JAKARTA (Arrahmah.com) – Belum lama menjabat sebagai Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli sudah menuai kontroversi. Melalui lelang jabatan lurah yang diselenggarakan Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, pada Juli 2013 Susan yang non-muslim menduduki jabatan tertinggi di kelurahan yang mayoritas warganya muslim.
Perwakilan warga muslim Lenteng Agung (LA), Jakarta Selatan, menolak dipimpin Susan karena perbedaan agama. Mereka mendemo Lurah Susan, belakangan juga menuntut Gubernur DKI Jakarta untuk mengganti Sang Lurah. Namun, Gubernur Joko Widodo dan Wakilnya, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, bersikukuh pada keputusannya.
Menurut Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, KH Syuhada Bahri, pemerintah DKI Jakarta semestinya mengevaluasi kembali penempatan Lurah Susan di LA.
”Saya sependapat dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, agar pemerintah DKI Jakarta legowo mengevaluasi kembali penempatan Lurah Susan di LA,” katanya kepada wartawan, Senin (30/9). Dari segi apapun, menurut Ustadz Syuhada, kepemimpinan Lurah Susan di LA memang cenderung tidak pas dan karenanya bakal menimbulkan lebih banyak kemudharatan ketimbang maslahat.
Ketua Umum Dewan Dakwah mengakui, secara legal-formal Lurah Susan memang legitimated, karena memenuhi syarat dan ketentuan sehingga memenangi lelang jabatan yang diselenggarakan Pemprov DKI Jakarta. ”Kelolosan Susan tentu juga didukung oleh kapasitasnya untuk memegang jabatan lurah. Walaupun, sementara ini kapasitas yang bersangkutan masih belum kelihatan kecuali sekadar suka blusukan seperti Gubernur Jokowi,” ujar Ustadz Syuhada yang sudah ”kenyang” blusukan ke daerah terpencil di Nusantara sebagai da’i Dewan Dakwah.
Namun, Syuhada yang alumnus Institut Islam Siliwangi Bandung melanjutkan, penempatan Lurah Susan di LA melalui sistem lelang jabatan menyalahi manajemen kepemimpinan nasional yang menganut asas proporsionalitas.
Asas itu termaktub antara lain dalam UU No 28 tahun 1999 tentang Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan pada butir kelima. Asas yang sama juga dijadikan rujukan dalam UU no 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
KH Syuhada Bahri mengingatkan, asas proporsionalitas juga mencakup aspek keagamaan. Ia mencontohkan, meskipun secara eksplisit presiden Indonesia tidak dipersyaratkan beragama Islam, namun secara historis dan konvensional (kesepakatan tidak tertulis) syarat agama ini terus berlaku sampai sekarang.
Pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 13 Juli 1945, KH Wahid Hasyim mengusulkan bunyi Pasal 4 ayat 2 UUD 45: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”.
Dalam Risalah Sidang BPUPKI yang disusun kembali oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia Cetakan I edisi IV tahun 1998, usulan lengkap KH Wahid Hasyim tercatat sebagai berikut:
”Buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu diusulkan pasal 4 ayat (2) ditambah dengan kata-kata: “yang beragama Islam”. Jika Presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya.”
Menurut Dr Soekiman, “Usul-usul Wachid Hasjim ini akan memuaskan rakyat, dan pada hakikatnya tidak ada akibatnya apa-apa, maka saya setuju dengan usul-usul Wachid Hasjim.”
Namun menghadapi penolakan terhadap usulan Kyai Wahid Hasyim, Prof Husein Djajadiningrat, anggota BPUPKI yang taat menjalankan rukun Islam dan Guru Besar Hukum Islam di Sekolah Hukum Tinggi Jakarta, mengemukakan kompromi: “Dalam praktik sudah tentu, bahwa yang menjadi Presiden orang Indonesia yang beragama Islam; karena itu setuju jika pasal 4 ayat 2 dihapuskan sama sekali.”
Kompromi itulah yang akhirnya diambil Presiden Soekarno dalam sidang pleno BPUPKI 16 Juli 1945. Dengan demikian, syarat ”beragama Islam” menjadi konvensi tak tertulis dalam pemilihan calon Presiden RI.
Ustadz Syuhada menerangkan, asas proporsionalitas juga menjadi konsensus dalam pemilihan kepala daerah di daerah tertentu seperti di Bali. Ia mengungkapkan, pada pemilihan gubernur yang baru lalu, seorang kader inti partai besar di sana ditolak pencalonannya walaupun berprestasi sebagai bupati di salah satu kabupaten setempat. Faktor penting yang membuatnya tidak diterima adalah istrinya seorang muslimah dan ia sendiri suka mengenakan kopiah.
Tak hanya berlaku di Indonesia, asas proporsionalitas juga diterapkan di Amerika Serikat yang katanya kampiun demokrasi. Ustadz Syuhada yang pernah berdakwah di sejumlah Negara Eropa seperi Bosnia dan Inggris, mengungkapkan, dalam Sidang Sinode yang dihadiri 700 pendeta dari seluruh Indonesia pada awal Maret 2013, Jusuf Kalla sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia ditanya Pendeta Stefanus Marinjo, “Apakah Bapak Jusuf Kalla secara pribadi mau dipimpin oleh presiden yang non-Islam?”
Jusuf Kalla menjawab dengan mengemukakan praktik demokrasi di Amerika Serikat. Ia menyatakan, perlu 171 tahun bagi Amerika Serikat untuk menerima seorang Kristen Katolik menjadi presiden. Sebelum John F Kennedy yang Katolik itu, presiden AS haruslah seorang pemeluk Anglo-Saxon (Kristen Protestan).
Penempatan Lurah Susan juga tidak memenuhi syarat akseptabilitas bagi seorang pemimpin, ditanda dengan gelombang demo penolakan terhadapnya. ”Memang yang menyuarakan penolakan hanya ratusan orang dari 50-ribuan penduduk LA, namun diantara mereka adalah para pemimpin informal di LA,” kata da’i yang lahir di Banten pada 15 Juni 1954 ini.
Mantan Ketua Dewan Dakwah Jakarta ini menambahkan, berdasarkan laporan para penceramah dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia maupun ormas Islam lainnya, warga muslim LA memiliki komitmen atau ghirah yang tinggi terhadap agamanya. Istilahnya ”fanatik”. Mereka, ujar Syuhada Bahri yang menjadi Ketua Umum Dewan Dakwah menggantikan almarhum Hussein Umar pada 28 Mei 2007, memiliki loyalitas cukup tinggi terhadap pemimpin informal seperti Ustadz dan Ketua atau Imam Masjid setempat.
Penolakan terhadap Susan diperparah dengan kenyataan bahwa dia bukanlah warga LA. ”Bagaimana mungkin dia akan memahami dan melayani warga kelurahan yang dipimpinnya kalau tidak menyelami sendiri siang-malam di sana,” gugat Mantan Ketua Bidang Dakwah dan Diklat Dewan Dakwah ini.
Warga yang berdemo menolak Lurah Susan, menurutnya, juga sedang melaksanakan hak konstitusionalnya. Menurut Undang-undang, kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan berlandaskan pada: a. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; b. asas musyawarah dan mufakat; c. asas kepastian hukum dan keadilan; d. asas proporsionalitas; dan e. asas manfaat.
Menolak pemimpin non-muslim, adalah hak konstitusional warga muslim. Selain dijamin hukum positif seperti diuraikan di atas, yang paling esensial penolakan itu merupakan ekspresi ketaatan kepada ajaran agama yang juga dijamin Undang-undang.
”Banyak ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi yang melarang kaum muslimin menjadikan orang kafir sebagai pemimpin,” tegas Ustadz Syuhada. Misalnya Surat Ali ‘Imran ayat 28: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin/pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).”
Peringatan senada terdapat antara lain dalam: Surat An-Nisaa’: 144; Al-Maa-idah: 57; At-Taubah: 23; Al-Mujaadilah: 22; Ali ‘Imraan: 149-150; An-Nisaa’: 141.
Pembelaan Wagub DKI Jakarta Ahok, menurut Syuhada, justru semakin memberi alasan bagi penolakan terhadap Lurah Susan. Bermaksud memberi justifikasi kepada bu Lurah, Ahok mengungkapkan bahwa ternyata ayah Lurah Susan Jasmine Zulkifli adalah seorang Muslim. “Malah bapaknya Susan itu muslim loh. Saya pernah cek itu,” bebernya seperti dikutip merdeka.com (26/8/2013).
KH Syuhada Bahri menjelaskan, dalam ajaran Islam, suami adalah pemimpin rumah tangga. Dan anak-anak harus taat kepada kedua orangtuanya sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. ”Maka, jika ayah Susan muslim, seharusnya semua anak-anaknya termasuk Susan, juga beragama Islam. Jika tidak, berarti ada pembangkangan terhadap sang ayah,” beber Syuhada.
”Lalu, bagaimana mungkin warga LA dipaksa menerima kepemimpinan Lurah Susan yang justru tidak taat kepada pemimpin keluarganya sendiri?” KH Syuhada Bahri memungkasi.
(azmuttaqin/nurbowo/arrahmah.com)