JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menilai saat ini masyarakat khususnya umat Islam sedang dihadapkan pada sebuah realitas yang memprihatinkan. Dimana umat seperti sedang digiring bersikap relatif atau sulit membedakan mana benar dan salah.
”Gelombang liberalisme dan Islam sedang bertarung dalam ranah filsafat. Wacana filosofis yang dihadirkan para penganut liberal, kemudian turun menjadi praktek-praktek kehidupan. Misal, mereka (penganut liberal), berpikiran bahwa agama apapun adalah berpangkal dari satu Tuhan. Atas pemikiran ini, mereka jadi mendukung pernikahan beda agama. Ini yang saya maksud dari wacana filosofis kemudian turun ke realitas kehidupan,” katanya disaat peluncuran buku Misykat di Gedung Bukopin, Jakarta, Minggu malam (27/5).
Menurut pria yang biasa disapa Gus Hamid ini, jika pemikiran ini terus ditekankan kepada umat, maka akan semakin merusak tatanan moral maupun agama di Indonesia.
“‘Westernisasi telah memprovokasi kaum muda muslim untuk melawan institusi keagamaan. Betapa kita sudah menyaksikan mereka (kelompok liberal) yang kemudian berpikir humanistis, liberalistis, dekonstruksionis dan bahkan relativistis. Meskipun mereka penampilannya religius dan mengutip ayat-ayat al-quran dan hadis dengan fasih,” jelas Fahmy.
Jadi, tambah Fahmy, westernisasi, sekularisasi serta liberalisasi bukan sekadar isu atau program Barat di bidang politik, ekonomi maupun kebudayaan saja. “Akan tetapi juga menawarkan konsep dalam bentuk wacana yang hidup yang mendominasi kalangan terpelajar di dunia Islam saat ini,” tuturnya.
Lanjutnya, perselisihan atau perbedaan pendapat terdiri dari tiga ranah: 1) Ranah fiqih tentang benar dan salah 2) Berselisih dalam ranah hak dan batil. 3) Berselisih dalam ranah muslim – kafir.
Adapun orang liberal, menurut Gus Hamid, masih dalam ranah hak dan batil. “Tidak mudah menghukumi seseorang. Dan kita tidak bisa mengkafirkan begitu saja. Yang bisa mengkafirkan hanyalah Al Qur’an, pemikiran orang liberal bisa dikatakan sesat menyesatkan,” ungkap Gus Hamid.
Saat ini menurut Gus Hamid, pertarungan dengan kelompok liberal berada pada ranah filsafat. Pluralisme agama adalah termasuk wacana filosofis. Setidaknya, ada dua aliran pemikiran: global theologi dan transendental of religion.
“Dua aliran ini menggelindingkan wacana nikah beda agama, dan wacana semua agama bermuara dari tuhan yang sama,” ujarnya.
Tambahnya, tatkala kebenaran sebagai sesuatu yang relatif, orang posmo (Post Modernisme), mereka berpandangan bahwa yang absolut hanyalah tuhan. Adapun yang dikatakan oleh manusia adalah relatif. Bicara baik-buruk dan moralitas,bukan manusia yang menentukan, tapi tuhan.
“Karena bagi orang liberal, kita tidak tahu apa yang dikatakan tuhan sebenarnya, inilah relativisme,” lontar Gus Hamid.
Sambungnya, bagi kaum liberal, menilai penampilan wanita itu sebagai sesuatu yang porno adalah relatif. Ironisnya, mereka mengatakan, yang porno itu bukan orangnya, tapi yang melihatnya.
“Jadi wanita yang berpenampilan seronok itu bukan porno. Justru laki-laki yang melihat wanita seksi dengan nafsu itulah yang dibilang porno. Terbalik. Wacana ini tidak dikenal dalam agama. Ukuran porno atau tidak, membuat masyarakat bingung. Sehingga tidak bisa lagi menentukan baik-buruk, betul-salah, halal-haram. Sungguh memperihatinkan kita semua,” ucap Gus Hamid.
Beda Liberal dulu dengan sekarang
Gus Hamid sempat menyinggung perbedaan kaum liberal tahun 80-an dengan kaum liberal tahun 2000-an di Indonesia.
“Mengutip peneliti MIUMI Henry Mohamad, liberal di zaman Cak Nur masih terbilang lumayan, dari sisi ubudiyahnya masih bagus, masih melaksanakan shalat. Tapi liberal yang sekarang sudah tidak shalat lagi. Mereka meninggalkan syariat,” bebernya.
Lebih dari itu, menurutnya, ketika wacana dekonstruksi syariah diusung sebagai gagasan, mereka mengatakan bahwa kebenaran itu menjadi relatif, tidak absolute, hanya Al Qur’an yang absolute. Akibatnya, pemikiran sesat itu berkembang dalam perilaku.
“Orang liberal malah mengatakan, syariah itu produk ulama abad ke-3 H. Ketika mereka mendekonstruksi syariah, maka tidak ada lagi halal-haram. Pemikiran Irshad Manji dan perilaku Lady Gaga pun menjadi halal. Ini akibat liberalisasi budaya,” papar Gus Hamid (bilal/arrahmah.com)