-larangan yang lain sebelum bepergian, seperti meminta izin suami atau orang tua, tidak menyerupai laki-laki atau orang kafir, tidak berhias selain dihadapan keluarga dekat (mahram), tidak memamerkan kecantikannya dihadapan orang asing, menutup aurat dan tidak menyukai parfum ketika diluar rumah. Jika wanita tersebut tidak mematuhi aturan itu, dia akan dibebani dosa dengan melanggar hukum Syara’.
Mengenai jilbab atau pakaian bawah, Islam telah memerintahkan kaum muslimah untuk memakai jilbab atau mantel atau yang sejenisnya (baik satu atau dua potongan) yang menutup seluruh tubuhnya ke bawah sampai pergelangan kaki. Jika dia tidak mengenakan jilbab, dia dapat meminjamnya dari tetangga atau teman, sebaliknya hal itu tidak dibenarkan baginya untuk keluar tanpa pakaian penutup tubuhnya dan layak untuk keluar rumah. Jilbab seharusnya tidak tipis, tidak membentuk, tidak mencolok, tidak berparfum, tidak juga menyerupai pakaian laki-laki atau orang kafir. Jika dia tidak berpegang pada aturan ini dia akan terkenai beban dosa karena tidak mematuhi hukum Syara’.
Jika seorang muslimah ketika keluar rumah tidak mengenakan kedua pakaian tersebut dan memperhatikan seluruh peraturan yang lain seperti meminta izin suami atau orang tua, tidak menyerupai pakaian laki-laki atau orang kafir, tidak berhias selain dihadapan keluarga dekat (mahram), tidak memamerkan kecantikan, selalu menutup aurat,tidak memakai parfum diluar rumah. Hal itu tidak dibenarkan baginya keluar rumah bagaimanapun keadaannya. Terhadap perintah memakai kedua hal itu seharusnya diperhatikan disetiap waktu kecuali kalau dia terpaksa dan hidupnya dalam bahaya atau jika dia diharuskan untuk memelihara jiwanya, misalkan jika rumahnya terjadi kebakaran atau jika dia diserang oleh seorang lelaki, dan dia dapat melarikan diri meskipun setengah telanjang demi menjaga kehormatannya. Menjaga jiwa dan kehormatan adalah kewajiban menurut Syara’. Dalam keadaan bagaimanapun seorang muslimah tidak mempunyai alasan yang benar untuk meninggalkan apa yang telah ditetapkan oleh syara’. Keterangan mengenai hal ini berasal dari kitab suci Al Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari mereka…” (QS. An-Nur: 31).
Allah berfirman mengenai pakaian bawah ini (jilbab):
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka”
Hal ini dikisahkan dari Ummu Athiyah yang bertutur demikian:
“Rasulullah saw memerintahkan kami baik ia budak wanita, wanita haid atau wanita perawan, agar keluar (menuju lapangan) pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi para wanita yang sedang haid diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat, namun tetap menyaksikan kebaikan dan seruan atas kaum muslim. Aku lantas berkata:”Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab,” “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbab kepadanya”.
Aktivitas tersebut memperjelas tentang penjelasan apa yang seharusnya dipakai kaum muslimah pada saat ditempat umum. Allah SWT telah menjelaskan dalam dua ayat tentang pakaian, bahwa Dia memerintahkan kaum muslimah untuk berpakaian dengan pakaian tersebut di tempat umum. Penggambaran tentang pakaian dijelaskan secara jelas dan luas. Tentang pakaian atas, Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka”. Hal itu berati mereka harus mengulurkan khimar disekitar leher dan dada untuk menutupi beberapa bagian yang nampak disekitar dada, tulang selangka atau leher.
Mengenai pakaian bagian bawah, Allah SWT berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Ini berarti bahwa muslimah seharusnya mengulurkan jilbab atau mantel atau semisalnya, yang mana menutupi seluruh anggota badan sampai pergelangan kaki. Hal ini merupakan ketetapan umum mengenai jilbab, Allah SWT berfirman: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak dari mereka”. Ini berarti bahwa kaum muslimah hendaknya tidak menampakkan beberapa bagian dari anggota tubuh dimana kecantikannya bisa terlihat seperti telinga, lengan dan kaki dan yang lain, kecuali yang biasa nampak seperti wajah dan telapak tangan. Hal ini kedua ayat turun ketika pada masa Rasulullah saw.
Didukung oleh penjelasan dan bukti-bukti yang memperjelas mengenai pakaian kaum muslimah di tempat umum semakin memperkuat dan mempertegas. Apa yang Ummu Athiyah kisahkan memperkuat dan mempertegas tentang perintah untuk memakai jilbab diatas pakaian biasa bagi kaum muslimah yang akan keluar rumah. Ketika dia bertanya pada Rasulullah saw tentang bagaiman dengan seorang wanita yang tidak mempunyai jilbab, lalu beliau menjawab bahwa hendaknya dia meminjam satu dari saudaranya, berarti dia tidak diizinkan keluar tanpa jilbab. Jilbab harus lebar dan panjang menutupi seluruh tubuh sampai pergelangan kaki.
Dikisahkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat. “Ummu Salamah bertanya,”Lantas bagaimana dengan ujung pakaian yang dibuat oleh para wanita?” Rasulullah SAW menjawab,”Hendaklah diulurkan sejengkal” Ummu Salamah berkata lagi,”Kalau begitu akan tampak kedua kakinya” Rasulullah SAW menjawab lagi,”Hendaklah diulurkan sehasta dan jangan ditambah”. Ini dengan jelas menunjukkan tentang jilbab bahwa kaum muslimah harus memakainya ketika di tempat terbuka dengan mengulurkan ke bawah sampai menutupi kaki. Hal ini sangat penting untuk mengulurkan jilbab sampai tertutup, bahwa ini menjelaskan tentang model pakaian ketika keluar rumah.
Hukum Tabaruj (berhias yang berlebihan)
Persoalan tabaruj merupakan bagian dari penutup aurat dan juga bagian dari pakaian yang kaum muslimah pakai di tempat umum. Tabaruj terjadi ketika seorang wanita berhias yang berlebihan untuk kecantikannya dan menampakkan kepada orang asing. Tabaruj dilarang dalam hukum Syara’ dengan bukti-bukti yang jelas.
Allah SWT berfirman:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS. An-Nur:60).
Kita mengerti dari ayat tersebut bahwa tabaruj adalah sesuatu yang pasti dilarang. Allah SWT mengizinkan kaum muslimah menanggalkan pakaian mereka dan mereka tidak bermaksud menampakkan perhiasan. Jika perempuan-perempuan tua dilarang bertabaruj, sama halnya dengan wanita-wanita yang lain.
Allah SWT berfirman
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”.
Ayat ini telah jelas melarang satu bentuk tabaruj dimana para wanita memukulkan kaki mereka yang memakai gelang kaki yang mengeluarkan suara sehingga menampakkan perhiasan mereka. Awal-awal masuk Islam para wanita memakai gelang kaki dan memukulkan kaki mereka untuk menampakkan perhiasan mereka dan menarik perhatian kaum lelaki. Sehingga ayat tersebut turun untuk menghentikan berhias yang berlebihan sebagai salah satu bentuk tabaruj.
Dikisahkan dari Abu Musa Al Ash’ari bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Seorang wanita memakai parfum dan berjalan melewati sekelompok orang dan mereka mencium baunya, dia disebut pezina.”
Hal ini berarti seperti pezina yang berarti bentuk dari dosa. Juga diceritakan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua macam orang dalam neraka yang mana aku belum pernah melihatnya. Pertama adalah orang dengan cemeti dengan ekor lembu yang memukul orang disekelilingnya, dan kedua adalah wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mereka dalam keadaan tersesat dan akan menyesatkan orang lain, dan kepala mereka seperti punuk unta. Wanita tersebut tidak akan masuk surga, mereka tidak akan mencium bau surga meskipun bau surga dapat tercium dari jarak yang demikian jauh.”
Uraian diatas secara jelas memuat tentang larangan bertabaruj. Kita juga membedakan antara tabaruj dan berhias. Tabaruj dilarang dalam Islam. Akan tetapi berhias tidak dilarang dalam hukum Syara’, kecuali pada saat berkabung dengan meninggalnya suami, seperti yang dikisahkan oleh Ummu Athiyah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Hendaknya kaum wanita berkabung atas meninggalnya seseorang tidak lebih dari 3 hari, kecuali terhadap suaminya, yang mana dia berkabung atas kematiannya selama 4 bulan 10 hari, selama masa itu, ia tidak boleh memakai pakaian yang mencolok kecuali jika warnanya tidak terang, tidak memakai alkohol tidak juga parfum dan tidak memotong/memangkas sesuatupun kecuali rambut yang terlalu keriting dan kuku yang panjang.”
Dan dari Abu Dawud pada hadist yang sama terdapat,”tidak juga mewarnai rambutnya”. Hadist tersebut merupakan larangan berhias ketika berkabung. Ini berarti berhias dibolehkan memakai kohl atau inai, anting-anting, gelang, kalung dan lainnya diperbolehkan. Namun Syara’ melarang beberapa jenis berhias atau alat-alat kecantikan seperti tato dan rambut palsu.
Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: “Allah melaknat wanita yang minta disambung rambutnya dan yang menyambungnya, wanita yang ditato dan yang melakukan tato.”
Meskipun Syara’ mengizinkan wanita untuk berhias dan memperlihatkan pehiasannya pada mahramnya seperti saudara laki-laki, ayahnya sendiri, suami dan lainnya, dia dilarang untuk berhias diluar rumah kecuali jenis perhiasan yang sudah pada umumnya dalam masyarakat muslim. Oleh karena itu jika seorang wanita keluar rumah, harusnya dia ingat bahwa dia keluar bukan untuk memperlihatkan perhiasannya atau menarik perhatian kaum lelaki tetapi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti belanja dan lain-lain.
Ketetapan tentang aurat dan pakaian wanita (khimar dan jilbab) dan juga tabaruj (berlebihan dalam berhias). Jika ada pakaian penutup aurat, itu bukan berarti secara otomatis dibolehkan memakainya di luar rumah, karena hukum Syara’ telah menetapkan jenis pakaian bagi wanita dimana diizinkan memakainya di luar rumah, misalnya celana panjang adalah tidak layak untuk dipakai kaum wanita ditempat umum meskipun menutupi aurat. Jika seorang wanita keluar rumah dengan memakai celana panjang, berdasarkan Syara’ dia telah berdosa, hanya karena telah melanggar atau mengabaikan salah satu kewajibannya. Itulah mengapa kami berusaha memperjelas/menganjurkan sehingga tidak ada kebingungan mengenai persoalan yang berkaitan dengan apa yang kaum wanita pakai di tempat umum yaitu penutup aurat atau dengan tabaruj.
Celana panjang meskipun tidak tipis, hendaknya kaum wanita tidak memakainya di depan laki-laki asing, baik itu seorang muslim atau bukan, lalu ketika dia memakai maka akan memperlihatkan perhiasannya dan ini berarti tabaruj, sedangkan tabaruj hukumnya haram.
Sehingga memakai seperti celana panjang, rambut palsu dan topi yang mana tidak ditetapkan Syara’ dan dianggap layak dipakai ditempat umum, hal itu dilarang meskipun menutupi aurat seorang muslimah. Kaum muslimah seharusnya tidak memakai pakaian yang menutupi auratnya tetapi dia menampakkan perhiasannya menyerupai laki-laki atau orang kafir.
Wallahu a’lam bis showaab.