JAKARTA (Arrahmah.id) – Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah kontroversial dengan menghapus praktik khitan atau sunat perempuan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, sebagai bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Keputusan ini, yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024, menyatakan bahwa larangan tersebut dimaksudkan untuk mendukung ketahanan sistem reproduksi pada bayi, balita, dan anak prasekolah.
Pasal 102 huruf a dari PP tersebut secara eksplisit menyatakan penghapusan praktik sunat perempuan, sebuah kebijakan yang segera menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, terutama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
MUI sebelumnya telah mengeluarkan Fatwa No. 9A Tahun 2008 yang menegaskan bahwa khitan bagi perempuan adalah fitrah dan syiar Islam, serta dianggap sebagai makrumah, yakni tindakan yang kemuliaannya lebih ditujukan sebagai ibadah yang dianjurkan.
Ketua MUI bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis angkat bicara terkait beleid tersebut. Menurut Kiai Cholil, penghapusan praktik khitan perempuan bertentangan dengan syariat Islam.
“PP 28 tahun 2024 tengan Kesehatan pada pasal 102 a yang menghapus praktik sunat perempuan bertentangan dengan syariat,” ujar Kiai Cholil, lansir Inilah.com, Kamis (1/8/2024) .
Pengasuh Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok ini mengatakan, Islam justru menganjurkan agar kaum perempuan itu melakukan khitan.
Sehingga, menurut dia, pemerintah tidak boleh melarang praktik ini.
“Islam menganjurkan (makramah) khitan perempuan. Karenanya bertentangan kalau PP 28 itu melarang khitan perempuan. Khitan perempuan tidak wajib tapi tidak boleh dilarang,” kata Kiai Cholil.
MUI menyandarkan fatwa tersebut pada dalil Alquran, hadis dan ijma ulama. Beberapa ayat Alquran yang menjadi landasan fatwa tersebut yakni firman Allah SWT. : “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. an-Nahl[16] : 123).
Dalam tinjauan fikih, terdapat perbedaan pendapat yang signifikan di antara para ulama mengenai hukum khitan bagi perempuan:
1. Pendapat Pertama: Menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan pendapat minoritas dalam mazhab Syafii, khitan bagi perempuan dianggap sunnah dan bukan wajib. Mereka menganggap khitan sebagai bagian dari fitrah dan syiar Islam, serupa dengan praktik-praktik kebersihan lain yang dianggap sunnah.
2. Pendapat Kedua: Sebaliknya, mazhab Syafii mayoritas dan mazhab Hanbali menganggap khitan bagi perempuan sebagai wajib, berdasarkan interpretasi mereka terhadap sunnah dan ayat-ayat Al-Quran yang mengikuti tradisi Nabi Ibrahim.
3. Pendapat Ketiga: Menurut pendapat lain yang dipegang oleh Ibnu Qudamah, khitan diwajibkan bagi laki-laki dan hanya dianggap kemuliaan bagi perempuan, sehingga tidak wajib dilaksanakan.
Menurut MUI, dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh mazhab dalam fiqih sepakat bahwa sesungguhnya khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah bagian dari fitrah dan syi‟ar Islam.
Khitan pada dasarnya adalah perkara terpuji, dan sepanjang penelaahan kami atas kitab-kitab fiqih, tidak ada satupun ahli fiqih yang melansir sebuah pendapat yang melarang khitan bagi laki-laki dan perempuan, atau pendapat yang melarang atau menganggap adanya bahaya (dharar) khitan bagi perempuan.
(ameera/arrahmah.id)