JAKARTA (Arrahmah.com) – Ada-ada saja cara orang menyebar opini untuk menjauhkan Ummat dari konsep Islam secara sempurna. Salah satunya pernyataan yang dikatakan Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa (Garda Bangsa) M Hanif Dhakiri.
Ia mengungkapkan bahwa Islam itu menolak ide negara Islam, bahkan siapa saja yang menegakkan panji-panji Islam terkait keberadaan Daulah bukan termasuk dari Islam Indonesia, tetapi Islam yang lain. Lho.. memang Islamnya Indonesia bersumber dari kitab yang berbeda dengan Islam yang disebarkan Rasulullah Muhammad SAW?
Hanif mengungkapkan bahwa pada dasarnya Islam adalah dien wal ummah, religion and nation (agama dan bangsa). Bukan dien wal daulah, religion and state (agama dan negara). Dengan begitu, politik Islam semestinya tidak berkepentingan dengan negara Islam, melainkan kebaikan masyarakat secara keseluruhan (rahmatan lil ‘alamin).
“Jadi, Islam Indonesia itu ya Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Itu pasti moderat, toleran, anti-kekerasan dan menolak ide negara Islam. Yang mengusung panji-panji Islam tetapi tidak rahmatan lil ‘alamin saya kira bukan Islam Indonesia. Itu Islam yang lain, yang asing dalam konteks kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk,” jelas Hanif di sela-sela kegiatan Pesantren Kilat Anti-Teror yang diselenggarakan DKN Garda Bangsa di Kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta, Jumat (19/8/2011).
Lebih lanjut Hanif mengatakan bahwa Islam tumbuh dan berkembang seiring dengan proses kebudayaan dalam masyarakat. Jadi, tidak benar jika ada sekelompok orang membawa panji-panji Islam tetapi mengobarkan kebencian dan memicu kekerasan bernuansa agama dalam masyarakat.
Sekretaris FPKB DPR tersebut mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama beserta seluruh jejaring pesantren di tanah air merupakan jangkar nasionalisme Indonesia. Tradisi pemikiran dan keagamaan NU menjelaskan bahwa kita bisa menjadi orang Indonesia, sekaligus orang Islam.
”Anda bisa menjadi orang Sunda, Jawa, Batak, Melayu, Betawi, Aceh dan lain-lain, sekaligus menjadi orang Islam. Kejawaan seseorang tidak dipertentangkan dengan Islam. Demikian pula kesundaan, kebatakan dan lain-lain. Intinya, kita bisa menjadi orang Indonesia dan orang Islam sekaligus. Nggak harus jadi arab dulu baru bisa Islam,” imbuhnya.
Allah Ta’ala melalui firmannya meminta kita untuk berislam secara kaffah dalam artian mempraktikan Islam bukan sebatas dalam ritual saja tetapi dalam pengaturan distribusi kekayaan hingga pengaturan hukum di sebuah negeri. Mempertahankan budaya bukan berarti menghilangkan nilai Islamnya. Budayalah yang disesuaikan dengan aturan Islam. Karena itu jika suatu bangsa memeluk Islam maka Islam dijadikan standar segala kehidupan termasuk ekonomi, budaya, sosial, dan hukum.
Maka jika ada tradisi yang bernuansa syirik misalnya, maka harus dihilangkan bukan dipertahankan. Budaya bukan dipertentangkan dengan Islam tetapi ‘distandarisasi’ sesuai standar Islam. Mengingat perjuangan Rasulullah Muhammad SAW menyebarkan Islam, tak pernah beliau mendiamkan segala sesuatu sekalipun yang bersifat tradisi dari nenek moyang jika bertentangan dengan Islam.
Sebagai contoh, Rasullullah tak pernah menerima tawaran dari orang Qurays ketika menawarkan kesepakan bahwa Ka’bah bisa menjadi tempat ibadah orang Islam tetapi berhala dan patung-patung yang merupakan aplikasi ajaran nenek moyang orang Qurays harus tetap ada disitu.hal tersebut berarti bukan Islam yang menyesuaikan dengan kondisi ‘kelokalan’ tetapi ‘kelokalan’ lah yang harus disesuaikan dengan Islam. Wallohua’lam. (ans/arrahmah.com)