JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan angkat bicara terkait vonis 4 tahun penjara untuk Habib Rizieq Shihab pada perkara hasil swab Covid-19 di RS Ummi Kota Bogor.
Diketahui, Habib Rizieq divonis bersalah dengan tuduhan berbohong dan melanggar Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pasal tersebut berbunyi; “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
Dalam pendapat hukumnya, Chandra menjelaskan bahwa pernyataan tentang kondisi kesehatan Habib Rizieq yang menyatakan dalam keadaan sudah pulih atau sehat bukan merupakan perbuatan tercela sehingga bukan perbuatan melawan hukum.
Menurutnya, ucapan tersebut termasuk bagian dalam pikiran. Sebab, Habib Rizieq merasakan sudah sehat.
“Penilaian atas kesehatan diri sendiri itu disebutnya wajar sebagaimana penilaian pada umumnya ketika seseorang yang merasakan sudah pulih dari rasa sakitnya,” kata Chandra Purna Irawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/6/2021).
Chandra menambahkan, dengan mengacu pada asas “cogitationis poenam nemo patitur” (tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya), maka pernyataan sehat Habib Rizieq bukanlah delik.
Berikutnya, Chandra menyebut pasal yang dikenakan terhadap eks imam besar FPI tersebut bersifat karet, lentur dan tidak memuat definisi pasti yang ketat soal berita atau pemberitahuan bohong dan keonaran di kalangan rakyat.
“Semestinya harus didefinisikan secara konkret dan memiliki batasan yang jelas. Apabila tidak maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur, dan penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan,” ujarnya.
CHnadra juga menyatakan, hingga kini tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan batasan dan mendefinisikan apa yang dimaksud ‘berita atau pemberitahuan bohong dan ‘keonaran di kalangan rakyat’.
Selain itu, lanjutnya, frasa ‘keonaran di kalangan rakyat’ pun hingga saat ini tidak ada definisi dan batasan yang jelas. Apakah keonaran dimaksud memiliki makna yang sama dengan populer, viral, ramai diperbincangkan, terjadi benturan fisik, kecauan, atau kerusuhan.
“Tidak ada batasan ‘keonaran di kalangan rakyat’, dikhawatirkan dan berpotensi menjadikan aparat penegak hukum dapat dengan secara subjektif dan sewenang-wenang menentukan status suatu kondisinya,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)