JAKARTA (Arrahmah.com) – Jauh sebelum kisruh keharaman BPJS saat ini, Ustadz Muhaimin Iqbal telah menuliskan keresahannya, menyikapi BPJS ini. Berikut tulisan beliau pada November 2013, yang Arrahmah kutip dari situsnya geraidinar.com, Kamis (30/7/2015). Insyaa Allah, tulisan ini masih sangat relevan untuk kita renungkan saat ini. Bismillah.
Ketika yang haram diwajibkan
Oleh Ustadz Muhaimin Iqbal
Mungkin karena kita terlalu terspesialisasi dalam hidup ini dan hidup terkotak-kotak dalam disiplinnya masing-masing, sehingga ketika ada sesuatu yang besar yang menuntut disiplin ilmu yang luas – kita menjadi tidak melihatnya. Seperti berada dalam hutan, kita hanya melihat pohon satu per satu tetapi tidak bisa melihat hutannya sendiri. Di negeri ini ada hal yang haram – yang sebentar lagi menjadi kewajiban seluruh warga negara untuk mengikuti yang haram tersebut – tetapi kita tidak tahu, kok bisa?
Kewajiban untuk mengikuti yang haram itu tersusun dalam serangkain undang-undang dan perpres yang sangat rapi yang disiapkan dalam 10 tahun terakhir – yet umat Islam tidak menyadarinya – sehingga terjebak menjadi wajib mengikuti yang haram tersebut.
Saya masih berprasangka baik sehingga masih mungkin diluruskan meskipun waktu kita kurang dari dua bulan – bila ada kemauan yang besar, insyaa Allah bisa.
Prasangka baik itu adalah ketika awalnya pemerintah ingin memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduknya. Maka lahirlah Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, yang kemudian diikuti UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Di antara pasalnya di UU No. 36 tersebut berbunyi : ” Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan sosial.” (Pasal 13 , ayat 1). Kemudian “Program jaminan kesehatan sosial sebagimana dimaksud ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” (Pasal 13 , ayat 1).
Rangkaian undang-undang tersebut kemudian disusuli dengan Peraturan Presiden yang baru keluar tahun ini yaitu Peraturan Presiden No. 12/2013, yang antara lain berbunyi : ” Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan dilakukan secara bertahap sehingga mencakup seluruh penduduk” (pasal 6, ayat 1).
Pentahapan tersebut dimulai dari tanggal 1 Januari 2014 dan batas akhirnya ketika seluruh penduduk sudah harus menjadi peserta Jaminan Kesehatan ini adalah tanggal 1 januari 2019. (Pasal 6, ayat 2).
Sampai di sini saya masih melihat, ini adalah niat baik pemerintah untuk mengelola kesehatan dari rakyatnya.
Masalahnya kemudian timbul ketika turun pada siapa yang akan mengelola dana kesehatan tersebut dan bagaimana dikelolanya. PT. Askes yang dipercaya untuk mengelola jaminan kesehatan ini untuk dua tahun pertama misalnya, saya tidak melihat mereka memiliki kemauan maupun kemampuan untuk mengelola dana umat ini secara syariah.
Sampai laporan keuangan mereka terakhir yaitu tahun 2012, sekitar 40 % aset lancar mereka dikelola secara ribawi di bank-bank konvensional dalam berbagi bentuknya. Dalam jumlah yang kurang lebih sama, dikelola dalam reksadana. Jadi lebih dari 80% aset lancar mereka adalah aset ribawi, bisakah mereka mengelola dana umat secara syar’i?
Seluruh bank-bank yang menjadi rekanan, maupun seluruh pengelola reksadananya yang mereka pakai – semuanya konvensional yang mengandung maisir, gharar dan riba (magrib). Jadi nampaknya Askes masih sepenuhnya mengelola dana masyarakatnya secara konvensional dan belum nampak untuk membangun kemauan dan hubungan dengan industri keuangan syariah – yang sebenarnya sudah mulai marak di negeri ini.
Lho riba tho asuransi konvensional ini? inilah yang umat mayoritas ini tidak menyadari keharaman riba yang dilakukan oleh asuransi, koperasi, reksadana dslb. Padahal fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 jelas-jelas menyatakaan, keribaan seluruh bunga yang diperoleh oleh lembaga-lembaga keuangan non bank ini, sama dengan keribaan bunga bank.
- “Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
- Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.” (Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 Tentang Bunga).”
Sekarang kita bisa melihat bahwa niat baik untuk memberikan Jaminan Kesehatan itu ternodai oleh pelaksanaannya yang masih akan full Riba.
Ketika dunia perbankan masih didominasi Riba (pasar ribawinya masih lebih dari 95 %), umat yang berusaha taat di negeri ini masih bisa menghindarinya dengan tidak menggunakan produk-produk ribawi perbankan.
Menjadi lain ceritanya ketika umat di negeri ini wajib mengikuti asuransi dan asuransinya dikelola ribawi, apa jadinya kita? Riba saja sudah merupakan pernyataan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya (QS 2:279), apalagi bila yang riba itu menjadi yang diwajibkan. Beranikah kita?
Sebelum umat terjebak dalam situasi yang sangat sulit ini, maka harus ada upaya meluruskannya dari pihak-pihak yang berkompeten.
Yang paling mudah dan sederhana sebenarnya adalah mengkonversi seluruh pengelolaan risiko kesehatan dan pengelolaan dananya oleh PT. Askes atau siapapun yang nantinya ditunjuk – untuk full comply dengan aturan syariah.
Ini sebenarnya permintaan yang wajar saja dari umat, karena mayoritas rakyat di negeri ini adalah umat Islam – maka apapun yang diberikan ke umat harus yang syar’i. Ketika Bulog misalnya mengimpor daging untuk rakyat, dia harus mengimpor daging yang halal karena untuk konsumsi mayoritas rakyat yang muslim ini.
Maka demikian jugalah lembaga yang akan mengurusi jaminan kesehatan mayoritas umat Muslim ini, mereka harus make sure produknya halal. Teman-teman MUI yang sudah merumuskan haramnya bunga bank dan non bank- harus dilibatkan dalam mengawal kehalalan pengelolaan Jaminan Kesehatan ini, sebagaimana MUI pula yang mengawal kehalalan produk-produk makanan.
Cara yang kedua sedikit lebih berat, yaitu teman-teman asuransi syariah – melalui asosiasinya – harus berjuang keras ke otoritas negeri ini, agar mereka boleh atau dilibatkan dalam pengelolaan Jaminan Kesehatan yang wajib ini. Agar masyarakat nantinya punya pilihan. Ok kalau memang diwajibkan – mbok ya jangan umat ini diwajibkan mengikuti yang ribawi, umat harus dibolehkan memilih yang syar’i.
Cara yang ketiga seperti dalam tulisan saya sebelumnya, umat ini punya pilihan sendiri tentang cara-cara mengelola Jaminan Kesehatan yang paling sesuai dan jelas ada rujukan dan contoh keberhasilannya di masa lampau. Mengelola dana kesehatan dengan dana baitul maal dan wakaf, atau kalau baitul maal-nya belum ada di negeri ini – maka bisa dengan solusi Ta’awun dan Wakaf (TAWAF) – yang design produk sampai saluran distribusinya sudah siap tinggal pakai.
Umat ini punya pilihan, punya waktu dan juga resources yang cukup untuk mencari solusi yang syar’i – mengapa harus diwajibkan mengikuti yang haram?
(adibahasan/arrahmah.com)