JAMBI (Arrahmah.com) – Ketua Dewan Hakim Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK) V 2014 KH Said Agil Husein Al-Munawwar mengatakan bahwa radikalime bisa muncul karena salah tafsir.
“Ada pondok pesantren, mempelajari kitab yang sama, namun mendapatkan output yang berbeda, ketika salah tafsir. Hal ini bisa terjadi ketika seorang mufassir yang belum siap menafsirkan suatu ayat, namun merasa siap, maka kemungkinan besar akan salah tafsir,” jelas Kiai Agil saat ditemui kontributor Pinmas di arena MQK Jambi, Jumat (05/09), diwartakan laman kemenag.go.id.
Kiai Agil mengaku pernah melakukan penelitian dan menemukan bahwa salah tafsir bisa juga terjadi saat ada “halaqah-halaqah” yang dibuat oleh sekelompok mahasiswa, di mana dalam halaqah tersebut, tidak ada gurunya. Mereka membawa Al-Quran terjemahan, lalu masing-masing diskusi dengan kemampuan dan pemahamannya, kemudian mereka meyakini, hasil dari diskusi tersebut sebagai sebuah kebenaran yang harus diperjuangkan. Sisi lain, apa yang mereka diskusikan tersambungkan dengan pikiran-pikiran global.
“Nah, inilah bahayanya jika disaat belum siap bertafsir, tanpa seorang guru mumpuni yang membimbing, maka bisa memunculkan radikalisme, apalagi jika pikiran kita lagi kosong, sisi lain, ghiroh (semangat) kita dalam beragama sedang kuat,” terang Kiai Agil.
“Bahkan, meski ada guru yang mendampingi, radikalisme bisa juga terjadi. Karena memang, untuk menafsiri suatu ayat, perlu banyak disiplin ilmu. Menurut al-Zarkasai (w 794 M), minimal dibutuhkan 47 cabang ilmu untuk menafsirkan suatu ayat. Untuk itu, mondoklah di pondok yang benar-benar diasuh oleh seorang kiai, bukan kiai karbitan, yang karena situasi, di-kiai-kan,” saran mantan Menag ini.
Ditambahkan dia, radikalisme juga bisa terjadi saat seorang anak yang belum mempunyai bekal ilmu kuat, kemudian mendalami agama di tempat yang mengajarkan radikalisme. Jadi anak tersebut belum mempunyai filter dan basic kuat, yang terjadi kemudian adalah apa yang dia dapatkan, dimakan semuanya.
“Bekal ilmu memang penting, sebelum kita pergi belajar agama di tempat lain. Saya dulu kuliah dan tinggal di Arab Saudi selama 12 tahun, meski demikian saya berusaha dan bisa memilah pelajaran yang saya dapatkan. Meski demikian, kita berfikiran ortodoks” kenang Kiai Agil.
Dia mengatakan MQK yang diselenggarakan ini merupakan salah satu langkah riil yang dilakukan pemerintah, agar para santri mempunyai pemahaman yang kuat, benar dan mendalam tentang kitab kuning. Harapannya, ketika kelak menjadi seorang ahli agama, tidak radikal dan mengajarkan ajaran Islam rahmatan lil’alamin.
Kiai Agil melihat, kini pemerintah benar-benar memperhatikan santri. Bagi pondok pesantren yang tidak memiliki pendidikan formal, maka pemerintah mendorong para santrinya dengan live skill, tujuannya agar kelak saat berada dalam masyarakat, mampu beradaptasi lingkungan. Sedang bagi pondok pesantren yang memiliki pendidikan formal, diberi fasilitas laboratorium, komputer, perpustakaan dan lain sebagainya, banyak santri yang mendapatkan beasisiwa.
“Kalau tidak salah, ada sekitar 3.000 santri yang kini mendapat beasiswa kuliah di perguruan tinggi favorit. 1.500-an kini sudah mengabdi. Bahkan puluhan santri kini bergelar dokter” paparnya. (azm/arrahmah.com)