Orang yang (telah) mati menjadi hidup karena kata-katanya, karena hal yang telah ditulis oleh tangan mereka. Mereka menjadi hidup karena kata-kata yang benar yang mereka tegaskan, dan keteguhan dari sikap mereka (semasa hidup), meski mungkin jasad mereka hancur dan ruh mereka naik ke langit.
Kata-kata yang telah mereka tulis oleh tangan mereka akan bertahan dan bangkit hidup, serta membangkitkan harapan, setelah mereka mengorbankan dirinya, harta miliknya, darah dan kehidupannya demi apa-apa yang mereka tuliskan, yang merupakan pencerminan konsisten dari nilai-nilai teguh yang mereka yakini, dan prinsip-prinsip kokoh yang tertanam dalam diri mereka demi Din Islam ini. Pada saat itu (ketika mereka mengorbankan dirinya demi kata-katanya), kendati mereka gugur, Islam dan kaum Muslimin akan berjaya melalui mereka. Para pembela iman akan dimuliakan sementara para pembela syirk dan berhala akan dihinakan. Kehidupan akan dihormati dan diagungkan. Darah dan pengorbanan mereka adalah bahan bakar dan suluh api yang akan mengangkat gelapnya kezholiman dan menyingkap hilang kesedihan dan derita. Keadilan akan menang dan kaum tertindas akan terbela. Ruang-ruang penjara akan kosong dan orang yang terbelenggu akan bebas. Tak akan ada lagi kehilangan hak, korupsi ataupun sogokan.
Sementara orang yang hidup (sesungguhnya) mati, meski engkau melihat tubuh mereka masih berjalan di atas bumi, mereka tidak punya kehidupan. Mereka mati (meski jasadnya hidup) karena kematian hati. Dan hati mereka mati karena hidup mereka di dunia hanya sekedar memenuhi tuntutan nafsunya, kenyamanan dirinya, dan ambisi dunianya. Yang jadi perhatian mereka hanyalah berapa gaji mereka dari pekerjaan, berapa gaji mereka dari khutbah dan fatwa yang mereka sampaikan, gaji yang mereka dapatkan setelah mereka menunjukkan keangkuhannya terhadap Islam beserta segenap pembelanya yang jujur. Mereka membelakangi (Islam) dan harga yang dibayar sangat murah: beberapa dirham dan sedikit ketenaran yang mengkilap karena digosok/dibasuh oleh darah orang-orang mulia dan merdeka. Mereka tersungkur di hadapan Rabbul Alamin di tengah-tengah majelis mereka, di jaringan televisi satelit mereka, ketika mereka tenggelam dalam kubangan kesalahan yang menjebak mereka dari ujung kaki hingga ubun-ubun! Mereka menyingkirkan ummat dari Islam, menyesatkan mereka dan membuat mereka jahili. Dari lisan mereka keluar tuduhan keji, siapa saja yang menentang mereka disematkan label buruk orang tersesat atau anak muda bodoh ingusan. Mereka bicara mengelu-elukan kebaikan orang-orang yang menghancurkan Din, tetapi diam membisu terhadap kelakuan buruk kaum durjana itu dan kekejian yang mereka lakukan dalam memerangi agama. Maka tidak mengejutkan, mereka menjadi alat pemukul di tangan kaum durjana. Bagi mereka, para ahlul haq dan orang yang teguh di atas keyakinan dikatakan sebagai penyesat dan ahlul bid’ah. Di mana saja kaum pengecut itu berlalu, bumi berguncang… perpecahan dan konflik merekah, ketika mereka berkhutbah tentang kondisi ummah dan nasib Kaum Muslimin. Islam dan Muslimin akan diperhinakan, kehidupan hanya menghadapi kekejaman dan keterpurukan. Tidak ada yang mereka tawarkan kecuali sikap menyerah, menghambakan diri, dan menjadi obyek penderita.
Negeri-negeri akan dijajah, dan Al Quran dinistakan. Seluruh nilai-nilai kesucian akan dicemari, para akhwat muslimah yang suci diperkosa, kehormatan akan dibinasakan, dalam rangka menghidupkan kembali Laka’ ibnu Laka’ di atas tulang belulang orang-orang suci, kaum mulia, dan ummat yang tak berdosa. Di tangan mereka (kelak) Islam akan diluruhkan, seperti pakaian yang dicuci hingga warnanya memudar, lalu tak akan ada lagi shoum atau zakat; atau ketulusan akan dipahami.
Tetapi mereka akan menemui taqdir yang buruk dan akhir yang jelek, bi idznillahil wahidil Ahad, di tangan Allah Yang Maha Pemurah, sebagai buah dari apa yang sentiasa mereka lakukan terhadap Ummah, atas setiap ceceran darah yang mereka tumpahkan bersama fatwa mereka, atas setiap sikap bisu yang mereka lakukan tentang Al Haq, dan kegigihan mereka mengemas kepalsuan. Aduhai sungguh malang… karena tetap saja mereka merasa telah melakukan kebaikan: “Mereka menjadikan indah perbuatan buruk yang mereka lakukan, sehingga kemudian mereka merasa bahwa mereka berada di atas kebaikan…” Ibnu Abi Duwat (ia adalah manusia celaka yang menebarkan fitnah khalqil Quran) memperoleh penghidupan (dari para sulthan) di atas kubangan darah Al Buwaity (salah seorang murid Imam Syafi’i, semoga Allah melimpahkan kasih sayang padanya). Meskipun ia (Ibnu Abi Duwat) sangat terkenal karena ilmunya, kefasihannya berbicara dan sikap royalnya, tetapi ia tidaklah lebih dari manifestasi niyat yang rusak, dan aqidah yang busuk, sehingga ilmu serta kefasihannya tidak bermanfaat untuknya, dan ia kemudian menemui akhir hidup yang tragis diakibatkan bagaimana ia mengkritisi, mengolok-olok, dan menimpakan bencana kepada ahlul iman dan ahlul haq.
Sayyid Quthb (bersamanya adalah Abdullah Azzam, setiap kali tersebut nama di antara dua orang ini, hati saya menangis. Pent), seseorang yang dipercaya kata-kata dan tulisannya akan dapat dimusnahkan, dan ajarannya akan terhapus dari hati dan jiwa manusia. Tetapi ternyata, kata-kata Beliau hidup, seakan dipahat di atas batu cadas yang kokoh. Sementara kata-kata dari mereka yang mencoba menghancurkan kehormatan Beliau, tulisan Beliau, tenggelam dalam kematian, bahkan (secara tak sadar) mereka terpesona oleh kata-kata Beliau, tulisan Beliau. Ada lagi kalangan yang lain, yang mencuri darinya, berlagak seakan kata-kata Beliau adalah buah pemikiran mereka. Allah menyingkapkan topeng mereka, mempermalukan mereka, dan meruntuhkan istana-istana mereka. Mereka itu sesungguhnya telah mati meski mereka masih hidup, sementara Sayyid Qutbh hidup (sentiasa) meskipun Beliau telah berpulang ke hadlirat Allah.
Sayyid Quthb membayar kata-katanya dengan darahnya. Sementara orang-orang yang lain, memperoleh bayaran karena khutbah mereka, buku dan tulisan mereka, yang mereka tujukan untuk merendahkan Sayyid Quthb. Lalu yang lain lagi, yang mencuri kata-kata Beliau, lalu mengumpulkan bayaran dari rumah-rumah penerbitan, atau mempromosikan diri mereka atas nama Sayyid Quthb dan memperoleh reputasi di jaringan stasiun media dengan mengkritisi Beliau: Sayyid Quthb hidup meskipun Beliau telah wafat, sementara mereka (pada hakekatnya) telah mati meskipun mereka masih hidup.
Banyak putra-putra dari Da’wah ini hidup, dan kata-kata mereka hidup bersama mereka, ketika mereka membangkitkan ke tengah ummat kemuliaan dari Din Islam, sehingga ajaran agama yang haq ini diterima dan diterapkan oleh masyarakat. Orang-orang sholeh dan jujur berkumpul di sekeliling mereka, dan pada hari-hari itu kesucian tidak tercemari oleh rusaknya dunia, dan tidak dikotori oleh penyimpangan yang diakibatkan oleh tingkah laku, atau khayalan, atau fatwa tambal sulam favoritisme (mis: sikap oportunistik atas nama maslahat da’wah.pent). Kata-kata kebenaran dan ketulusan merupakan pencerminan konsisten dari niyat ikhlash dan iman yang kokoh. Maka mereka hidup dan kata-kata mereka hidup menjadi menara cahaya dan mercusuar penunjuk, lalu orang-orang sholeh dan beriman mengikuti jejak langkah mereka.
Pengikut yang lain dari Da’wah ini hidup, dan mereka (pernah) mendapatkan tempat yang mulia dan penghormatan di hati ummat. Kemudian tiba-tiba ujian melanda mereka, lalu penghormatan dan pemuliaan ini berganti dengan kematian, penderitaan berkepanjangan, yang membuat hati mereka menjerit dan diri mereka merintih (mengeluhkan) derita dan pengepungan maut. Berharap mungkin ada orang yang mendengarkan dan memberikan perhatian atas hal ini…
Lalu sekonyong-konyong semua menjadi hampa, semua kenangan, ingatan tentang kemuliaan dan penghormatan yang (pernah) bersemayam di hati ummat ini, kesemuanya hilang, manakala orang-orang ini, setelah mengalami berbagai ujian dan cobaan, lalu memilih kehidupan (keselamatan) dari tubuh mereka daripada hidupnya kata-kata mereka, dan setelah mereka memilih prinsip dan ide barat, pendekatan logika (mendahului prinsip Syariat) dan dalil-dalil rasionalisme. Mereka mengklaim, demi meraih kemaslahatan dan untuk menarik dukungan (lebih luas kepada da’wah) manusia kebanyakan, membujuk hati para pendukung bid’ah dan penyimpangan, mereka merasa harus ‘menyesuaikan sedikit’ jalan perjuangannya, dan ‘menurunkan sedikit’ prinsip-prinsip ideologi yang (pernah) mereka anut. Mereka perlahan melepaskan nilai dan prinsipnya; maka kaum sekularpun mulai berkumpul di sekeliling mereka. Mereka pun kini menjadi kawan yang sangat menguntung kaum sekularis dan liberal, dan lewat kata-kata mereka sendiri, mereka tanpa sadar telah menjadi sekular juga. Mimbar-mimbar mereka adalah jaringan MBC dan IBC, dan mereka pun menjadi ulama fiqh ‘yang memudah-mudahkan’ (menggampang-gampangkan, Fuqoha At Tasawwul). Maka orang-orang sholeh dan jujur pun meninggalkan mereka. Tidak ada yang tersisa menyertai mereka, kecuali beberapa kalangan (awam) yang tertipu, orang yang tergoda/terpesona, kaum sekular, liberal, dan demokrat. Mereka perlahan mati meski mereka masih hidup. Fatwa-fatwa mereka disebarkan di kalangan tentara marinir <span>[1]</span> , oleh kalangan yang kasar; orang-orang yang menyerah kalah dan khianat, orang-orang yang takluk. Mereka bertemu di jaringan satelit dan mengkritisi orang-orang yang medan amalnya adalah arena Jihad dan istisyad (kesyahidan). Burung pipit tak akan bergabung kecuali dengan kawanan pipit.
Ahmad bin Hanbal (Sang Imam Ahlu Sunnah) telah berpulang ke rahmatullah, demikian juga sang pemuka fitnah Ibnu Abi Duwat (pemimpin fitnah khalqil Quran) telah mati dan Bishir Al Misri (syaikhnya Mu’tazilah) juga telah mati. Tetapi apa yang telah ditulis Ahmad bin Hanbal tetap hidup, karena Beliau menebus seluruh apa yang ditulis tangannya dan apa yang ditegaskan lisannya, dengan dirinya. Kata-kata Ahmad bin Hanbal menjadi hidup, ketika Beliau menebusnya, bersama setiap jengkal penyiksaan yang merencah tubuhnya, belenggu yang mengikat leher serta tangannya, dan pemenjaraan yang Beliau alami. Dan seluruh memori tentang Beliau hidup sentiasa hingga hari ini, sebagai bahan pengajaran dan teladan nyata.
Ibnu Abi Duwat dan orang-orang yang menyertainya (sesungguhnya) telah mati meski mereka hidup, ketika mereka menukar kemuliaan dengan menikmati fasilitas di istana-istana sulthan sambil mendengarkan jeritan dan rintihan Ahmad bin Hanbal. Nilai dan keyakinan mereka mati bersama-sama mereka dan mereka tidak punya hal berharga apapun (untuk dikenang oleh generasi selanjutnya) kecuali sikap mengemis, kezholiman, menjilat penguasa, penghambaan, dan mencintai hawa nafsu. Apa lagi yang masih layak dibanggakan dari sisa-sisa kebenaran? Ibnu Abi Duwat mati terpenjara dalam tubuhnya sendiri, yang lumpuh dan sekarat selama empat tahun (sebelum ia benar-benar mati), tidak mampu digerakkan barang sedikitpun.
Adapun Ibnu Taimiyah, maka memori tentang Beliau seakan abadi, bi idznillah, hingga Allah kelak akan mewarisi bumi ini kepada segenap hambaNya yang sholeh. Beliau menyampaikan pesan dan tadzkirahnya tentang istighotsah, tetapi kalangan ahlul bid’ah tidak menyukainya, karena hal itu telah menjadi kebiasaan mereka di mana saja. Lalu Ali bin Yaqub Al Bakari menyerang Beliau, menuduhnya kafir, dan menuntut agar Beliau dibunuh. Tetapi kemudian penguasa menghimpun kekuatan dan mendorong rakyat, menggerakkan mereka melawannya (al Bakari). Maka kini berganti, dialah kemudian yang dicerca, dikutuk, dan dipenjara. Rakyat berhimpun hingga dalam jumlah yang banyak untuk melawannya. Rakyat menyerangnya hingga ia akhirnya terpaksa melarikan diri. Lalu bumi dirasakan sempit oleh al-Bakari hingga ia tidak dapat menemukan tempat meminta perlindungan kecuali kepada Ibnu Taimiyah. Al-Bakari akhirnya lari berlindung ke rumah Ibnu Taimiyah. Allah telah memuliakan Ibnu Taimiyah dan memori serta segenap pesan Beliau hidup abadi. Sementara musuh-musuhnya mati, dan ikut mati bersama mereka segala ide dan keyakinan mereka.
Ada orang-orang yang rela menebus kata-kata dan tulisan mereka dengan pengorbanan. Mereka tidak mencari makan darinya (tulisan, kata-kata, khutbah, atau fatwa) pun juga tidak mengemis lewat tinta yang dituliskan pada buku mereka. Mereka menghindari hal yang meragukan (syubhat) dan menolak hal yang dilarang (muharramat). Mereka tidak mencari penghidupan dari ‘mencatut’ usaha orang lain ataupun menghina dan mencaci mereka. Mereka tidak menerima harga dunia dan kenikmatannya yang rendah dan menipu ini. Mereka campakkan kesemua itu di belakang punggungnya. Sebaliknya orang yang berlawanan dengan kaum mulia itu, maka diakibatkan mereka suka mengutuk, menghina, dan mengkritisi kaum yang menggenggam Al Haq, iman dan Jihad, dan karena mereka lebih suka mengelu-elukan kaum yang sesat dan menyimpang, maka mereka dilupakan, tenggelam bersama ditutupnya lembar sejarah.
——————–
[1] maksudnya tentara marinir Amerika. Ingat kasus fatwa salah seorang ulama terkenal yang saat ini berdomisili di Qatar, yang menyebutkan bolehnya muslim Amerika yang kebetulan berdinas di militer Amerika untuk ikut dalam tugas ‘memerangi teror’ ke Afghanistan, yang menyebabkan muslim Amerika tersebut harus memerangi saudara Muslimnya yang lain, yaitu Mujahidin dan Imarah Islam Afghanistan. Padahal ikut membantu orang kafir dalam rangka memerangi Islam dan ummatnya adalah salah satu dari 10 Pembatal Keislaman. Pent
Sumber :group Facebook Kataibul Iman