Pendidikan. Satu komponen terpenting yang menjadi kebutuhan vital setiap individu layaknya kebutuhan sandang pangan dan papan. Eksistensi nya menjadi suatu keharusan demi terwujudnya masyarakat cerdas yang kritis dalam berpikir, alias tidak sekedar membeo, dan pasrah ‘bongkokan’ (red:jawa) ketika mengalami ketidakadilan. Dari sini maka jelaslah pemerintah memiliki andil penuh dalam menjamin pendidikan rakyatnya, sebagaimana yang tertera di dalam UUD 1945 pasal 31. Yang mana dalam jaminannya tersebut tidak semata mata berhenti pada nilai nilai pendidikan eksak, namun juga rohani (agama).
Namun sayang beribu sayang, sebuah fakta menunjukkan bahwa satu satunya tumpuan kebangkitan ini pun tak luput dari sentuhan pihak pihak tertentu. Dalam artian, arus pendidikan kini sudah mengalami gesekan gesekan sekulerisme. Terbukti, ketika secara struktural pemisahan tersebut diwujudkan dengan adanya dua lembaga pengayom, Kementerian Pendidikan Nasional untuk kuota umum dan Kementerian Agama untuk sekolah berbasis islami. Tidak cukup sampai disitu, bahkan di tahun 2015 lalu, menteri agama meresmikan modul pembelajaran kurikulum ‘islam damai’ untuk sekolah umum. Alternatif ini dipilih guna menanggulangi potensi ajaran kekerasan atau radikalisme yang marak terjadi di lingkungan institusi pendidikan. Ironisnya, tujuan yang baik itu tidak diimbangi dengan pengambilan langkah yang tepat ketika sejumlah guru pilihan dari beberapa daerah justru dikirim untuk mengampu ke Religius Education Oxford University, London. Sebuah negera besar pengagung kebebasan. Dari situ, apakah bisa dipastikan bahwa pembelajaran tersebut hanya sebatas pada teknik penyampaian?? Tentu tidak. Karena nilai nilai yang menjadi pijakan kurikulum pun sudah pasti akan membebek kesana. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin generasi generasi penerus mampu memahami dengan benar ajaran mendasar agamanya sendiri (terkait aqidah dan syariah) jika pengampu nya saja belajar dari negeri anti islam yang kental menyemarakkan kebebasan berlabel HAM? Menjunjung tinggi toleransi meski itu kebablasan.
Dan adakah jaminan pula bahwa tidak akan ada pengaburan pemahaman terkait jihad, hukum qisash, rajam dan sanksi hudud lainnya??
Bukti lain yang tampak dari sekulerisme pendidikan adalah sikap pemerintah yang tak henti membidik lembaga formal islam melalui badan nya seperti BNPT dan Densus 88. 2015 lalu dua badan tersebut menyampaikan pernyataan yang mengundang kontroversi, dimana lebih dari 30 pesantren dianggap berpaham radikal karena mengajarkan makna jihad yang sebenarnya. Namun setelah ditelusuri, Kemenag dengan segera membantah klaim tersebut. Kurikulum yang disampaikan sama sekali tidak menunjukkan kejanggalan. Kejadian itu bukanlah kali pertama. Stigma buruk seringkali dilabelkan pada lembaga lembaga islam. Penguatan pendidikan di bidang agama justru dianggap sebagai ancaman yang harus diwaspadai karena pertentangannya dengan kemaslahatan dan kepentingan duniawi.
Arus sekulerisme yang demikian mencekam ini tentu bisa diatasi apabila Islam dengan kesempurnaannya diterapkan secara menyeluruh. Artinya, tidak mengambil aspek agama untuk satu kondisi dan mengabaikannya di kondisi lain. Demikian pula di bidang pendidikan. Eksistensi agama harus dijadikan sebagai pijakan alias standart kurikulum. Bahkan pendidikan dasar seorang pelajar yang pertama dan utama adalah pemahaman mengenai aqidah sebagai penguatan sebelum menerima materi pembelajaran lain. Dengan demikian, dihapusnya konsep pemisahan agama dari urusan dunia atau sekulerisme di bidang pendidikan tentu akan berhasil mencetak output yang tidak hanya unggul di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga memiliki kepribadian bertaraf islami yang tidak diragukan lagi kualitasnya.
Maya A, Kedamean, Gresik
(*/arrahmah.com)