JAKARTA (Arrahmah.com) – Maraknya aksi terorisme di Indonesia tidak berkaitan dengan terbatasnya kewenangan intelijen selama ini, demikian yang diungkapkan Direktur Eksekutif Imparsial.
“Kami menganggap justru koordinasi yang lemah di antara aktor-aktor keamanan menjadi salah satu penyebab sulitnya aparat dalam menanggulangi meluasnya jaringan teroris dan mencegah aksi-aksi peledakan bom,” kata Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti dalam rilisnya, Sabtu (1/10/2011).
Karena itu Poengky mendesak pemerintah dan DPR agar tetap mengacu pada aturan hukum dan HAM dalam membahas kewenangan intelijen pada RUU Intelijen Negara.
Lebih lanjut Poengky mengungkapkan bahwa adanya desakan untuk memberikan kewenangan lebih kepada intelejen untuk menangkap, menahan, melakukan interogasi dan menyadap, haruslah ditolak, karena hal tersebut sudah masuk dalam ranah penegakan hukum.
“Aparat intelejen adalah aparat extra judicial, sehingga tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam ranah hukum,” imbuhnya.
Namun,terlepas dari masih banyaknya kelemahan dalam draft terbaru RUU Intelejen Negara, Imparsial memberikan apresiasi kepada DPR yang telah menolak kewenangan menangkap dan menahan.
“Akan tetapi kami juga masih mempermasalahkan diberikannya kewenangan menyadap dan melakukan penggalian informasi sebagai pengganti interogasi kepada intelejen,” ujar Poenky.
Poengky juga menegaskan bahwa penyadapan harus mengacu pada putusan MK terkait UU ITE yang mengharuskan adanya pengaturan terlebih dahulu dalam bentuk UU.
Berdasarkan pasal 31 ayat (1) UU Terorisme, kewenangan untuk menyadap dalam penanggulangan terorisme adalah merupakan kewenangan penyidik, sehingga aparat intelejen tidak diperkenan menabrak aturan hukum yang sudah ada.
Selain itu Poengky menegaskan agar Pemerintah segera menindaklanjuti pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan audit investigasi internal di tubuh kepolisian dan intelejen. (arrahmah.com)