(Arrahmah.com) – Al-Ustadz Muhammad Thalib, Amir Majelis Mujahidin, bertindak sebagai khatib Jum’at di Masjid Ar-Rasul, Jogjakarta, 11 Oktober 2013.
Materi khutbah yang beliau sampaikan sungguh menggugah dan inspiratif sehingga mempesona jamaah. Kami hendak berbagi ilmu dengan pembaca, maka kami sajikan khutbah beliau yang singkat, padat, dan disampaikan tidak lebih dari 15 menit.
Hadhirin jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala!
Kita awali khutbah ini dengan memanjatkan segala puji-pujian ke hadhirat Allah subhanahu wa ta’ala, karena Dia telah memilih kita menjadi Muslim. Dan kita berharap agar senantiasa ditetapkan menjadi hamba Allah yang istiqamah, berpegang teguh pada kebenaran Islam.
Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam seorang rasul yang diberi wewenang oleh Allah untuk menyampaikan wahyu Ilahy, sebagai petunjuk bagi manusia, bagaimana menjalani kehidupan di dunia ini agar mendapatkan barakah dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kita juga sampaikan salam kepada keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam satu-satunya keluarga yang mendapatkan keridhaan Allah, sehingga apabila kita ingin membangun keluarga yang diridhai Allah hendaklah kita mengikuti pola hidup yang dicontohkan beliau dalam mengurus keluarga. Dan kita sampaikan juga salam kepada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah berhasil membangun masyarakat yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.
Hadhirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala!
Setelah kita memuji Allah, dan menyampaikan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan shahabat beliau, marilah kita simak firman Allah, tentang apa yang dikatakan dan dilakukan generasi manusia yang datang kemudian.
هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ (22)
“Allah adalah Tuhan yang menjadikan kalian dapat berjalan di darat dan berlayar di laut. Ketika kalian berada di atas kapal dan angin yang baik membawa penumpangnya berlayar, mereka bergembira dengan perjalanannya itu. Tiba-tiba badai dan gelombang laut datang kepada mereka dari segenap penjuru. Ketika itu mereka menyangka bahwa mereka telah dikepung oleh kematian, kemudian mereka berdo’a kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Mereka berkata: “Ya Allah, sekiranya Engkau selamatkan kami dari bencana ini, pasti kami akan menjadi orang-orang yang taat kepada-Mu.” (Qs. Yunus, 10: 22)
Dari kandungan ayat ini, kita dapat memetik beberapa pelajaran.
Pertama, adalah bukti bahwa Al-Qur’an benar-benar wahyu Ilahy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah seorang pelaut, sepanjang hidup beliau belum pernah naik perahu ataupun berlayar di lautan. Tetapi beliau mampu menggambarkan suasana hati yang panik, kala badai melanda di tengah lautan. Terjadi keputusasaan yang luar biasa, sehingga para penumpang kapal itu pasrah total, dan mendekat pada Allah subhanahu wa ta’ala.
“Ketika kalian berada di atas kapal dan angin yang baik membawa penumpangnya berlayar, mereka bergembira dengan perjalanannya itu. Tiba-tiba badai dan gelombang laut datang kepada mereka dari segenap penjuru. Ketika itu mereka menyangka bahwa mereka telah dikepung oleh kematian, kemudian mereka berdo’a kepada Allah dengan penuh keikhlasan.”
Inilah mukjizat Al-Qur’an. Dalam suatu kisah, seorang pelaut Inggris yang tengah mempelajari Al-Qur’an dan membaca ayat ini. Dia tercengang, suasana hati yang digambarkan Al-Qur’an persis pengalaman pribadinya ketika terdampar di Madagaskar, akibat kapalnya dilanda badai. Sang pelaut tidak habis mengerti, bagaimana mungkin Muhammad bisa menceritakan detail suasana hati dan psikologi manusia yang dilanda badai di tengah laut padahal dia bukanlah pelaut dan belum pernah berlayar di lautan. Kekagumannya menumbuhkan keyakinan, bahwa Al-Qur’an benar-benar wahyu Allah, dan bukan karangan Muhammad. Akhir kisahnya, dia beriman kepada Allah dan memeluk Islam.
Pelajaran kedua, ayat ini menginformasikan gejala umum watak dan mentalitas manusia di setiap tempat dan generasi. Manusia yang pandai berpura-pura taat, tapi hatinya culas.
Ketika menghadapi bencana dan kesulitan menerpa hidupnya, manusia teringat kepada Allah. Tetapi ketika kondisi sudah aman dan nyaman, dia lalai dan durhaka. Ketika mengalami bencana, dia panik dan berusaha mencari upaya keselamatan, memohon kepada Allah dengan tulus ikhlas, dan berjanji akan menjadi orang yang taat.
Akan tetapi semua itu dilakukan pura-pura untuk sementara waktu, karena ternyata saat terbebas dari petaka dan hidupnya senang, dia lupa dan kembali berbuat durhaka. Lisannya tulus memohon, tapi hatinya penuh kebencian terhadap agama Allah.
Begitulah yang diperbuat kaum Fir’aun terhadap Nabi Musa. Ketika mereka ditimpa musibah dan malapetaka, mereka meminta pertolongan kepada Musa dan berjanji setia tidak akan mengulangi kejahatan dan dosa yang biasa mereka lakukan. Demikian pula prilaku kaum Quraisy terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika mereka ditimpa kekeringan, mereka panik dan berputus asa. Lalu, memohon belas kasihan Nabi Muhammad supaya berkenan mendo’akan kepada Allah agar terbebas dari bencana kemarau panjang. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabulkan permintaan mereka, dan Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan do’a Nabi-Nya, kaum Quraisy melakukan rekayasa dusta terhadap ayat-ayat Allah.
Fenomena oportunis seperti ini berlaku umum dan selalu berulang dalam sejarah kehidupan manusia. Ingatlah, masyarakat Indonesia pernah bahkan sering ditimpa bencana, berupa tanah longsor, gempa bumi, tsunami, banjir dll. Ketika kesedihan dan derita sudah demikian meluas dan keputusasaan melanda masyarakat. Pemerintah, ustadz, kyai menyeru masyarakat supaya memohon ampun dan berdo’a kepada Allah suapaya diselamatkan dari penderitaan ini. Maka masyarakat berbondong-bondong ke masjid, termasuk istana negara, pendopo kabupaten untuk melakukan tobat nasional dan zikir nasional. Semua itu dilakukan dengan ikhlas, supaya terhindar dari bencana sambil berjanji: “Ya Allah, sekiranya Engkau selamatkan kami dari bencana ini, pasti kami akan menjadi orang-orang yang taat kepada-Mu.”
Inilah ketulusan kaum oportunis. Setelah badai berlalu, banjir mereda, gempa bumi dan tsunami tidak terjadi lagi, apa yang dilakukan masyarakat Indonesia? Mereka melakukan kedurhakaan, mengulangi perbuatan dosa seperti yang mereka lakukan sebelum bencana terjadi. Ternyata segala derita dan malapetaka yang menimpa tidak membuat manusia jera berbuat dosa. Para koruptor kembali mengulangi tindak pidana korupsi, orang-orang bermoral bejat kembali melakukan porno aksi, judi, menenggak minuman keras. Ahli bid’ah meneruskan perbuatan bid’ah, syirik dan sebagainya.
Semoga firman Allah di atas dapat menyadarkan kita, bahwa berbagai musibah yang menimpa negeri ini disebabkan ingkar janji massal yang dilakukan masyarakat Indonesia. Diseru supaya menaati syari’at Allah, malah mengingkari janji keimanannya dengan menaati sistem dan hukum buatan manusia yang menentang syari’at Allah.
Semoga Allah mengampuni dosa kita!
Takmir Masjid Ar-Rasul, Jogjakarta.
(Ukasyah/arrahmah.com)