(Arrahmah.com) – Tanggal 25 Januari diperingati sebagai hari Gizi Nasional, dan tahun ini bertepatan dengan peringatan hari Gizi Nasional ke 57. Adapun tema peringatan kali ini adalah “Membangun Gizi, Menuju Bangsa Sehat dan Berprestasi”. Meski tiap tahun kita memperingati hari gizi, namun masih banyak persoalan gizi yang dialami anak balita Indonesia seperti gizi ganda (double burden), gizi lebih dan kurang, stunting (tubuh pendek), kurus hingga gizi buruk.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat bahwa 18,8 % balita usia 0-5,9 bulan mengalami kurang gizi, 29% mengalami stunting, akibat kurang gizi menahun. Sementara di sisi lain, terdapat 1,6% balita yang mengalami obesitas (tirto.id, 25/1/2017). Hal ini juga senada dengan apa yg disampaikan Ahli Gizi dari Universitas Gadjah Mada, Dr Toto Sudargo, Selasa (24/1/2017) di Departemen Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran (FK) UGM, dalam rilis yang disampaikan pada Tirto.
Toto menyebutkan bahwa gizi kurang ini banyak dijumpai di sebagian besar Sulawesi, Kalimantan, NTB, NTT, Sumatera Utara, Aceh, dan Maluku. Kejadian gizi kurang terjadi tidak hanya akibat kurangnya asupan gizi saat balita, tetapi karena menderita penyakit infeksi seperti ISPA dan diare, bayi berat lahir rendah, tidak diberikan ASI secara eksklusif, serta pola asuh salah. Sementara itu, Global Nutrition Report merilis data, 17,8 persen balita di Indonesia berada di bawah standar gizi WHO.
Berbicara mengenai gizi, tentunya banyak hal yang harus kita perhatikan bersama. Baik dari level keluarga sampai negara.
Di level keluarga, orang tua yang sadar gizi sangat didukung oleh tingkat kesejahteraan keluarga. Sementara itu, kesejahteraan keluarga terwujud dengan adanya kemudahan mencari nafkah. Hal lain yang tidak bisa dipisahkannuntyk memutus rantai gixi buryk di level keluarga adalah murahnya mengakses pendidikan, murahnya harga pangan dan mudahnya mendapat layanan kesehatan bagi tiap-tiap keluarga.
Namun, penerapan sistem ekonomi kapitalis sekuler saat ini hampir-hampir tidak mampu menyejahterakan masyarakat secara merata. Bahkan terjadi jurang antara yang miskin dan yang kaya. Hal ini dikarenakan negara tidak menjamin kebutuhan dasar rakyatnya. Rakyat disuruh berusaha sendiri menghidupi dirinya. Sehingga tidak sedikit diantara warga negara yang sulit memenuhi unsur gizi dan atau karena sulitnya mengakses pendidikan, kurang paham tentang gizi atau boleh jadi dampak menderita sakit yang sulit disembuhkan karena sulitnya mengakses kesehatan.
Sehingga kita bisa memaklumi, terwujudnya anak-anak sehat dan cukup gizi, sangat erat kaitannya dengan kemampuan negara dalam menyejahterakan keluarga. Dalam level negara, kesejahteraan ini terwujud dengan meningkatkan taraf pendidikan masyarakat, kemandirian ekonomi, ketahanan pangan, penyediaan layanan kesehatan yang murah dan stabilitas politik. Yang mana semua itu teramat sulit tercipta di sistem kapitalis sekuler. Berbeda dengan islam. Dalam Islam, kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan ditanggung negara. Penerapan sistem ekonomi yang adil akan menghapus kesenjanga. Maka ada mekanisme zakat dan distribusinya melalui baitul mal yang dikelola negara yang akan menyejahterakan. Wallahu a’lam.
Ririn Umi Hanif (pemerhati ibu dan anak, Gresik)
(*/arrahmah.com)