WASHINGTON (Arrahmah.id) — Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Marco Rubio mengonfirmasi bahwa ia telah mencabut lebih dari 300 visa, sebagian besar milik mahasiswa asing yang dianggap anti-Israel. Ia berjanji akan terus melakukan hal tersebut meskipun menuai kritik tajam.
“Setiap kali saya menemukan orang-orang gila seperti ini, saya cabut visanya. Kami melakukan ini setiap hari,” kata Rubio dalam kunjungannya ke Guyana, dikutip dari Al Jazeera (27/3/2025).
Diketahui, kebijakan pencabutan visa bagi mahasiswa pro-Palestina ini merupakan bagian dari pendekatan agresif Presiden Donald Trump sejak kembali ke Gedung Putih pada 20 Januari 2025.
Baru-baru ini, kehebohan terjadi di jagat maya setelah beredar video penangkapan Rumeysa Ozturk, mahasiswi Universitas Tufts asal Turkiye, yang terjadi di Massachusetts.
Ozturk ditangkap oleh agen berpakaian sipil tanpa identitas yang jelas setelah ia menulis opini di surat kabar kampus yang menyebut aksi Israel di Gaza sebagai genosida.
Pengacaranya, Mahsa Khanbabai, mengungkapkan bahwa Ozturk dibawa ke pusat penahanan di Louisiana, meskipun ada putusan pengadilan yang menetapkan ia harus tetap berada di Massachusetts.
Wanita berusia 30 tahun itu juga tidak diberi akses ke pengacara, yang menjadi sebuah pelanggaran serius terhadap hak hukum.
“Agen bermasker menangkap klien saya secara ilegal,” kata Khanbabai, merujuk pada Departemen Keamanan Dalam Negeri AS.
Kecaman juga datang dari Anggota Kongres AS Ayanna Pressley, yang menyebut tindakan pemerintahan Trump sebagai penculikan mahasiswa dengan status hukum yang sah.
“Ini adalah pelanggaran mengerikan terhadap hak konstitusional Rumeysa untuk mendapatkan proses hukum dan kebebasan berbicara. Dia harus segera dibebaskan,” ujar Pressley.
Ketika ditanya apakah Ozturk ditangkap karena opininya di media kampus, Rubio enggan memberikan jawaban detail. Namun, ia menegaskan bahwa visa adalah pemberian dari pemerintah AS dan tidak tunduk pada pengadilan mana pun.
Rubio menegaskan bahwa kebijakan ini tidak menyasar semua mahasiswa asing, tetapi hanya mereka yang dianggap mengganggu ketertiban di kampus, mengintimidasi mahasiswa Yahudi, dan melakukan aksi vandalisme.
“Gila rasanya membiarkan mahasiswa yang mendukung Hamas masuk AS,” ujarnya.
“Kalau hanya mengeluh soal sedotan kertas, tentu kami tidak akan mencabut visa Anda,” imbuh Rubio.
Namun, kasus Ozturk bukan satu-satunya yang menuai sorotan.
Mahmoud Khalil, seorang pemimpin demonstrasi pro-Palestina di Universitas Columbia, juga ditahan di Louisiana dan menghadapi deportasi, meskipun ia adalah penduduk tetap AS.
Kebijakan keras ini telah memicu kekhawatiran tentang kebebasan akademik dan hak mahasiswa asing di AS. Banyak pengamat menilai bahwa pencabutan visa berdasarkan opini politik berpotensi membungkam kebebasan berbicara dan menciptakan ketakutan di kampus-kampus AS. (hanoum/arrahmah.id)