Sejak diterapkannya aturan larangan cadar di Perancis, satu demi satu penindasan pada Muslimah di negara menara Eifell it uterus terjadi. Pasangan Muslim terpaksa keluar dari negara asl mereka dan memutuskan menggunakan tim hukum Inggris untuk melawan larangan cadar yang diterapkan di Perancis. Mereka mengungkapkan bahwa Perancis telah melanggar hak asasi dan membatasi aktivitas mereka di seluruh negara di Uni Eropa.
Pasangan, yang hingga kini ingin tetap anonim tersebut, sekarang tinggal di West Midlands dengan dua anak mereka. Mereka mengatakan bahwa peraturan yang baru ditetapkan di Perancis itu memaksa mereka keluar dari negara asal mereka.
Terkait gugatan hukumnya itu, mereka tengah mencari kelemahan dari kebijakan larangan bagi Muslimah menutupi wajahnya di depan umum dengan cadar sebagai ‘hal yang tidak perlu, tidak proporsional dan melanggar hukum’.
Sang suami yang merupakan warga Prancis, sementara istrinya diwakili oleh Robina Shah dari Layanan Konsultasi Imigrasi. Sang istri melalui wakilnya telah mengajukan permohonan ke Pengadilan HAM Eropa di Strasbourg. “Kasus ini jelas adalah penting bagi klien saya,” ujar Shah.
“Sebagai hasil dari larangan tersebut mereka harus meninggalkan negara mereka, larangan itu juga membatasi kebebasan memilih mereka, dan juga bagi anak perempuan mereka,” sambungnya lagi.
Dalam gugatan di pengadilan, pemohon utama, sang suami menuliskan bahwa dirinyalah yang memerintahkan istrinya untuk mengenakan burka, penutup seluruh tubuh yang meliputi cadar di wajah yang hanya menyisakan celah untuk mata.
Sang istri, pemohon kedua dalam kasus tersebut, ‘menghormati dan mengikuti’ permintaan suaminya itu ketimbang kehendaknya sendiri’, ujar Robina Shah kepada Pengadilan Strasbourg.
Sang istri menggugat pemerintah Perancis sebesar 10 Ribu Pounsterling, karena telah melanggar hak asasinya. Pasangan itu setuju jika dalam beberapa kesempatan tertentu, sang istri harus membuka cadarnya, seperti ketika diperiksa di bandara dan di bank.
sebelumnya Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy melarang pemakaian cadar di muka umum pada April 2011 lalu. Bagi siapa yang memakai cadar di depan umum akan 130 poundsterling atau mendapatkan pendidikan kewarganegaraan Perancis.
Tepat satu bulan sejak larangan pemakaian cadar diberlakukan sudah banyak kasus penahanan terhadap Muslimah karena ‘pelanggaran’ tersebut. Pada bulan Mei lalu lima Muslimah Perancis ditangkap karena memakai cadar. Tidak hanya itu, kepolisian setempat juga memaska mereka untuk menanggalkan jilbab mereka di depan umum.
Seperti dilaporkan Press TV, ketika itu kelima Muslimah itu akan menghadiri konferensi mengenai hukum kontroversial itu. Konferensi tersebut diselenggarakan asosiasi multikultural, Don’t Touch My Constitution, yang telah mengumpulkan dana untuk membantu perempuan dalam membayar denda terkait undang-undang larangan cadar.
Pada 11 April 2011, Perancis menjadi negara pertama di Eropa yang menerapkan larangan mengenakan penutup wajah penuh, termasuk cadar Islam. Aturan itu langsung diikuti oleh penangkapan hampir 60 perempuan yang menentang larangan tersebut dengan berjalan di luar Katedral Notre Dame di Paris.
‘Pelanggar undang-undang’ cadar tersebut dikenakan sanksi berupa denda sebesar 217 dolar Amerika Serikat dan kerja sosial. Selama konferensi, penyelenggara pertemuan itu secara paksa dicegah oleh polisi untuk mendengar keterangan seorang perempuan, yang telah jatuh sakit dalam interogasi larangan cadar.
“Tujuan sebenarnya aturan itu adalah stigmatisasi masyarakat Muslim. Mengapa membuat hukum hanya untuk beberapa ratus orang. Anggota parlemen Perancis telah benar-benar berlebihan demi kepentingan mereka” kata Hassan Ben M’barek, seorang aktivis yang mengamati pertemuan itu.
Larangan kontroversial terhadap cadar telah memicu perdebatan di Perancis. Pendukung aturan itu mengklaim bahwa larangan ini akan melindungi negara dari radikalisme, sementara lawannya menilai undang-undang tersebut bertujuan memusuhi umat Islam di Perancis.
Banyak Muslim mengeluh bahwa media Perancis secara konsisten mengabaikan keyakinan agama perempuan yang mengenakan nikab atau burka di depan umum. Mereka digambarkan sebagai alat belaka, sementara setiap gerakan mereka dikendalikan oleh kaum laki-laki.
Beginilah wajah ‘kebebasan’ dalam sebuah negara penganut ‘kebebasan yang sebebas-bebasnya’. Meskipun berkoar-koar mengenai hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, dan kemanusiaan, nyatanya mereka tak mampu mempraktekkan ‘konsep ideal’ yang mereka agung-agungkan. Yang ada hanyalah praktek standar ganda yang secara tidak langsung telah menginjak-injak dan meludahi aturan buatan mereka sendiri. (rasularasy/arrahmah.com)