Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt
(Arrahmah.com) – Islam telah memberi seperangkat aturan kehidupan yang demikian rinci dan mengandung maslahat. Salah satunya terkait perkara makanan dan minuman. Prinsipnya bahwa apa yang dikonsumsi wajib halal dan thayyib. Satu di antaranya adalah khamr (Minol/minuman beralkohol), dimana dikatakan secara tegas dalam Al-Qur’an dan banyak hadis sebagai satu komoditas yang Allah haramkan.
Namun apa yang terjadi kini seolah sebuah anomali. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia mendapati satu perkara dari wahyu Allah justru menjadi kontroversi.
Di saat DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang Larangan Minol (Minuman Beralkohol) untuk disahkan, riuh rendah ketidaksetujuan mengemuka di tengah masyarakat. Salah satunya muncul dari Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom. Ia berpendapat bahwa pendekatan Undang-Undang ini bersifat infantil dimana seolah segala sesuatu mudah sekali dilarang. Sementara dia mencontohkan Uni Emirat Arab saja justru mulai membebaskan Minol dikonsumsi dan beredar di masyarakat. (cnnindonesia.com, 13/11/2020)
Kalangan yang tidak setuju pun senantiasa menjadikan alasan dari sisi manfaat ekonomi yang bisa diraih. Data Kemenkeu memperlihatkan selama setahun lalu saja cukai Minol menyumbang besaran yang tak sedikit bagi negara yakni sejumlah Rp7,3 triliun. (BBCnews, 13/11/2020)
Dalih lain bahwa ada anggapan jika pelaranagn Miras dalam RUU Minol sah diketok palu, maka kasus Miras oplosan dan tak berijin akan kian marak. Hal ini diungkapkan jauh lebih berbahaya dibanding ketika Miras yang beredar dan dikonsumsi adalah jenis yang dipandang aman. Karena ia telah melalui pengawasan dari pemerintah dalam proses produksi, distribusi dan pemasarannya.
Perjalanan RUU ini tampak demikian panjang dan berliku. Di tahun 2009 sesungguhnya pernah diajukan. Namun karena ada perbedaan pendapat antara DPR dengan pemerintah, saat itu batal disahkan. Kali ini para pengusung RUU di DPR sendiri berargumen bahwa pelarangan Minol itu dalam rangka menciptakan ketertiban dan menaati ajaran agama. Namun sinyalemen akan terjadinya kealotan dalam melegislasi hal tersebut mulai berdatangan dalam tubuh DPR sendiri.
Fraksi Golkar dan PDIP mengingatkan dampak pengesahan RUU Minol terhadap keberagaman yang ada di Nusantara. Alasannya bahwa pelarangan tersebut akan berpotensi menimbulkan problem ketidaksetujuan dari sebagian kalangan masyarakat adat dan penganut agama lain. (tempo.co, 13/11/2020)
Begitulah, untuk menjadikan satu saja aturan yang berasal dari agama agar dilegislasi luar biasa sulit. Terbukti bahwa memperjuangkan syariat melalui kendaran demokrasi itu ibarat menegakkan benang basah. Usulan legislasi pelarangan Minol mendapat pertentangan berbagai pihak bahkan dianggap menyalahi prinsip dasar legislasi itu sendiri.
Ujung-ujungnya tak mustahil arah RUU Minol ini akan senasib dengan UU Pornografi. Alih-alih melarang perkara yang diharamkan Allah, yang terjadi sekadar mengatur siapa, kondisi apa dan di mana lokasi pengecualian pembolehan dari hal tersebut. Itu pun ditambah dengan makna porno yang kian jauh dari arti sesungguhnya.
Maka ujung dari RUU Minol pun sangat memungkinkan hanya sampai mengatur kapan, di mana, untuk kondisi apa dan siapa yang boleh dan tidak boleh memproduksi, mendistribusi, memasarkan dan mengkonsumsinya. Itu pun jika berhasil dilegislasi.
Proses legislasi ala demokrasi kerap menjadikan alasan keberagaman menjadi senjata dalam melibas aspirasi rakyat, mayoritas sekalipun. Maka yang muncul justru tirani minoritas. Kebebasan berpendapat yang diagungkan seolah tak berlaku untuk syariat.
Ditambah dengan kenyataan bahwa demokrasi di negeri ini dilekatkan dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis. Dimana perolehan harta dan materi menjadi obsesi yang senantiasa dikejar. Maka wajar ketika alasan pendapatan pajak, cukai, deviden dan sejenisnya mampu membutakan mata terkait dengan halal haram. Hatta ketika banyak didapati fakta bahwa Miras itu memiliki dampak buruk yang sangat banyak. Mulai dari merusak moral generasi, menyebabkan hilangnya kesadaran yang berakibat madharat bagi pengonsumsi maupun masyarakat yang ada di sekitarnya, meningkatkan kasus kriminalitas, dan seterusnya.
Prinsip sekularisme menyempurnakan keburukan dari pelaksanaan bernegara di negeri ini. Syariat hanya diberi porsi mengatur umat dalam perkara mahdah saja. Itupun dikembalikan pada pribadi masing-masing, dalam arti mau dikerjakan silakan, tak dilaksanakan pun tak mengapa. Tak ada konsekuensi apa-apa.
Masyarakat satu sama lain seolah haram untuk saling ber-amar makruf nahi munkar demi menjunjung kebebasan berpendapat dan berperilaku. Negara pun melepas tanggung jawabnya sebagai penerap aturan Sang Maha Pencipta dan penjaga masyarakat agar senantiasa tunduk pada-Nya.
Lantas mungkinkah seluruh aturan agama yang diyakini umat dapat ditegakkan melalui mekanisme legislasi demokrasi? Bagaimana dengan kewajiban lainnya? Terkait menegakkan shalat, shaum Ramadhan, dan jilbab bagi muslimah; pelaksanaan muamalah, perpolitikan, sistem pendidikan yang sesuai syariat; keterlaksanaan aturan pergaulan, pelarangan zina beserta turunannya; penegakkan sistem ekonomi, keharaman riba dan seterusnya.
Padahal akidah Islam berkata bahwa ketika seorang muslim telah meyakini laa Illaha illaLlah, Muhammadur Rasulullah maka itu artinya ia telah ridha untuk berkiblat pada aturan Allah semata.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (TQS. Al-Ahzab: 36)
Adapun untuk perkara khamr, Islam demikian tegas mengharamkannya. Salah satunya tampak dalam nash berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS. Al-Maidah: 90)
“Setiap yang memabukkan adalah haram. Apa saja yang banyaknya membuat mabuk, maka sedikitnya pun adalah haram.” (HR. Ahmad)
Islam pun mengajarkan setiap mukmin wajib menjauhi segala hal yang mengandung khamr, karena sungguh ia berdampak buruk. Baik bagi kesehatan, merusak pribadi bahkan berpotensi menciptakan kerusakan atas orang lain. Rasulullah sendiri menyebutnya sebagai ummul khaba’its (induk dari segala kejahatan).
“Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya dan saudari ayahnya.” (HR. Ath-Thabrani)
Keharaman khamr pun menjangkau sepuluh perkara, sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,
“Khamr dilaknat pada sepuluh hal; pada zatnya, pemerasnya, orang yang memerasnya, penjualnya, pembelinya, pembawanya, orang yang memakan hasil penjualannya, peminumnya dan orang yang menuangkannya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah)
Maka dari itu sungguh tak layak ketika secuil kemanfaatan materi duniawi akan membutakan mata sehingga memilih meninggalkan peringatan-Nya. Namun aturan-Nya yang agung itu kian tampak kemustahilannya dapat lolos untuk diterapkan di negara demokrasi kapitalis sekuler saat ini. Yang terjadi justru senantiasa berujung kontroversi. Dibutuhkan institusi khusus berupa sistem pemerintahan Islam yang bukan hanya akan mengakomodir melainkan menerapkan secara sempurna syariat Islam. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
*Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
(ameera/arrahmah.com)