(Arrahmah.com) – Utsman bin Affan pada masa jahiliah termasuk di antara orang yang terpandang di tengah kaumnya, dan termasuk milyader mereka. Ia tidak pernah sekali pun menyembah berhala, juga tidak melakukan perbuatan nista sekali pun. Keislamannya membawa angin segar bagi Islam dan mengembirakan umat Islam saat itu. Setelah terlibat dalam ‘madrasah’ perpolitikan yang panjang bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, dan Umar bin Khaththab, ia lantas menjabat sebagai khalifah dengan kesepakatan umat Islam. Tatkala menjabat sebagai khalifah, banyak jasa yang telah dilakukan Utsman bin Affan, terkhusus dalam kebijakan politik luar negeri dari sisi perluasan pembebasan Islam, terkhusus wilayah Khurasan di bawah komando panglima sekaligus gubernurnya, Abdullah bin Amir. Namun di balik itu, makar dan proganda untuk menjatuhkannya juga sangat besar, yang berujung pada kesyahidannya di tangan orang-orang yang zalim.
Biografi Utman bin Affan
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghalib bin Fihr. Ibu beliau bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdusy Syams dan neneknya bernama Ummu Hakim Bidha’ binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah saw.[1]Garis nasabnya bertemu dengan Nabi saw pada jalur Abdu Manaf.[2]
Beliau salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberitakan masuk surga, salah seorang anggota dari enam orang anggota Syura, serta salah seorang dari tiga orang kandidat khalifah dan akhirnya terpilih menjadi khalifah sesuai dengan kesepakatan kaum Muhajirin dan Anshar, serta merupakan khulafa’ Rasyidin yang ketiga, imam mahdiyin yang diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.[3]
Ciri-ciri dan akhlak Utsman bin Affan
Utsman bin Affan memiliki tubuh ideal, berpostur sedang, tidak pendek dan tidak tinggi, berwajah tampan, berkulit halus, berjenggot lebat, berkulit kecoklatan. Tubuhnya banyak ditumbuhi bulu, pangkal-pangkal tulangnya besar dan bahunya bidang. Ia memiliki cambang yang panjang hingga ke bawah telinga. Kedua betisnya besar, kedua hastanya panjang dengan bulu-bulu lebat yang menutupinya.Hidungnya sangat mancung, ada flek-flek di wajahnya akibat cacar air. Ia biasa mewarnai jenggot dengan warna kuning dan ia pernah mengkawat giginya dengan emas.[4]
Beliau memiliki akhlak yang mulia, sangat pemalu, dermawan dan terhormat, mendahulukan kebutuhan keluarga dan familinya dengan memberikan perhiasan dunia yang fana. Mungkin beliau bermaksud untuk mendorong mereka agar lebih mendahulukan sesuatu yang kekal daripada sesuatu yang fana. Sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah saw. terkadang beliau memberikan harta kepada suatu kaum dan tidak memberi kaum yang lain karena khawatir mereka akan dimasukkan oleh Allah swt ke dalam neraka. Sebagian kaum memprotes beliau karena perlakuan tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Khawarij terhadap Rasulullah saw atas pembagian harta rampasan perang Hunain.
Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan bahwaUtsman bin Affan menjual sebidang tanah kepada seseorang. Hanya saja orang itu terlambat menerimanya. Ketika beliau bertemu dengannya beliau menanyakan sebabnya, “Apa yang menyebabkan kamu terlambat menerima hartamu?”. Ia menjawab, “Engkau telah menipuku! Setiap aku bertemu dengan seseorang ia menyesalkan pembelian tanah tersebut.” Beliau berkata, “Apa hanya itu yang membuatmu terlambat?” Jawabnya, “Benar.” Beliau berkata, “Kamu boleh pilih apakah kamu mau meminta uang itu kembali atau mengambil tanah.”[5]
Islam dan Jihad Utsman bin Affan
Utsman bin Affan termasuk di antara orang pertama yang memelukk Islam, yaitu melalui dakwah Abu Bakr. Ibnu Hisyam menulis bahwa setelah Abu Bakr masuk Islam, maka orang-orang yang dipercayainya, suka mengunjunginya, dan bermajlis bersamanya, ia ajak beriman kepada Allah dan kepada Islam. Maka yang memeluk Islam karena ajakannya adalah Utsman bin Affan dan tujuh orang lainnya.[6]
Beliau adalah orang pertama yang hijrah ke negri Ethiopia bersama istrinya Ruqayah binti Rasulullah saw. Kemudian Ia kembali ke Mekah dan hijrah ke Madinah. Beliau tidak dapat ikut serta pada perang Badar karena sibuk mengurusi putri Rasulullah saw (istri beliau) yang sedang sakit. Jadi beliau hanya tinggal di Madinah.
Ketika istri beliau meninggal, Rasulullah saw menikahkannya dengan adik istrinya yang bernama Ummu Kaltsum, yang pada akhirnya juga meninggal ketika masih menjadi istri beliau. Beliau ikut serta dalam peperangan Uhud, Khandaq, dan Perjanjian Hudaibiyah. Utsman bin Affan juga ikut serta dalam peperangan Khaibar, Tabuk, dan beliau juga pernah memberikan untuk pasukan ‘Usrah sebanyak tiga ratus ekor unta dengan segala perlengkapannya.
Rasulullah saw pergi menunaikan haji Wada’ bersama beliau. Rasulullah saw wafat dalam keadaan ridha terhadap Utsman bin Affan. Kemudian beliau menemani Abu Bakar dengan baik dan Abu Bakar wafat dalam keadaan ridha terhadap Utsman bin Affan. Beliau juga menemani Umar bin Khaththab dengan baik dan Umar pun wafat dalam keadaan ridha terhadap Utsman bin Affan serta menetapkan bahwa beliau sebagai salah seorang dari enam orang anggota Syura.
Utsman bin Affan menjadi khalifah setelah Umar bin Khaththab banyak membebaskan berbagai negara melalui tangan beliau. Semakin lebarlah wilayah Daulah Islam dan bertambah luaslah Daulah Islam ini, serta sampailah misi Rasulullah saw ke timur dan barat bumi ini.[7]
Keistimewaan Utsman bin Affan
a. Kabar gembira berupa surga yang beliau terima
Utsman bin Affan banyak memiliki keistimewaan. Keistimewaannya yang paling utama adalah kabar gembira dari Rasulullah saw bahwa ia adalah calon penghuni surga. Rasulullah saw suatu ketika bersabda,”Siapa saja yang menggali Sumur Raumah maka untuknya surga.” Maka sumur tersebut digali oleh Utsman bin Affan.
Pada kesempatan lain, Rasulullah saw juga bersabda,”Barangsiapa yang mendanai pasukan ‘Usrah[8] maka untuknya surga.” Maka Utsman bin Affan juga mendanai pasukan tersebut.
b. Mendapat kabar gembira bahwa beliau akan Syahid
Keistimewaan Utsman bin Affan lainnya yaitu ia menjadi salah seorang yang memenuhi panggilan Allah swt dan Rasul-Nya dan berhijrah dua kali. Selain juga mendapat kabar gembira bahwa beliau akan mati syahid.
Anas bin Malik pernah menuturkan, “Rasulullah saw mendaki gunung Uhud bersama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Lantas gunung tersebut bergetar. Beliau bersabda, “Tenanglah wahai Uhud!-aku perkirakan beliau menghentakkan kakinya-tidak ada siapa-siapa di atasmu melainkan hanya seorang Nabi, Ash-Shiddiq dan dua orang syahid.”
c. Kedudukan Utsman bin Affan di sisi Sahabat
Tidaklah mengherankan bilamana Utsman bin Affan memiliki kedudukan tersendiri di hati para sahabat setelah kedudukan Abu Bakr dan Umar bin Khaththab. Ibnu Umar berkisah, “Pada zaman Rasulullah saw, kami tidak menyamakan Abu Bakr dengan sahabat yang lain. Kemudian Umar. Dan kemudian Utsman. Setelah itu kami tidak mengistimewakan antara satu sahabat dengan sahabat yang lain.”
Di antara hal lain yang menunjukkan kedudukan Utsman bin Affan di tengah umat yaitu apa yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Umar bin Khaththab ia berkata, “Rasulullah saw keluar mendatangi kami setelah terbit matahari dan bersabda, ‘Aku melihat sebelum fajar seakan-akan aku diberi al-maqalid dan timbangan. Adapun al-maqalid adalah kunci-kunci dan timbangan adalah alat yang biasa kalian pakai untuk menimbang. Kemudian aku diletakkan pada daun timbangan yang satu dan umatku diletakkan pada daun timbangan yang lain dan ternyata aku lebih berat. Kemudian didatangkan Abu Bakar dan ditimbang dengan mereka, ternyata Abu Bakar lebih berat dari mereka. Lantas didatangkan Umar dan ditimbang dengan mereka, ternyata Umar lebih berat dari mereka. Lalu didatangkan Utsman dan ditimbang dengan mereka, ternyata Utsman lebih berat dari mereka. Kemudian mimpi tersebut terputus.”[9]
d. Utsman bin Affan sebagai penulis wahyu
Mengenai keistimewaan Utsman bin Affan lainnya yang juga diakui oleh Aisyah Ummul Mukminin adalah peran beliau sebagai pencatat wahyu. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ibu dari Fathimah binti Abdurrahman pernah bertanya kepada Aisyah dengan mengutus pamannya. Pertanyaan itu yaitu, “Salah seorang anakmu mengirimkan salam untukmu dan bertanya tentang Utsman yang sedang dicela oleh banyak orang.” Beliau menjawab, “Semoga Allah swt melaknat orang yang melaknat Utsman. Demi Allah, waktu itu ia sedang duduk di sisi Rasulullah saw dan Rasulullah saw sedang menyandarkan punggungnya kepadaku dan Jibril sedang menyampaikan wahyu al-Qur’an, beliau bersabda, ‘Tulislah wahyu tersebut wahai ‘Utsaim (Utsman).” Aisyah melanjutkan, ‘Tidaklah Allah swt menempatkan seseorang pada kedudukan seperti itu melainkan orang tersebut telah bersikap mulia terhadap Allah dan RasulNya’.”[10]
e. Ilmu dan bacaan Qur’annya
Utsman bin Affan sering menghidupkan waktu malam lalu mengkhatamkan al-Qur’an dalam satu rakaat. Tatkala Utsman bin Affan terbunuh, istrinya berkata, “Kalian telah membunuhnya padahal ia menghidupkan waktu malam dengan membaca al-Qur’an dalam satu rakaat.”
Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabah bahwa Utsman bin Affan memimpin shalat orang banyak. Kemudian ia berdiri di belakang Maqam Ibrahim, lalu menyelesaikan kitabullah dalam satu rakaat yang menjadi witirnya.
Utsman bin Affan dijadikan perumpamaan yang patut ditiru dalam membaca al-Qur’an, sedang Umar bin Khaththab dijadikan perumpamaan dalam kekuatan wibawa, sedangkan Ali bin Abi Thalib dalam hal pengadilan.[11]
f. Wasiat Nabi saw kepada Utsman bin Affan agar tetap sabar dan tidak memenuhi tuntutan agar ia turun dari jabatan
Imam Ahmad meriwayatkan dari Aisyah, Ummul Mukminin, ia berkata, “Rasulullah saw mengutus kepada Utsman bin Affan agar ia datang menghadap. Ketika ia datang, Rasulullah saw pun menyambut kedatangannya. Setelah kami melihat Rasulullah saw menyambutnya maka salah seorang kamipun menyambut kedatangan yang lain dan ucapan terakhir yang diucapkan Rasulullah saw sambil menepuk pundaknya, ‘Wahai Utsman mudah mudahan Allah akan memakaikan untukmu sebuah pakaian dan jika orang-orang munafik ingin melepaskan pakaian tersebut maka jangan engkau lepaskan hingga engkau menemuiku (meninggal).”[12]
g. Berita tentang terjadinya fitnah yang menyebabkan terbunuhnya Utsman dan beliau berada di atas kebenaran
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw pernah menceritakan tentang fitnah dan beliau bersabda, “Orang yang menyelimuti mukanya ini, akan terbunuh secara zalim pada waktu itu.” Lalu aku melihat orang tersebut, ternyata ia adalah Utsman bin Affan”[13]
Dalam riwayat lain, Imam Ahmad mencatat dari Abu Habibah bahwa ia pernah menceritakan bahwa ia masuk ke dalam rumah dan Utsman sedang terkepung di dalamnya. Beliau mendengar Abu Hurairah yang meminta izin untuk bicara maka beliau mengizinkannya. Ia berdiri seraya memuji Allah swt lantas berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya engkau akan menemui fitnah dan perselisihan setelahku nanti -atau beliau berkata perselisihan dan fitnah- salah seorang bertanya, “Siapa yang harus kami ikuti wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab, “Ikutilah al-Amin ini dan para sahabatnya.” Sambil menunjuk kepada Utsman.”[14]
Dalam riwayat lain dari Murrah al-Bahzi ia berkata, “Saat kami bersama Rasulullah saw di sebuah jalan yang ada di Madinah, beliau bersabda, “Apa yang akan kalian lakukan jika fitnah menerjang seluruh penjuru bumi bagaikan tanduk sapi?” Mereka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan wahai Rasululah?” Beliau menjawab, “Ikutilah orang ini dan sahabat-sahabatnya.” Akupun mempercepat jalanku agar jelas bagiku hingga aku mendekati lelaki tersebut lalu kukatakan, “Apakah dia yang engkau maksud wahai Rasulullah saw?” Rasulullah saw menjawab, “Ya dia.” Ternyata lelaki itu adalah Utsman bin Affan. Rasulullah saw berkata lagi, “Ya dia dan sahabat sahabatnya.”[15]
h. Rasa Takut Utsman bin Affan kepada Allah
Utsman bin Affan memiliki seorang budak. Suatu saat ia berkata kepadanya, “Sunggur aku pernah menjewer telingamu maka balaslah aku.” Lantas budak tadi memegang telinganya. Utsman bin Affan berkata, “Lebih keras lagi! Alangkah baiknya qisas di dunia tanpa harus menerima qisas di akhirat.”
Diriwayatkan darinya bahwa ia berkata, “Sekiranya aku berada di antara surga dan neraka, sementara aku tidak tahu ke mana aku akan dibawa, pastilah aku lebih memilih menjadi abu sebelum aku tahu ke mana aku menuju.”[16]
Utman bin Affan dilantik sebagai Khalifah
Umar bin Khaththab menetapkan perkara pengangkatan khalifah setelahnya di bawah majlis syura yang beranggotakan enam orang, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin ‘Auf. Umar bin Khaththab merasa berat untuk menunjuk salah seorang di antara mereka. Umar bin Khaththab tidak mengangkat Sa’id bin Zaid sebagai ahli syura lantaran ia adalah anak paman beliau. Umar bin Khaththab khawatir Sa’id bin Zaid akan diangkat menggantikan posisinya karena kekerabatannya dan karena ia juga termasuk sepuluh orang yang diberitakan masuk surga. Umar bin Khaththab lalu berwasiat kepada Shuhaib bin Sinan Ar-Rumi untuk mengimami shalat selama tiga hari sampai musyawarah itu tuntas dan majelis syura mempunyai kesepakatan atas hal tersebut.[17]
Mereka yang ditunjuk sebagai majlis syura lantas bermusyawarah membicarakan tentang urusan pengganti khalifah hingga akhirnya hanya terpilih tiga kandidat saja, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Abdurrahman bin ‘Auf. Zubair bin ‘Awwam menyerahkan hak pencalonannya kepada Ali bin Abi Thalib. Sa’ad menyerahkan haknya pada Abdurrahman bin ‘Auf. Sedangkan Thalhah menyerahkannya kepada Utsman bin Affan. Abdurrahman bin ‘Auf kemudian mengundurkan diri dari pencalonan, dan sebagai satu-satunya yang menentukan salah satu dari keduanya.[18]
Setelah beberapa hari lamanya Abdurrahman bin ‘Auf berkonsultasi dengan para sahabat senior yang masih tersisa serta meminta pendapat mereka, dan juga kepada sejumlah penduduk Madinah perihal pengganti Umar bin Khaththab sebagai khalifah, akhirnya Abdurrahman bin ‘Auf pun mengumumkan hal itu pada suatu Shubuh. Pada Shubuh itulah, ia mengumumkan bahwa Utsman bin Affan lah yang ditunjuk sebagai pengganti Umar bin Khaththab, dan hal itu merupakan hasil konsultasi dan jejak pendapat yang ia lakukan dengan penduduk Madinah. Pada saat itu juga, Utsman bin Affan pun dibaiat secara terbatas sebagai khalifah.[19]
Pembaitan Utsman bin Affan dilakukan pada hari Senin, tepatnya pada malam terakhir bulan Dzulhijjah 23 H. Ia mulai resmi menjabat sebagai khalifah pada bulan Muharram 24 H. Utsman bin ‘Affan memangku jabatan khalifah pada usia 70 tahun.[20]
Manakala Utsman bin Affan telah dibaiat, ia keluar menemui orang banyak dan menyampaikan pidato. Awalnya ia gemetar, kemudian setelah mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah, ia berkata, “Wahai sekalian manusia! Situasi pertama itu selalu sulit, dan setelah hari ini masih ada hari-hari yang lain. Jika saya masih berumur, kalian akan mendengar pidato yang lebih baik. Kami memang bukan di antara orang yang pandai berorasi, namun Allah akan mengajari kami.”[21]
Pada riwayat lain disebutkan bahwa di antara isi pidato Utsman yaitu,
“Sesungguhnya kalian hidup dalam keadaan aman di sisa-sisa usia, songsonglah ajal kalian dengan amal baik yang kalian mampu lakukan. Sungguh kalian pasti akan dijemput ajal, baik di pagi hari atau sore hari. Ketahuilah dunia ini diliputi tipuan maka jangan kalian terperdaya oleh kehidupan dunia dan jangan sampai setan menipu kalian dari menaati Allah. Petiklah pelajaran dari orang-orang yang telah lalu, kemudian bersungguh-sungguhlah dan jangan lengah karena sekejap pun setan tidak akan lengah dari kalian. Di manakah hamba-hamba dunia yang lebih mementingkan, memakmurkan, dan diberi kesenangan yang panjang di dunia? Bukankah dunia telah ‘menuntahkan’ mereka? Campakkanlah dunia di mana Allah mencampakkannya, dan burulah akhirat. Sesungguhnya Allah telah membuat perumpamaan dunia dan yang lebih baik dari dunia itu sendiri. Dia berfirman, ‘Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. Al-Kahfi: 45-46)”[22]
KEBIJAKAN LUAR NEGERI UTSMAN BIN AFFAN
Sejak memeluk Islam, Utsman bin Affan senantiasa terlibat bersama Nabi saw. Beliau hanya berpisah dengan beliau ketika diizinkan oleh Nabi saw hijrah ke Habasyah, atau lantaran suatu tugas yang hanya bisa dilaksanakan oleh Utsman bin Affan. Keterlibatan Utsman bin Affan bersama Nabi saw tidak jauh berbeda dengan keterlibatan para Khulafa’ Rasyidin lainnya. Ini merupakan di antara keistimewaan para Khulafa’ Rasyidin dan penunjukan mereka sebagai khalifah setelah yang lainnya meninggal, tanpa ada usaha untuk menentukan siapa yang paling utama atau yang paling berhak sebagai khalifah.[23]
Setelah Nabi saw wafat, para sahabat sepakat untuk menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah. Abu Bakar adalah orang yang berhasil mengajak Utsman bin Affan untuk memeluk Islam. Keduanya sudah lama berteman sebelum keislaman mereka, selain juga keduanya banyak memiliki kesamaan karakter dan akhlak. Untuk itu, tidaklah mengherankan setelah lamanya pertemanan keduanya, Utsman termasuk salah seorang yang paling dekat dengan khalifah baru, Umar bin Khaththab dalam hal: pekerjaan, politik, dan apa saja yang disukai olehnya.[24] Pada era khilafah Abu Bakr, orang terdekat dengannya setelah Umar bin Khaththab adalah Utsman bin ‘Affan. Saat menjelang akhir kehidupannya, Abu Bakr mendiktekan wasiat menyebutkan nama siapa yang akan menggantikannya ketika meninggal dunia kelak. Orang yang mencatat tersebut adalah utsman bin Affan.[25]
Tatkala Umar bin Khaththab memegang tampuk khilafah, ia tidak memiliki sahabat dekat sebagaimana kedekatannya dengan Abu Bakr. Oleh itu, orang yang terdekat dengan Umar bin Khaththab adalah siapa saja di antara sahabat yang paling dekat dengan ide, dan tugas-tugasnya. Utsman bin Affah adalah di antara sahabat yang ikut terlibat pada masa Umar bin Khaththab. Umar pun meminta Utsman bin Affan sebagai teman musyawarahnya. Ia juga diminta oleh Umar bin Khaththab untuk mendata penduduk Madinah dan menentukan berapa besar santunan yang akan diberikan kepada mereka.
Jika diperhatikan, masa pendidikan politik yang dijalani Utsman bin Affan lebih panjang dibanding Abu Bakr dan Umar bin Khaththab. Bagaimana tidak, Utsman bin Affan telah belajar di sekolah politik bersama Nabi saw selama kurang lebih 23 tahun; dua tahun lebih bersama Abu Bakr; dan sekitar 10 tahun bersama Umar bin Khaththab. Bahkan lebih panjang dari pendidikan politik yang diterima Ali bin Abi Thalib, karena pada saat dimulainya masa kenabian Ali bin Abi Thalib masih kecil, sementara Utsman bin ‘Affan telah tumbuh dewasa dan termasuk menjadi salah seorang tokoh terpandang di Mekah.
Oleh karena itu, kebijakan politik luar negeri yang diambil Utsman bin Affan pun tidak berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, yaitu terus mendakwahkan Islam seluas-luasnya, dan jika terjadi penolakan maka dengan jihad fi sabilillah.
Politik luar negeri terhadap bangsa Persia
1. Perang Panjang dengan Persia dan Pembebasan Khurasan
Saat menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar, umat Islam telah berhasil membebaskan sebagian besar negeri Persia, akan tetapi raja mereka, Yazdigird, masih hidup; belum berhasil ditawan dan lumpuhkan. Yazdigird terus berupaya untuk mengembalikan wilayah-wilayah Persia yang berhasil dibebaskan umat Islam, serta memprovakasi penduduk di wilayah tersebut untuk melakukan perlawan terhadap pasukan Islam.[26]
Bangsa Persia akhirnya berhasil membangkitkan perlawanan dan mengkhianati janji mereka terhadap umat Islam yang diwakili panglima Ubaidillah bin Ma’mar. Mereka pun bertemu di Estakh dan pertempuran pun tak terelakkan. Pada pertempuran tersebut pasukan Islam menderita kekalahan dan Ubaidillah bin Ma’mar pun syahid terbunuh.
Pada saat itu Utsman telah mengangkat Abdullah bin Amir sebagai gubernur Bashrah. Ketika berita itu sampai ke telinganya, Abdullah bin Amir pun segera memobilisasi pasukan Islam di Bashrah untuk berangkat menuju Estakhr. Pertempuran antara kedua belah pihak pun kembali terjadi. Adapun formasi pasukan Islam saat itu adalah: pasukan sayap kanan dipimpin Abu Barzah al-Aslami, sayap kiri dipimpin Ma’qal bin Yasar, dan pasukan kavaleri berkuda dipimpin oleh ‘Imran bin al-Hushain. Ketiga-tiganya merupakan sahabat Nabi saw. Pasukan Persia kalah pada pertempuran tersebut, dan banyak sekali di antara pasukan mereka terbunuh. Dengan demikian, bangsa Persia kembali terjerumus kembali pada kehinaan akibat perlawanan mereka dan pengkhianatan mereka terhadap umat Islam.
Dahulu Utsman bin Affan pernah mengangkat Al-Walid bin ‘Uqbah sebagai gubernur Kufah menggantikan Sa’ad bin Abi Waqqash. Al-Walid kemudian diberhentikan oleh Utsman bin Affan dan mengangkat Sa’id bin Al-‘Ash sebagai penggantinya. Al-Walid diadukan oleh penduduk Kufah dan dituduh meminum khamar. Utsman bin Affan pun akhirnya memecatnya—meski ia adalah karabatnya—dan menjatuhkan had atasnya. Inilah politik Utsman bin Affan demi meredam timbulnya penyebab-penyebab fitnah agar tidak meluas.
Sa’id bin Al-‘Ash lalu menyerang Tabaristan yang masih dikuasai Persia dari wilayahnya, Kufah. Sebelumnya, Tabaristan belum pernah diserang oleh seorang pun. Di antara yang ikut dalam perang tersebut adalah Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Zubair, dan beberapa sahabat Nabi saw lainnya. Mereka terus melakukan perjalanan hingga tiba di Qumis yang penduduknya mengadakan perdamaian dengan pasukan Islam. Dari sana, mulailah pasukan Islam menyerang Tabaristan hingga mereka berhasil menguasainya. Kemudian diikuti dengan penduduk Jurjan yang mengadakan perdamaian.
Abdullah bin Amir juga kembali menyerang Khurasan setelah penduduknya melanggar perjanjian dan sesudah bangsa Persia berhasil ia kalahkan. Terkait dengan Khurasan ada beberapa hadits Nabi saw yang mengisyaratkan wilayah tersebut. Bahkan hadits itu menyebutkan peran wilayah Khurasan pada salah satu episode akhir zaman kelak. Hadits tersebut berbunyi, “Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putera khalifah. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lantas mereka membunuh kamu dengan suatu pembunuhan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu.”Kemudian beliau saw menyebutkan sesuatu yang aku tidak hafal, lalu bersabda: “Maka jika kamu melihatnya, berbai’atlah walaupun dengan merangkak di alas salju, karena dia adalah khalifah Allah Al-Mahdi.“[27]
Meski hadits yang menjelaskan secara definitif bahwa yang dimaksud wilayah timur tersebut adalah Khurasan merupakan hadits yang dhaif (lemah)[28], namun beberapa di antara ulama menyebutkan bahwa daerah timur yang dimaksud dalam hadits itu besar kemungkinan adalah wilayah Khurasan. Akan tetapi yang pasti bahwa Khurasan memang berada di bagian timur semenanjung Arab.
Akhirnya, ia pun untuk kedua kalinya berhasil menguasai Khurasan. Ia juga meneruskan membebaskan negeri-negeri Persia yang lain sehingga ia pun berhasil membebaskan wilayah-wilayah yang belum pernah dibebaskan sebelumnya. Bahkan ia telah sampai di Khawarizm yang terletak dekat sungai Jihun (Amu Darya). Salah satu pasukan Islam yang tiba di sana adalah pasukan yang dipimpin oleh Al-Ahnaf bin Qais. Ia sebenarnya ingin menguasai wilayah tersebut namun tidak mampu terlaksana karena pasukan utamanya telah sangat jauh berada dari wilayah tersebut.
Pada masa gubernur Abdullah bin Amir lah banyak wilayah-wilayah di Khurasan berhasil dikontrol oleh pasukan Islam. Baik lantaran penduduknya berhasil ditundukkan, atau lantaran penduduknya yang meminta perdamaian. Abdullah bin Amir mengangkat Majasyi’ bin Mas’ud as-Sulami atas wilayah Kirman, setelah banyak di antara Kirman yang melarikan diri dengan melewati jalur laut. Pasukan Islam lalu memanfaatkan rumah dan lahan yang mereka tinggalkan. Mereka lalu memakmurkannya, menggali tanahnya untuk irigasi, dan mengeluarkan ‘usyurnya ke Baitul Mal.
Abdullah bin Amir juga menunjuk Ar-Rabi’ bin Ziyad Al-Haritsi atas wilayah Sijistan yang kemudian berhasil menguasai wilayah-wilayah di sekitarnya yang lain. Bahkan pada masa penggantinya, Abdurrahman bin Samurah bin Habib bin Abdu Syams, ia berhasil membebaskan daerah di antara Zaranj dan Kisy, India. Ia juga berhasil menguasai Kabul dan Zabulistan yang merupakan bagian dari wilayah Ghaznah.[29]
2. Terbunuhnya Yazdigird dan berakhirnya kekaisaran Persia
Yazdigird bin Syahrayan bin Kisra merupakan Kaisar terakhir Persia. Tatkala pasukan Islam mulai menekannya pada era khalifah Umar bin Khaththab, Yazdigird menulis surat kepada Khaqan Turki dan Raja Cina untuk membantunya melawan umat Islam. Akan tetapi utusan yang membawa surat itu terlambat menyampaikannya, bahkan tatkala kembali tidak ada tanggapan apa pun yang mereka dapatkan. Ini menyebabkan Yazdigird terpaksa mendatangi sendiri Khaqan Turki di negerinya dan memintanya secara langsung untuk membantunya.Padahal sebelumnyan antara bangsa Turki dan Persia sering terjadi permusuhan. Khaqan Turki lantas memberinya bantuan dengan pasukan dari negerinya. Berangkatlah pasukan dalam jumlah yang besar yang terdiri bangsa Turki dan Persia menuju Khurasan. Mereka bertemu dengan pasukan Islam di daerah Balkh. Ini kemudian memaksa pasukan Islam mundur ke Murrurrudz, yang di sana telah ada Al-Ahnaf bin Qais beserta pasukannya.Akhirnya ia pun terpaksa mundur ke suatu daerah pinggiran sungai Murrurudz. Dengan menjadikan perbukitan di belakangnya, maka sungai tersebut seolah-olah parit lebar yang memisahkan antara ia dan pasukan Turki dan Persia yang berjumlah besar.
Al-Ahnaf bin Qais lantas menyebarkan kepada pasukan Turki bahwa pasukan Islam tidak menargetkan mereka, akan tetapi menargetkan Persia saja. Dengan taktik tersebut, bangsa Turki akhirnya merasa aman kembali ke negerinya dengan meninggalkan Yazdigird bersama pasukannya.
Sebelumnya Yazdigird berangkat bersama pasukan persia ke Murrusysyahijan dan mengepung Haritsah bin an-Nu’man dan pasukannnya. Yazdigird lantas mengeluarkan harta perbendaharaannya dari tempat-tempat persembunyiannya yang terdiri dari permata kekaisaran dan seluruh apa yang dapat ia kumpulkan dari gudang hartanya saat melarikan diri dari pasukan Islam. Tatkala ia mengetahui bahwa Khaqan Turki mundur kembali ke negerinya, maka ia pun berkeinginan untuk menyusul dengan membawa seluruh harta tersebut. Tetapi para pemuka kaumnya tidak setuju atas sikapnya dan mengusulkan agar tetap di wilayah persia dan mengadakan perdamaian dengan pasukan Islam. Usul tersebut ditolak oleh Yazdigird.[30]
Ibnu Ishaq menuturkan bahwa tatkala Yazdigird lari dari Kirman dengan rombongan kecil ke Marwi, ia lalu meminta harta kepada para pemimpin Marwi namun mereka menolak memberinya. Mereka mengkhawatirkan keselamatan diri mereka. Karenanya, ia mengirim utusan kepada orang Turki meminta bantuan untuk menghadapi Yazdigird. Orang Turki datang. Mereka menyergap Yazdigird pada malam hari dan membunuh para pengawalnya. Yazdigird sendiri berhasil melarikan diri hingga singgah di rumah seorang lelaki yang memahat batu gerinda di pinggir sungai Mirghab (sebuah sungai di Marwi). Ia singgah di rumah orang itu pada malam hari. Ketika Yazdigir tertidur, pemahat itu pun membunuhnya. Yazdigir terbunuh pada tahun 31 H (601 M). Ia adalah kaisar terkahir Persia. Dengan terbunuhnya Yazdigird berakhir pulalah kerajaan Persia.[31]
Politik luar negeri terhadap bangsa Romawi
a. Bangsa Romawi Terus-Menerus Menabuh Peperangan
Saat Utsman bin Affan menjabat khalifah, wilayah Syam dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan sementara Mesir dipimpin oleh Amr bin al-Ash. Bangsa Romawi kembali memulai genderang pertempuran dan melakukan korespondensi dengan bangsa mereka yang ada di Iskandariyah agar membatalkan perjanjian damai mereka dengan pemerintahan Islam.Mereka pun menyambut seruan itu sehingga menyebabkan bangsa Romawi mengirim pasukan dari Konstantinopel di bawah pimpinan Manuel. Amr bin al-‘Ash lantas menyonsong pasukan Romawi tersebut dan terjadilah pertempuran antara keduanya. Hasilnya, pasukan Islam berhasil mengalahkan pasukan Romawi, bahkan panglima mereka juga ikut gugur.Sebelum itu, pasukan Romawi telah melakukan penjarahan terhadap harta penduduk yang ada di sekitar Iskandariyah; baik mereka yang mendukung mereka maupun yang menyelisihinya.Saat pasukan Islam berhasil mengalahkan Romawi, para penduduk desa di sekitar Iskandariyah mengadukan perihal tersebut.Pada akhirnya, pasukan Islam mengembalikan harta-harta tersebut kepada mereka setelah adanya bukti yang menunjukkan hal itu.[32]
b. Memerangi Romawi di Lautan
Dari wilayah Syam, suatu ketika, datanglah surat Muawiyah bin Abi Sufyan yang meminta dizinkan untuk membangun armada laut guna menghadapi para pelaut Romawi. Permintaan itu pun dikabulkan Utsman bin Affan. Sejak itu, terjadilah pertempuran armada laut pertama umat Islam. Di antara sahabat yang ikut dalam pertempuran tersebut yaitu: Abu Dzar, Ubadah bin Shamit, Abu Darda’, Syaddad bin Aus. Pada pertempuran pertama itu, armada laut Islam berhasil mengalahkan musuhnya, sehingga memaksa mereka untuk mengadakan perjanjian damai dengan syarat menyerahkan sebanyak 7000 dinar setiap tahunnya kepada Daulah Islam.
Setelah memenangkan pertempuran laut perdana tersebut, Muawiyah pun melanjutkan pertempuran lautnya pada perang Shawari.Pertempuran ini terjadi setelah pasukan Islam berhasil membebaskan beberapa wilayah di Afrika Utara sehingga menyebabkan Konstantin, putra Heraklius, raja Romawi mengerahkan pasukannya yang sangat besar yang belum terjadi sebelumnya. Pasukannya diangkut oleh 500 kapal atau 600 kapal. Merespon hal itu, berangkatlah Muawiyah bin Abi Sufyan dari Syam dan Abdullah bin Sa’ad dari Mesir beserta kapal-kapalnya masing-masing. Pada perang itu, armada laut Islam berhasil memenangkan pertempuran dan banyak di antara pasukan Islam yang menemui syahid, sementara di pihak Romawi jumlah yang terbunuh sangat banyak sekali.[33]
Politik luar negeri terhadap bangsa Turki
1. Bangsa Turki Mulai Memusuhi Islam
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tatkala Yazdigird berusaha mengembalikan kerajaannya, ia meminta bantuan kepada Khaqan Turki dan dipenuhi olehnya. Sebelumnya pasukan Islam belum bermusuhan dengan bangsa Turki karena memang mereka sebelumnya tidak memusuhi Islam. Dengan keikutsertaan Turki bersama Yazdigird memerangi Islam, sejak saat itulah terlintas pikiran untuk memerangi Turki. Ini karena Islam tidak memerangi kecuali orang yang memeranginya.
Perang antara Islam dan Persia telah berlangsung sengit. Namun sejak pertempuran itu terjadi, bangsa Turki tidak pernah membantu Persia untuk melawan Islam. Jika mereka berpikir bahwa setelah Persia ditundukkan maka selanjutnya giliran mereka lah yang akan ditundukkan, itu bukanlah alasan yang dibenarkan. Seharusnya bangsa Turki tetap pada sikapnya dan tidak membantu Persia melawan Islam. Mereka seharusnya mencari tahu siapakah sebenarnya yang memulai permusuhan di antara keduanya. Seharusnya mereka tidak perlu mengkhawatirkan akan diserang, karena Islam akan membalas kebaikan dengan kebaikan dan membalas permusuhan dengan permusuhan.[34]
2. Pasukan Islam Memerangi Turki
Sekelompok besar bangsa Turki, berjumlah 40.000, berangkat menuju Khurasan, yang dipimpin salah seorang raja mereka. Ia sampai di Tabasain. Turut bergabung bersama pasukannya para penduduk Badghis, Herat dan Qahastan. Pada waktu itu, Khurasan di bawah kendali Qais bin Haitsam al-Sulami yang ditunjuk Ibnu Amir menggantikan dirinya sementara ia pergi ke Mekah untuk melaksanakan haji dan umrah. Ibnu Amir terus meneruskan perjalanannya bersama putra pamannya, Abdullah bin Khazim.[35]
Abdullah bin Khazim berkata kepadanya, “Tetapkan kekuasaan Khurasan untukku apabila Qais meninggalkan wilayah ini.” Lantas Ibnu Amir pun menyetujuinya.
Ketika Qais meninggalkan Khurasan maka Abdullah bin Khazim pun otomatis menggantikannya. Ia bergerak menyambut pasukan Turk bersama 4000 tentara dan memerintahkan para prajurit membawa wadak (minyak yang diambil dari daging dan lemak). Saat sudah mendekati kamp pasukan Turki, Ibnu Khazim menginstruksikan pasukannya agar mengikatkan kain atau kapas di setiap mata tombak dan melumurinya dengan minyak. Selanjutnya ia berjalan hingga sore hari. Ia memerintahkah 6000 pasukannya berjalan mendahuluinya. Kemudian ia menyusul dan memerintahkan pasukan menyalakan api di ujung tombak.
Pasukan perintisnya tiba di kamp pasukan Turki saat tengah malam dan langsung melancarkan serangan. Pasukan Turki pun dibuat kalang kabut dan terkejut. Mereka tak menduga akan diserang malam hari. Ibnu Khazim lalu mendekat ke arah mereka. Pasukan Turki melihat api di kanan dan kiri mereka bergerak maju, mundur, naik, dan turun. Pemandangan ini membuat mereka terperanjat sementara pasukan perintis Ibnu Khazim terus mendesak mereka. Ibnu Khazim pun menyerbu mereka. Banyak pasukan Turki yang tewas di tangan pasukan Islam, bahkan raja mereka turut terbunuh.
Pasukan Turki kocar-kacir. Mereka terus dikejar pasukan Islam yang dengan bebas melumpuhkan dan menawan mereka. Ibnu Khazim mengirimkan berita kemenangan ini kepada Ibnu Amir. Ibnu Amir meresa puas dan menetapkannya sebagai gubernur Khurasan. Perang antara pasukan Islam dan Turki terus terjadi hingga wafatnya Utsman bin Affan.[36]
Utsman bin Affan Syahid
Kufah adalah sumber pemberontakan utama dalam kekhilafahan Utsman bin Affan. Banyak penduduk yang mengeluhkan pejabat-pejabat dan para petinggi kota itu. Mereka marah kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, dan menuduh Walid bin Uqbah meminum khamar. Kemudian Utsman bin Affan pun mengangkat Sa’id al-‘Ash. Setelah menjabat gubernur di sana, Sa’id bin al-‘Ash lantas mencari penyebab pemberontakan tersebut. Tatkala sudah mengetahui hal sebenarnya, ia pun menulis laporan kepada Utsman bin Affan. Dalam surat itu ia mengatakan.
“Keadaan penduduk Kufah sudah kacau balau, dan sudah pula memengaruhi orang-orang terpandang dan terkemuka.Kebanyakan penduduknya terdiri dari para pendatang baru, disusul oleh orang-orang Arab pedalaman, sehingga tidak lagi mereka melihat orang terpandang atau pejuang.”[37]
Faktor lain tersebarnya fitnah adalah adanya tokoh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi San’a di Yaman yang pada masa Utsman bin Affan kemudian masuk Islam. Abdullah bin Saba’ berusaha membangkitkan kebencian dalam hati orang di kota-kota. Ia berkunjung ke sejumlah kota dalam kawasan Islam untuk berusaha membangkitkan kemarahan kepada Utsman bin Affan.Ia datang ke Bashrah lalu dikeluarkan oleh Abdullah bin Amir setelah mengetahui kedatangannyan. Kemudian ia pergi ke Kufah yang kemudian juga diusir. Lantas ia menuju Syam, tetapi Mu’awiyah tak lama kemudian juga mengusirnya.
Akhirnya ia berpindah ke Mesir dan dari sini ia mulai menyebarkan propagandanya dan mengirimkan orang kepada pengikutnya yang ada di Bashrah dan Kufah. Dalam propagandanya itu ia mengatakan bahwa setiap nabi mempunyai seorang penerima wasiat, dan Ali adalah penerima wasiat dari Nabi Muhammad dan penutup para penerima wasiat, sebagaimana Nabi Muhammad yang juga penutup para nabi.[38]
Delegasi Mesir ke Madinah
Kota-kota lain juga mengikuti jejak Kufah dalam menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan Utsman dan para pejabatnya. Pada Rajab tahun 35 H, sebuah delegasi besar dari orang-orang Arab di Mesir datang ke Madinah untuk menyampaikan aduan mereka.Mereka sudah menyurati pengikut-pengikut mereka agar datang ke Madinah. Utsman menunjuk dua orang pembantunya untuk menemui delegasi tersesbut, seorang dari Bani Makhzum dan seorangnya lagi dari Bani Zuhrah. Setelah menemui mereka, keduanya lalu melapor kepada Utsman bin Affan dan menyampaikan apa yang keduanya dengar dari rombongan itu. Utsman bin Affan pun lalu menjawab dan mendudukan aduan mereka satu persatu di masjid setelah dilaksanakannya salah satu shalat fardhu. Akhrinya para delegasi itu pun kembali ke tempat mereka masing-masing.[39]
Surat misterius
Tidak lama kemudian, para delegasi tersebut pun kembali. Penduduk Madinah tiba-tiba dikejutkan oleh mereka yang datang sambil bertakbir ke suluruh penjuru kota. Mereka kemudian mengepung rumah Utsman bin Affan. Ali bin Abi Thalib, Thalhah, dan Zubair lantas menanyakan alasan para delegasi tersebut kembali ke Madinah. Para delegasi Mesir itu lalu menjawab bahwa mereka telah menemukan surat yang dibawa seorang kurir yang menyebutkan bahwa mereka akan dibunuh.[40]
Tentang surat itu, Ath-Thabari menulis, “Orang-orang Mesir itu kembali kepada Utsman setelah mereka pergi. Mereka mendapati seorang pesuruh Utsman dengan unta miliknya membawah surat kepada penguasa Mesir supaya ia membunuh sebagian mereka dan yang sebagian lagi disalib. Setelah mendatangi Utsman mereka berseru, ‘Ini pesuruh Anda?’ Utsman menjawab, ‘Pesuruh saya pergi tanpa sepengetahun saya.’ Mereka kembali bertanya, ‘Bagaimana dengan unta Anda?’. Utsman menjawab, ‘Diambil dari rumah saya tanpa izin dari saya.’ ‘Lalu bagaimana dengan cincin Anda?’ kejar mereka lagi. ‘Dipalsuskan oleh orang lain’ jawab Utsman kembali.” Kendati dikepung, Utsman bin Affan masih tetap pergi ke masjid dan mengimami shalat seperti biasa. Hingga sampai sekitar 20 atau 30 hari setelah pengepungan akhirnya mereka pun melarang Utsman bin Affan menunaikan dan mengimami shalat berjamaah. Tidak hanya itu, mereka juga menghalangi tersuplainya air ke rumah Utsman bin Affan.[41]
Pada saat puncaknya pengepungan yang menyebabkan kesyahidan Utsman bin Affan, banyak para sahabat dengan sukarela melindungi Utsman bin Affan dengan berjaga di luar rumahnya. Mereka di antaranya yaitu, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair, Muhammad bin Thalhah, Sa’id bin al-‘Ash dan Marwan, serta beberapa sahabat lainnya. Namun Utsman bin Affan menolak bantuan tersebut. Akhirnya, pada pagi Jum’at 18 Dzulhijjah 35 H (Juni 656 M), dalam usia 82 tahun Utsman bin Affan terbunuh menemui syahid[42] saat ia tengah membaca al-Qur’an. Orang yang membunuhnya adalah Sudan bin Humran. Ada yang berpendapat pembunuhnya adalah Kinanah bin Bisy bin Atab.[43]
Kesimpulan
Pada masanya, wilayah Daulah Islam telah terbentang dari barat ke timur; dari Iskandariyah (Mesir) hingga ke Khurasan. Lalu dari Yaman di sebelah selatan sampai Syam di bagian utara. Wilayah timur—yang Khurasan termasuk di dalamnya—di akhir zaman akan memainkan peran penting dalam politik umat Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi saw. Setelah Khurasan terbebas dari Persia beserta agama dan budayanya kemudian beralih ke pangkuan Islam, tercacat bahwa sejak saat itu, tidak ada satu pun kekuatan yang mampu mengubah keyakinan penduduknya terhadap Islam. Bahkan pada era modern ini, Afghanistan—yang merupakan bagian dari wilayah Khurasan, mampu mengimbangi kekuatan Uni Soviet dan Amerika di sana. Lebih mengejutkan lagi bahwa Afghanistan berhasil memukul mundur Uni Soviet dan mampu menahan Amerika; tidak meraih kemenangannya di sana.
Utsman bin Affan mengambil langkah yang tegas lagi konkrit dalam politik luar negerinya. Ia tundukkan dua super power dari wilayah kekuasaan Daulah Islam, yaitu Persia dan Romawi. Bahkan pada masanya, kerajaan Persia runtuh dan tidak mampu bangkit kembali selama-lamanya setelah meninggalnya Yazdigird, raja terakhir Persia.
Ia teruskan jihad fi sabilillah dan pembebasan negeri-negeri lainnya yang berada di sekitar wilayah Daulah Islam demi mencegah musuh untuk membangun kekuatan mereka kembali. Ia bangun suatu sistem yang mapan yang mampu mengintegrasikan umat Islam untuk melindungi wilayah-wilayah yang telah dikuasai umat Islam. Bahkan pada masanya, ia bangun armada laut Islam disebabkan memang hal itu dibutuhkan untuk mengimbangi lawan di lautan.
Ini semua menunjukkan bahwa di antara kewajiban pemimpin dalam Daulah Islam adalah menegakkan persoalan agama, memberi rasa aman bagi penduduk yang berada di wilayah Daulah Islam serta menjamin kesejahteraan mereka, dan juga berjihad fi sabilillah untuk membawa kedamaian Islam.
[1] Muhammad bin Shamil as-Sulami, Tahdzib wa Tartib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Jakarta: Darul Haq, h. 319.
[2] Muhammad Ridha, Dzunnurain Utsman bin ‘Affan Tsalitsu Khulafa ar-Rasyidin, penerjemah Arif Munandar, Sukoharjo: al-Qawam, h. 25
[3] Muhammad bin Shamil as-Sulami, Tahdzib wa Tartib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, h. 319.
[4] Lihat Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, jld. 7, h. 192.
[5] Lihat Al-Musnad, jld. 1, h. 57.Hadits ini dishahihkan oleh Ahmad Syakir.
[6] Dinukil dari ‘Utsman bin ‘Affan karya Muhammad Husain Haekal, penerjemah Ali Audah, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, h. 35.
[7] Muhammad bin Shamil as-Sulami, Tahdzib wa Tartib Kitab al-Bidayah wan Nihaya, h. 321-322.
[8] Disebut ‘usrah yang berarti sulit karena pada saat itu merupakan musim panas lagi paceklik sehingga menyulitkan untuk memenuhi kebutuhan logistik pasukan dan mobilisasinya. Ini terjadi pada saat Ghazwah Tabuk.
[9]Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam al Musnad, Ahmad Syakir, 5469, berkata, “Sanad hadits ini shahih.”
[10]Al-Musnad, jld.6, h. 250.
[11] Muhammad Ridha, Dzunnurain ‘Utsman bin ‘Affan, h. 42.
[12]Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, jld. 6, h. 86, dan at-Tirmidzi dalam Manaqib Utsman bin Affan,jld. 5, h. 628 dan seraya berkata, “Hadits hasan shahih gharib.”
[13]Ahmad Syakir menshahihkan hadits itu dalam tahqiqnya untuk al-Musnad, jld.8, h. 171.
[14]Al-Musnad, jld.2, h. 345 dan seperti ini juga sanad dan matan pada Fadhail ash-Shahabah, jld.1, h. 450, 723 muhaqqiqnya berkata, “Sanad haditsnya shahih.”
[15]Al-Musnad, jld.5, h. 35, dengan sanad yang shahih.
[16] Muhammad Ridha, Dzunnurain ‘Utsman bin ‘Affan, h. 51.
[17] Muhammad bin Shamil as-Sulami, Tahdzib wa Tartib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, h. 337.
[18] Ibid.
[19] Muhammad Husain Haekal, ‘Utsman bin ‘Affan, h. 26
[20] Muhammad Ridah, Dzunnurain ‘Utsman bin ‘Affan, h. 57.
[21]Ibi. h. 58.
[22] Ibid.
[23]Lihat al-‘Aqqad, Al-‘Abqariyyatul Islamiyyah, h. 597.
[24]Ibid, h. 599.
[25]Ibid, h. 600.
[26]Abdul Muta’al ash-Sha’aidi, As-Siyasah al-Islamiyyah fi ‘Ahdil Khulafa’ ar-Rasyidin, Darul Fikr al-‘Arabi, 1962, h. 222.
[27] Lihat Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan Bab Khurujil Mahdi. Jld.2, hal. 1467. Al-Hakim menyebutkan bahwa hadits ini shahih berdasarkan standar Al-Bukhari dan Muslim, yang juga disepakati oleh Adz-Dzahabi. Ibnu Katsir mencatat bahwa sanadnya kuat lagi shahih. Sementara Al-Albani berkomentar bahwa hadits ini maknanya shahih kecuali lafal ‘karena dia adalah khalifah Allah Al-Mahdi.’
[28] Hadits tersebut di antaranya yaitu hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya (jld. 14, hal. 383), At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no hadits. 2269), serta At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Ausath (jld. 4, hal. 31). At-Tirmidzi menyatakan hadits ini gharib. Sementara Al-Albani memasukkan hadits ini dalam kategori hadits dhaif (lemah).
[29] Ibid, h. 222-224.
[30] Ibid, h. 225-226.
[31]Dinukil dari Muhammad Ridha, Dzunnurain ‘Utsman bin ‘Affan, h. 135-136.
[32]Abdul Muta’al ash-Sha’aidi, As-Siyasah al-Islamiyyah fi ‘Ahdil Khulafa’ ar-Rasyidin, h. 234.
[33] Ibid, h. 235-236.
[34]Ibid, h. 229.
[35] Muhammad Ridha, Muhammad Ridha, Dzunnurain ‘Utsman bin ‘Affan, h. 153.
[36] Ibid, h. 154-155.
[37] Muhammad Husain Haekal, ‘Utsman bin ‘Affan, h. 130.
[38]Ibid, h. 131.
[39] Ibid, h. 134-136. Lihat juga Muhammad bin Shamil as-Sulami, Tahdzib wa Tartib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, h. 378-380.
[40] Muhammad Husain Haekal, ‘Utsman bin ‘Affan, h. 137-138.
[41]Ibid, h. 139.
[42] Menurut Ash-Shalabi, ini merupakan pendapat yang paling kuat terkait tanggal Utsman bin Affan meninggal, lihat Taisirul Karimil Mannan fi Sirati Utsman bin ‘Affan, h. 398-399.
[43]Muhammad Ridha, Utsman bin Affan, h. 281-284.
Ali Sadikin, Laporan Lembaga Kajian Syamina, 20 September 2016
(azm/arrahmah.com)