GAZA (Arrahmah.id) – Ketua Hamas di luar Palestina, Khaled Meshaal, menegaskan bahwa “Israel” melanjutkan perang dan menghentikan negosiasi bukan sekadar untuk menekan Hamas dalam pertukaran tahanan, melainkan demi memulihkan citra dan membalas peristiwa 7 Oktober.
“Ini adalah bagian dari agenda Zionis yang lebih luas, serta upaya Amerika Serikat untuk memastikan dominasi penjajah di kawasan,” ujarnya dalam seminar daring yang diselenggarakan oleh Koalisi Global untuk Pembelaan Al-Quds dan Palestina pada Kamis, 20 Maret 2025. Acara ini diikuti oleh sekitar 400 peserta dari berbagai negara, membahas negosiasi gencatan senjata di Qatar, alasan kembalinya perang di Gaza, dampaknya terhadap stabilitas regional, serta peran dunia Arab dan Islam dalam mendukung Gaza.
Pernyataan ini disampaikan dalam seminar sehari sebelum berita ini dirilis.
Meshaal mengungkapkan bahwa pada Selasa dini hari, “Israel” menargetkan sejumlah kader dan pemimpin Hamas, termasuk keluarga mereka, serta menyerang rumah-rumah para pemimpin meskipun mereka tidak berada di sana, yang menyebabkan seluruh keluarga beberapa pemimpin gugur.
Pelanggaran Kesepakatan dan Pengusiran Sistematis
Meshaal menjelaskan bahwa “Israel” sengaja menggagalkan negosiasi tahap kedua gencatan senjata sejak hari ke-16 tahap pertama, karena hanya ingin mendapatkan kembali tawanan mereka tanpa menghentikan perang.
“Mereka ingin mengubah Gaza menjadi tempat yang tidak layak huni, sebagai bagian dari proyek pengusiran massal,” katanya, seraya menegaskan bahwa Hamas tetap berkomitmen terhadap negosiasi demi rakyat Palestina dan menghentikan pertumpahan darah.
Menurut Meshaal, “Israel” hanya mematuhi kesepakatan pertukaran tahanan karena terpaksa, bukan karena memiliki etika atau nilai kemanusiaan.
“Mereka selalu mengingkari perjanjian. Mereka bahkan melanggar protokol kemanusiaan dengan mencegah masuknya truk bantuan, tenda, kontainer, peralatan medis, dan bahan bakar yang dibutuhkan untuk kehidupan di Gaza,” katanya.
Rencana Witkoff: Pemerasan dan Pengabaian
Terkait penolakan Hamas terhadap rencana utusan AS, Steve Witkoff, yang mengusulkan perpanjangan tahap pertama gencatan senjata selama 50 hari, Meshaal menyebutnya sebagai bentuk pemerasan.
“Penjajah ingin mendapatkan kembali tahanan mereka tanpa harus masuk ke tahap kedua, yang mencakup gencatan senjata permanen dan penarikan penuh dari Gaza,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa “Israel” ingin menegosiasikan masa depan Gaza, siapa yang mengelolanya, serta senjata perlawanan, setelah memastikan Hamas kehilangan kartu tekanan berupa tawanan mereka.
“Kami memahami karakter musuh ini dan telah berpengalaman dalam menghadapinya,” tegasnya.
Meshaal menekankan bahwa Hamas bersikap fleksibel namun tegas dalam negosiasi. Mereka menerima rencana Witkoff hanya jika dijadikan bagian dari tahap kedua yang menjamin penghentian perang secara permanen, masuknya bantuan, dan penarikan pasukan penjajah. Namun, “Israel” menolak.
Perang di Gaza Ancam Stabilitas Kawasan
Meshaal memperingatkan bahwa “kembalinya perang di Gaza tidak akan berhenti di wilayah itu saja, tetapi akan meluas ke seluruh kawasan, termasuk Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir, Irak, Yaman, Semenanjung Arab, Iran, dan Turki.”
Menurutnya, AS ingin memastikan dominasi “Israel” di kawasan agar tetap unggul. “Perbedaan antara AS dan penjajah hanyalah taktis, bukan strategis,” ujarnya.
Pernyataan ini menjadi perhatian besar di dunia Arab dan Islam, terutama setelah kembali meningkatnya serangan di Gaza pasca-kegagalan negosiasi tahap kedua.
(Samirmusa/arrahmah.id)