Manila (Arrahmah.com) Setelah perjuangan panjangnya di pulau selatan Mindanao, Moro Islamic Liberation Front (MILF) mengkhianati Bangsamoro dan berhasil digiring pemerintah Filipina untuk melakukan kesepakatan pada Kamis (27/3/2014) di istana presiden di ibukota Manila.
“Mari kita menyingkirkan prasangka masa lalu dan memberikan kontribusi untuk suasana optimisme yang untuk pertama kalinya setelah sekian lama menjadi lazim di Muslim Mindanao,” klaim Presiden Benigno Aquino sebelum menandatangani perjanjian.
Turut hadir dalam upacara tersebut adalah Pemimpin MILF Al Haj Murad Ebrahim dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, sebagai mediator utama pembicaraan.
Lebih dari 500 anggota MILF juga diundang menghadiri upacara, serta para pejabat dan diplomat Filipina.
“Sebuah pemerintahan transisi akan dibentuk melalui pemilu yang diagendakan pada tahun 2016.” ucap Murad kepada Al Jazeera.
Sam Zarifi, Direktur Komisi Pengacara Internasional Asia Pacific, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perjanjian ini bukanlah “langkah yang signifikan” untuk mengakhiri konflik internal terbesar di Asia. Perjanjian ini merupakan pengkhianatan dalam mengembalikan hak Bangsamoro untuk meralisasikan kedaulatan pemerintahannya, dengan otonomi anggaran dan kekuatan politik mandiri.
Hal tersebut ditegaskan pula oleh Abu Misry Mama juru bicara Mujahdiin Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BILF) pada Kamis (27/2), bahwa faktanya perjanjian itu akan melonggarkan kekuasaan Bangsamoro dan menjauhkannya dari tujuan politik sejatinya, yakni futuh dari rezim kafir.
Mama menambahkan bahwa “tidak ada alasan bagi ummat untuk turut merayakan bentuk kompromi apapun dengan pemerintah yang kafir”.
Angeles, seorang suku asli Yakan, kepala daerah kota Tipo-Tipo mengatakan kepada STAR bahwa rakyat skeptis jika perjanjian ini dapat menjamin pembangunan Mindanao untuk ke depannya. (M1/Arrahmah.com)