JAKARTA (Arrahmah.id) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, mengungkapkan bahwa wacana libur sekolah selama bulan Ramadhan perlu dikaji secara mendalam.
Cholil menilai wacana tersebut mungkin dapat dilaksanakan di pesantren yang semua santrinya beragama Islam.
“Mungkin bisa untuk pesantren (libur sebulan saat Ramadhan) karena kurikulum dan masa belajarnya mungkin berbeda. Kalau sebagian pesantren sudah melaksanakan libur panjang bahkan seminggu sebelum Ramadhan dan masuk seminggu setelah Idul Fitri. Hampir ya, 45 hari malah liburnya,” kata Cholil kepada wartawan, pada Rabu (1/1/2025).
Namun, terkait sekolah umum, Cholil mengatakan bahwa libur panjang selama satu bulan harus di sesuaikan dengan kurikulum yang berlaku dan tidak semua murid di sekolah umum beragama Islam.
Terlebih, Cholil memaparkan bahwa pengkajian wacana libur selama Ramadhan juga perlu menilik dari aspek produktivitas siswa.
“Tapi kalau untuk umum saya pikir perlu menyesuaikan dengan kurikulum, ya kurikulumnya, di samping juga yang kedua tidak semuanya Muslim. Tapi menurut saya itu tergantung kajian mana yang lebih bermanfaat tetapi bukan liburnya, tetapi soal produktivitasnya,” ungkapnya.
Ia menilai ada baiknya siswa tetap melakukan pembelajaran di sekolah. Pendidik juga bisa menyertakan sejumlah aktivitas untuk penguatan pendidikan karakter hingga spiritual selama masa Ramadhan.
“Alangkah baiknya Ramadhan tetap di dalam sekolah, tetapi kurikulum sekolah itu atau pengajarannya di sekolah itu lebih diperbanyak pendidikan karakter, penguatan spiritualnya. Nah sekarang kan banyak agama hanya pengajarannya, bukan pendidikannya,” tutur Cholil.
“Pembentukan karakter aspek keagamaan, mungkin itu penting sehingga pada saat Ramadhan bagi yang Muslim banyak kegiatan-kegiatan yang mengaitkan insert pengajaran dalam pendidikan agama, pendidikan agama yang masuk pada pengajaran itu,” sambungnya.
Cholil berpandangan, jika berpuasa sambil belajar dilakukan, siswa akan terbiasa. Kendati demikian, jika hal tersebut mengurangi produktivitas, perlu dipertimbangkan kembali.
“Karena sebenarnya orang berpuasa dengan belajar itu kalau dibiasakan, tidak mengganggu. Tapi kalau dimaklumi karena lapar dan seterusnya maka menjadi tidak produktif oleh Nabi Muhammad SAW ya pendidikan itu pada saat puasa tidak terganggu, bahkan ada peperangan di saat bulan puasa,” pungkasnya. (Rafa/arrahmah.id)