SURABAYA (Arrahmah.com) – Center for Indonesian Community Studies (CICS) mengingatkan bahaya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketua CICS mengungkapkan, setelah berbagai upaya dilakukan tidak berhasil, mulai menuntut negara agar meminta maaf hingga ganti rugi, mereka mendapat ‘angin segar’ lewat penerbitan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH).
“SKKPH ini dikeluarkan Komnas HAM, yang mengajukan orang PKI secara pribadi-pribadi. Surat ini kemudian dibawa ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan itu menjadi jalan,” kata Ketua CICS, Arukat Djaswadi usai Nobar film pengkhianatan G30S/PKI di Aula Museum NU, Surabaya, Selasa (1/10/2019), lansir rri.co.id.
Selain Arukat, hadir dalam Nobar tersebut Ketua Dewan Panasihat Pengurus Besar Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PB PPKN) Choirul Anam, mantan Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Surabaya Wahyuddin Husein; serta sejumlah perwakilan elemen masyarakat.
Lantas, berapa orang PKI yang sudah mendapatkan SKKPH? “Pengakuan Bedjo Untung (ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/YPKP 65), sampai hari ini itu sudah 3.000-an. Tapi ada versi lain bilang tidak sampai segitu,” tuturnya.
Saat ini, menurut Arukat, Jatim sedang menjadi target Bedjo Untung dan kawan-kawan untuk membangkitkan kembali PKI.
“Jatim itu paling kecil jumlah orang yang mendapatkan SKKPH, karena tidak mau,” katanya.
Karena itu, Arukat berani memastikan PKI masih bergerak untuk mendapatkan legitimasi.
“(Upaya) yang berhasil ya ini, minta diakui sebagai korban (lewat penerbitan SKKPH),” terangnya.
Arukat menjelaskan, pengajuan SKKPH berawal dari upaya eks PKI memposisikan dirinya sebagai korban. Mereka tergabung dalam kelompok paguyuban korban, mulai Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB), kemudian Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) yang diketuai Bedjo Untung.
“YPKP 65 ini yang paling terakhir dan efektif. Bedjo Untung itu anggota IPI (Ikatan Pelajar Indonesia), sayapnya PKI di kalangan pemuda dan pelajar. Dan dia tidak pernah berhenti untuk mendapatkan pengakuan sebagai korban,” kata Arukat.
Ternyata, lanjut Arukat, Komnas HAM menerima eks PKI sebagai korban yang diwujudkan lewat SKKPH.
“Kami tidak mempersoalkan santunannya, tidak. Yang kami persoalkan adalah konsekuensi dari SKKPH itu,” ucapnya.
Arukat menilai, dengan eks PKI diakui lembaga negara sebagai korban berarti pelaku pemberontakan 1965 bukan PKI, dengan begitu mereka bersih. Maka tujuan mereka tinggal selangkah lagi.
“(Mereka akan) menuntut kompensasi, ganti rugi, rehabilitasi, menuntut supaya negara minta maaf, TAP MPR dicabut, akhirnya PKI hidup lagi,” tegasnya.
Apakah pihak CICS sudah berkomunikasi dengan Komnas HAM terkait penerbitan SKKPH?
Arukat mengungkapkan, pihaknya dijanjikan bertemu di Surabaya, namun belakangan Komnas HAM mengirim pesan pendek (SMS) yang meminta CICS mengajukan ke pengadilan jika keberatan dengan penerbitan SKKPH.
Sementara terkait pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI, Choirul Anam mengatakan hal ini sebagai pengingat kepada masyarakat tentang kekejaman dan bahaya PKI.
“Saya minta yang muda-muda, harus tahu sejarah kelam ini untuk berwaspada di setiap lini kehidupan kita yang sekarang ini lagi panas,” pesannya.
(ameera/arrahmah.com)