JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, pelanggaran yang dilakukan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Anti Teror Mabes Polri dipicu oleh kewenangan besar yang dimiliki lembaga tersebut.
Ketua Komnas Ham Siti Nurlaila menilai kewenangan yang besar itu umumnya diberikan pada sebagai persoalan darurat seperti berada pada UU anti Terorisme.
Siti mengatakan, produk UU untuk menyelesaikan persoalan darurat seringkali memberi institusi atau lembaga pelaksananya kewenangan yang lebih. Sehingga Densus diberi senjata dan fasilitas yang berbeda, dibandingkan Kepolisian biasa.
“Densus 88 diberi fasilitas dan senjata. Kewenangan lebih ini berpotensi pelanggaran HAM,” ujar Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila dalam diskusi bertema “Densus 88 milik siapa, Studi kasus Manado dan Poso” di Kantor Syarikat Islam, Jl Matraman, Jakarta Timur, Rabu (20/03/2013).
Dia membandingkankan, saat militer berkuasa di Indonesia pada masa orde Baru, pelanggaran Ham banyak dilakukan militer. Namun, ketika kewenangan besar beralih ke polisi, maka institusi ini yang banyak melakukan pelanggaran. Ia menyayangkan, Densus 88 yang memiliki kewenangan lebih dan banyak disorot atas dugaan pelanggaran Ham tak diimbangi dengan pengawasan yang baik.
“Kewenangan Densus 88 besar, pertanyaannya siapa yang mengimbangi dan melakukan pengawasannya. Karenanya Komnas Ham membentuk tim pemantauan dan pengawasan kerja-kerja pemberantasan terorisme oleh Densus,”kata Siti.
Seperti diketahui, berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, video kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah, terindikasi pelanggaran HAM. Dalam video kejadian pada 2007 itu, Komnas HAM memastikan adanya anggota Densus 88. Komnas HAM melihat korban pelanggaran HAM bernama Wiwin tetap dinterogasi meski dalam keadaan sudah tak berdaya. Komnas HAM meminta kepolisian segera melakukan evaluasi dan menyelidiki kasus tersebut. (bilal/arrahmah.com)