JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), KH. Hasyim Muzadi menilai wacana dan desakan pembubaran Densus 88 muncul sebagai respons terhadap negara yang bertindak tidak dikriminatif kepada umat Islam Indonesia.
Menurut Pengasuh Ponpes Al Hikam Depok ini, kepada kalangan kelompok agama bergaris keras, negara selalu menggunakan cara-cara kekerasan atau militer. Sedangkan kepada kalangan liberalis atau sekuler, negara selalu bersikap lunak dan selalu menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM).
“Ekstrem kanan dihadapi dengan senjata, dan pada saat yang sama, ekstrem kiri (kelompok komunis dan Islamopobhia) dihadapi dengan sangat lunak karena berhasil mengendarai HAM,” kata Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS), dalam pernyataan tertulis hari Kamis, (07/03/2013) seperti dilansir hidayatullah.com.
Pernyataan Kiyai Hasyim ini, menanggapi desakan 27 Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI) terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.
Menurut Kiyai Hasyim, penyelenggara negara (trias politika) selama ini telah bersikap adil dalam mensikapi bahaya kedua sisi, baik ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Ia menyebut kasus tuntutan ektrem kiri tentang korban G 30 S yang bertentangan dengan fakta sejarah keselamatan NKRI.
“Padahal kedua-duanya sangat berbahaya untuk Pancasila dan NKRI,” tambahnya.
Lebih jauh, ia meminta umat Islam berhati-hati dalam masalah ini. Ia juga mendesak agar presiden RI ke depan tidak pro asing.
“Oleh karenanya kaum Muslimin di indonesia harus berhati-hati dan bersatu jangan terjebak pada tindakan kekerasan, dan presiden 2014 harus benar-benar pancasilais tidak pro asing,” tulisnya. (bilal/arrahmah.com)