Sekelompok kecil orang berkumpul di Beirut untuk melihat-lihat produk yang dijejerkan, mulai dari lampu yang terbuat dari botol anggur kosong hingga tempat duduk yang terbuat dari tong bekas dan dihias dengan kain atau pakaian tua.
Krisis sampah yang berkelanjutan di Beirut telah dijadikan kesempatan bagi sekelompok perempuan Suriah yang merubah wadah alumunium, karton telur dan lain-lain menjadi berbagai produk dari meja hingga bingkai foto. Produk daur ulang mereka ditawarkan untuk dijual di Hall Glass, pusat budaya yang terhubung ke Kementerian Pariwisata Libanon yang terletak di distrik Hamra, Beirut.
“Saya pikir jenis keahlian ini bisa menjadi semacam bisnis bagi kami,” ujar Lama, seorang perempuran Suriah berusia 23 tahun mengatakan kepada Al Jazeera.
“Karya ini dapat membantu kami mendukung keluarga kami.”
Lebih dari 1,2 juta pengungsi Suriah telah melarikan diri ke Libanon di tengah perang yang berlangsung di negara asal mereka. Di antara mereka banyak yang masih bergantung pada bantuan.
Pusat Sumber Daya ABAAD untuk Kesetaraan Gender, sebuah LSM Libanon, menyadari bahwa krisis sampah Beirut dijadikan kesempatan untuk mengatasi dua masalah sekaligus.
Agustus lalu, organisasi tersebut meluncurkan program untuk melatih perempuan Suriah dalam melakukan pekerjaan dan pertukangan dengan menggunakan bahan-bahan yang bisa mereka temukan di tempat sampah. Sebanyak 70 perempuan berpartisipasi dalam 10 sesi pelatihan terpisah, dengan lokakarya yang diselenggarakan di kota Tripoli, selatan Tirus dan sebuah desa di Lembah Bekaa.
Ramy El-Kaissy, pejabat proyek ABAAD, mengatakan bahwa memperkenalkan konsep daur ulang limbah merupakan tugas utama.
“Pelatih kami bekerja dengan wanita-wanita ini selama tiga bulan. Pada awalnya, mereka tidak memahami manfaat daur ulang,” ujar Kaissy kepada Al Jazeera.
“Namun begitu mereka menyadari bahwa mereka bisa membuat kerajinan, seni dan furnitur tanpa mengeluarkan uang untuk mengumpulkan bahan-bahan, mereka menikmati tugas mereka.”
Wanita-wanita ini ternyata harus menghadapi berbagai ujian saat memutuskan untuk melakukan pekerjaan tersebut, banyak dari mereka yang dikritik dan dilecehkan secara verbal saat memilah-milah sampah. Mereka juga diejek karena melakukan apa yang beberapa orang menganggap pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan “maskulin”.
Meskipun adanya stigma sosial, mereka tetap termotivasi untuk belajar keterampilan yang pada akhirnya akan membuat mereka lebih otonom, ujar Roula Chamseddine, seorang artis Libanon yang mempelopori lokakarya.
“Mereka begitu antusias,” ujar Chamseddine kepada Al Jazeera.
“Mereka ingin melihat hasil. Mereka ingin membantu keluarga mereka. Tapi yang lebih penting, mereka ingin membantu keberhasilan satu sama lain.”
Beberapa peserta program telah kehilangan suami mereka dalam perang Suriah dan kini berjuang seorang diri untuk menyediakan kebutuhan bagi keluarga mereka. Menurut badan pengungsi PBB, hampir satu dari empat keluarga pengungsi Suriah dipimpin oleh seorang ibu tunggal.
Memperoleh keahlian keterampilan dan pertukangan telah memberikan kemampuan para wanita ini untuk mengontrol nasib mereka sendiri.
Sohari, seorang pengungsi Suriah berusia 34 tahun mengatakan ia telah mendapatkan keuntungan dari lokakarya karena suaminya berkeinginan untuk menjaga anak-anak mereka di rumah.
“Ia tidak memiliki pekerjaan tetap karena hukum di sini di Libanon,” ujar Sohair.
“Workshop ini tidak hanya membantu kami menemukan cara untuk mendapat sedikit penghasilan, tetapi juga telah memberikan kami beberapa bantuan mental. Saya bertemu dengan wanita di sini yang tidak pernah saya temukan sebelumnya. Ini karena Roula, cara dia memperlakukan kami membuat kami merasa sangat nyaman.”
“Melakukan pekerjaan ini tidak hanya bernilai untuk saya, tapi juga memiliki nilai untuk anak-anak saya,” tambah Sohair.
“Saya terus belajar meskipun saya tidak memiliki pendidikan formal. Saya ingin anak-anak saya memahami bahwa tidak pernah terlambat untuk belajar.”
Sementara itu penjualan hasil karya mereka di Hall Glass telah membantu meningkatkan penghasilan untuk keluarga mereka, Lama mengatakan nilai sebenarnya dari lokakarya harus diukur oleh kemampuan yang telah diperoleh oleh para wanita tersebut. Dia mengatakan dia bahkan merenungkan untuk bekerja sama dengan beberapa temannya untuk memulai usaha kecil.
“Kami bertanggung jawab untuk pekerjaan ini,” ujar Lama sambil menatap bangga kepada para wanita pengungsi Suriah yang telah menjadi rekan dan teman baginya.
“Dan saya berpikir jika kita terus belajar, kita bisa membuat ini menjadi bisnis yang berkelanjutan, bersama-sama.” (haninmazaya/arrahmah.com)