JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Umum MUI KH. Maruf Amin saat sambutan dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (Rakernas II MUI) menyebut bahwa perbedaan dalam wilayah ikhtilaf sangat ditoleransi, tapi kalau di luar ikhtilaf namanya penyimpangan, harus diamputasi.
Untuk itu peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam rangka melayani dan melindungi umat Islam diharapkan menguat. Ini terungkap pada Rakernas II MUI di Hotel Mercury, Ancol, Rabu (23/11/2016).
“MUI sebagai lembaga keumatan memikul tanggungjawab yang besar. Tapi disisi lain, MUI juga punya tanggungjawab kebangsaan. Tentu ini bukan hal yang mudah,” ungkap KH. Maruf Amin, dikutip Arqom.net.
Kata KH. Ma’ruf Amin, di satu sisi MUI harus berjuang membawa aspirasi umat, tapi di sisi lain, tidak berbenturan dengan kepentingan kebangsaan dan kebhinekaan-tunggal Ika. Ini persoalan yang dihadapi oleh MUI.
“Bangsa itu adalah bagian dari umat, sehingga tidak ada dikotomi antara umat dan bangsa. Begitu juga MUI sebagai Majelis Agama Islam, punya tanggungjawab keagamaan, tapi disisi lain MUI punya juga punya tangggungjawab kenegaraan,” jelasnya.
MUI, kata Kiai Maruf, merupakan bagian dari negara itu. Tak jarang, ketika memikul tanggungjawab keumatan dan keagamaan, MUI dianggap berhadapan dengan kebhinekaan. Bahkan dianggap kurang memiliki ke-Pancasilaan.
“Padahal, banyak fatwa MUI yang ditunggu. Bahkan, pemerintah belum melakukan ekseskusi sebelum ada fatwa MUI. Beberapa kebijakan pemerintah harus diakui menunggu fatwa MUI terlebih dulu. Tapi dalam beberapa hal fatwa MUI juga dipersoalkan,” kata Kiai Ma’ruf.
Sebagai contoh, Fatwa MUI soal Ahmadiyah, dimana MUI dianggap tidak memberikan ruang perbedaan pendapat dan kebebasan. Padahal bagi MUI, perbedaaan itu sangat dijunjung tinggi, bahkan kita tidak boleh bersikap ananiyah jama’iyah (ego kelompok), atau ashobiyah jama’iyah (fanatik kelompok).
“Karena itu perbedaan sangat ditoleransi, hanya saja perbedaan yang ditoleransi menurut MUI, adalah perbedaan dalam wilayah ikhtilaf, tapi kalau diluar ikhtilaf namanya penyimpangan. Perbedaan itu ditoleransi, penyimpangan diamputasi,” ucap Kiai.
Kalau sudah disepakati MUI, makan menjadi keputusan itu merupakan sesuatu yang mujma’ alaih (tidak boleh diingkari). Yang boleh diingkari adalah jika masih ikhtilaf. Sesuatu yang ikhtilaf boleh diingkari. Tapi kalao sudah jadi keputusan, maka tidak boleh dilanggar.
“Soal rokok, misalnya, hukumnya ikhtilaf, antara haram dan makruh. Tapi, wartawan malah salah kutip MUI dalam hal rokok ternyata pendapatnya “khilaf”. Itu sudah salah tafsir,” kata Kiai guyon.
Begitu juga ketika MUI mengeluarkan fatwa sekularisme dan liberalisme agama, atau yg dikenal dengan fatwa Sepilis. Walhasil, fatwa MUI soal sepilis juga dipermasalahkan. Fatwa MUI pun dianggap tidak memberi tolerasi terhadap perbedaan agama.
“Padahal yang MUI maksud adalah bukan pluralisme dalam artian perbedaaan agama, tapi sinkretisme, yakni mencampur agama, dan semua agama benar,” tegas Kiai Ma’ruf.
(azm/arrahmah.com)